Politik: dari Benci menjadi Cinta

Politik: dari Benci menjadi Cinta

- in Narasi
1797
0

Gelombang demokrasi yang disertai dengan berbagai kampanye digital telah menggeser paradigma publik terhadap politik. Hajatan politik yang sejatinya diinternalisasikan menjadi rekonsiliasi kebangsaan, perlahan menjadi ajang permusuhan. Hal ini didasari atas perbedaan pilihan. Perbedaan pandangan terus diinjeksi menjadi kebencian. Sehingga, warna-warni pilkada menjadi ajang permusuhan antar sesama. Akibatnya, dua kutub menjadi konsekuensi logis.

Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 27 Juni ini, berbagai isu telah dipaparkan di ruang publik untuk menarik atensi publik. Bahkan kampanye kotor seperti isu Suku, Agama, Ras dan antar Golongan atau SARA tidak luput dari menu politik. Isu SARA merupakan bagian dari politik kotor yang akan menciderai proses politik lokal. Bagaimanapun, isu-isu tersebut tidak hanya melegitimasi calon kepala daerah. Namun berpotensi terjadi konflik horizontal di aras lokal.

Jamak diketahui bahwa setiap pagelaran pemilihan kepala daerah, politik SARA masih menjadi komoditas untuk menjungkalkan kompetitornya. Isu SARA selalu diangkat untuk menurunkan pesaingnya dari panggung konstestasi politik lokal. Tak heran, ketika isu SARA tersebut menjadi ‘dzikir’ politik, maka konflik antar etnis selalu mengemuka. Maka, ketika isu SARA menjadi bahan kampanye, maka tatanan demokrasi lokal akan redup.

Pilkada DKI Jakarta menjadi salah satu contoh buruk bagaimana publik terbelah. Perbedaan pilihan lantas tidak dijadikan sebagai kekayaan dalam berpendapat, berbeda persepsi, dan kekayaan dalam menentukan arah dukungan, melainkan dimaknai sebagai bagian dari proses kebencian. Ini juga diperparah dengan berbagai fenomena yang menyeret-nyeret agama menjadi komoditas politik. Lantas, masyarakat yang tidak semestinya larut dalam hajatan politik, ikut mengomentari karena apa yang diisukan dianggap sebagai bagian dari jati dirinya.

Dalam konteks inilah, isu agama menjadi bumbu yang meruncingkan kubu-kubuan. Fenomena tersebut lantas menular ke pilkada yang terjadi tahun ini dimana berbagai sentimen SARA dimainkan. Tak pelak, masyarakat yang masih buta akan informasi, lemah literasi digital, terpancing untuk melakukan tindakan yang berpotensi mengganggu integritas bangsa.

Ini tidak boleh dibiarkan. Bagaimanapun, proses politik harus diinternalisasikan sebagai bagian dari lahirnya kecintaan terhadap persatuan, kedamaian, menghormati perbedaan suku, agama, etnis, dan lain sejenisnya. Ancaman isu SARA yang demikian tidak hanya berdampak kepada korban (calon). Namun juga berdampak kepala konflik sosial. Publik yang militan mendukung salah satu calon yang menjadi korban SARA tidak akan terima. Dampaknya, konflik horizontal akan mudah terjadi jika tidak ada kelompok yang bisa menyikapi secara dewasa. Rasa kekhawatiran masyarakat kepada calon yang didukungnya semakin tidak terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin hal seperti itu akan dimanfaatkan jug dengan diadu domba.

Di samping itu, politik uang (money politic) juga akan mengancam kemurnian demokrasi lokal. Praktik politik uang bervariasi. Ada yang berbentuk pemberian uang secara langsung, ada juga yang menggerakkan praktik politik anggaran daerah. Anggaran daerah dimodifikasi sebagai kebijakan pemerintah. Namun di situ tertancap kepentingan politik tertentu untuk mengais dukungan publik. Ini biasa disebut sebagai praktik politik anggaran.

Praktik politik ini berorientasi kepada praktik kekuasaan yang dilakukan oleh petahana atau incumbent. Incumbent hanya menginginkan kekuasaannya langgeng tanpa harus mengeluarkan modal politik. Pada hakekatnya, praktik ini melecehkan publik karena uang yang digunakan dalam kebijakannya adalah uang rakyat. Tanpa kita sadari, masyarakat di tipu sedemikian rupa sehingga ada kesan mengeluarkan kebijakan yang memihak kepada rakyat.

Mendorong pilkada dari benci menjadi cinta dibutuhkan adanya. Sebab, hanya dengan merubah benci menjadi cinta lah negara ini menjadi damai. Dalam konteks ini, dibutuhkan tenaga lebih dari semua kalangan, baik dari publik, organisasi kemasyarakatan, dan tentunya partai politik yang mengusung calon kepala daerah tersebut. Partai memiliki hubungan yang cukup dekat dengan calon kepala daerah parpol juga memiliki kerangka berfikir yang berbeda. Dengan parpol inilah, kualitas demokrasi lokal maupun nasional akan ditentukan.

Untuk membentuk demokrasi lokal yang berkualitas, partisipasi parpol dibutuhkan perannya. Salah satu caranya adalah melarang calon untuk melakukan praktik politik kebencian, politik kotor, dan juga politik uang, dan isu SARA. Peran parpol disini dapat dituangkan dalam perjanjian politik dengan kader-kadernya. Jika kader melanggar perjanjian tersebut, maka parpol wajib memberikan hukuman dan kepada kader-kader tersebut. Selain itu, organisasi keagamaan dibutuhkan perannya untuk memberikan pendidikan politik yang baik. Tujuannya agar publik semakin cerdas dalam isu-isu sensitif seperti isu agama. Organisasi keagamaan mendorong agar isu agama tidak dijadikan alat politik.

Facebook Comments