Saya termasuk orang yang beranggapan bahwa terorisme merupakan fenomena yang kompleks. Artinya, tidak ada satu tinjauan yang bisa menjelaskan fenomena terorisme secara sahih. Tinjauan sosial-politik cenderung menganggap terorisme sebagai ekses dari ketidakadilan dan kemiskinan. Namun, seperti kita tahu tilikan itu tidak sepenuhnya benar. Buktinya, banyak kaum radikal-terorisme yang justru berasal dari kalangan kelas menengah berpendidikan.
Asumsi yang menyebut terorisme sepenuhnya berakar dari ajaran agama tampaknya juga bermasalah. Jika agama ialah sumber terorisme, maka semua penganut agama akan menjadi teroris. Kenyataannya tidak. Selain itu, tidak ada satu pun agama di muka bumi ini menyuruh pengikutnya menjadi pembunuh atau teroris. Semua agama mengajarkan kebaikan dan sikap welas asih terhadap sesama makhluk Tuhan.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa terorisme ialah fenomena yang kompleks, yang melibatkan faktor sosial, politik sekaligus agama. Itulah faktor eksternal yang melatari terorisme. Di saat yang sama, terorisme juga dilatari oleh faktor internal, yakni kondisi psikologis dan kepribadian sang pelaku teror itu sendiri. Tulisan Nurrochman di kanal Suara Kita, Jalandamai.org yang berjudul “Bom Bunuh Diri, Gejala Eskapisme dan Utopia Surga Instan” cukup jelas mendedahkan bagaimana kondisi psikologis seorang teroris.
Dalam tulisannya, ia menyebut bahwa teroris umumnya memiliki kepribadian eskapis, yakni lari dari realitas kehidupan karena merasa kalah dan inferior. Asumsi itu dalam banyak hal mengandung kebenaran. Dalam banyak kasus terorisme, sebagian besar pelaku selalu memiliki karakter kepribadian yang nyaris sama. Yakni cenderung tertutup, pendiam, menarik diri dari pergaluan sosial bahkan bisa dibilang anti-sosial. Hasil riset Prodi Kajian Terorisme Universitas Indonesia (UI) menyatakan bahwa radikalisme dan terorisme mudah menjangkiti anak muda yang berkarakter introvert (tertutup) dan pendiam.
Introvert ialah karakter manusia yang cenderung tidak menyukai keramaian, pergaulan sosial dan lebih nyaman dengan kesendirian. Seorang introvert akan selalu kelelahan jika harus bergaul dan bertemu dengan orang banyak. Secara umum menjadi introvert tidak akan menjadi problem besar, lantaran hal itu merupakan bagian dari kondisi psikologis manusia. Namun, karakter introvert yang tidak dipahami dan dikelola secara tepat akan berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Serupa dengan introvert, karakter pendiam menjadi penanda seseorang kurang cakap dalam mengekspresikan perasaannya secara verbal. Seseorang dengan karakter pendiam akan cenderung memendam perasaannya tanpa membaginya kepada orang lain. Konsekuensi dari karakter pendiam ialah terciptanya jarak dengan lingkungan sekitar. Relasi sosial tentu dibangun di atas fondasi komunikasi yang efektif dan efisien. Orang dengan karakter pendiam cenderung menarik dan mengasingkan diri dari pergaulan sosial.
Orang dengan karakter introvert dan pendiam cenderung rentan mengalami kesepian. Dan, kesepian ialah penyakit psikologis yang paling berbahaya. Dan tampaknya, kelompok teroris tahu dan paham betul bahwa kaum muda yang mengalami kesepian itu bisa dengan mudah dicekoki oleh konsep teologi yang menjurus pada kekerasan. Maka, menjadi wajar jika kelompok teroris lebih senang menyasar kelompok anak muda dengan karakter introvert dan pendiam. Mereka (jaringan teroris) berusaha mengkapitalisasi perasaan kesepian kaum milenia untuk mengembangkan teologi kekerasan.
Sinergi Bersama Membumikan Moderasi Beragama
Di titik ini, kita sebagai masyarakat tidak boleh sepenuhnya cuci tangan atas problem kesepian yang dialami sebagian kaum muda milenial. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, masyarakat secara umum turut menyumbang andil pada perasaan sepi yang dialami oleh sebagian anak muda milenial tersebut. contohnya saja, ketika di sebuah lingkungan terdapat satu atau dua anak muda yang introvert, pendiam dan menarik diri dari pergaulan, masyarakat dengan mudah mencapnya sebagai asosial, sombong dan stigma negatif lainnya.
Padahal, introvert ialah karakter kejiwaan yang tidak bisa dinafikan, namun bisa dikelola dengan tepat jika didukung oleh orang-orang di lingkungan sekitar. Ketika seorang introvert dan pendiam dicap sebagai asosial dan sombong maka ia akan semakin menjauhkan diri dari lingkungan sosial. perasaan kesepian pun tidak bisa dielakkan. Dengan demikian, potensinya untuk terpapar paham keagamaan yang mengajarkan intoleransi dan kekerasan pun semakin besar.
Maka, satu hal urgen yang harus kita lakukan saat ini ialah merangkul anak-anak muda yang memiliki gejala introvert dan pendiam. Mereka tidak boleh dikucilkan, alih-alih dirangkul dan didukung agar tidak terjebak dalam dilema kesepian yang berkepanjangan. Kaum introvert dan pendiam pada dasarnya hanyalah manusia biasa yang butuh didengarkan, bukan dihakimi. Jangan sampai, kaum muda introvert dan pendiam menjadi sasaran empuk bagi jaringan teroris untuk merekrut anggota baru.
Tentu, tidak kalah penting dari itu ialah mengintensifkan gerakan moderasi keberagamaan dan penanaman nilai kebangsaan di kalangan generasi muda milenial. Harus diakui bahwa belakangan ini, generasi muda milenial mulai luntur sikap nasionalismenya digantikan oleh nalar keberagamaan konservatif yang memuja masa lalu. Nasionalisme kerap dianggap sebagai suatu hal yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya, dukungan terhadap konsep khilafah dan negara Islam kian menguat di kalangan anak muda milenial.
Moderasi pola pikir keberagamaan di kalangan kaum muda milenial merupakan hal urgen yang harus dilakukan. Agenda ini tentu membutuhkan peran semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, ormas keagamaan, masyarakat sipil dan keluarga. Tujuannya tiada lain ialah membentuk corak keberagamaan yang rasional dan kontekstual. Rasional dalam artian kebenaran agama tidak hanya didasarkan atas teks keagamaan, namun juga melibatkan akal (rasio).
Kontekstual dalam artian aktivitas beragama idealnya sejalan dengan realitas keindonesiaan yang multikultural dan multirelijius. Dalam hal ini diperlukan media dan strategi yang tepat agar moderasi beragama bisa menjangkau dan diterima oleh kalangan muda milenial. Peran media sosial sebagai jejaring komunikasi paling populer kiranya cukup signifikan dalam hal ini. Seperti kita tahu, kaum muda milenial sangat aktif di media sosial, bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya di sana.
Inilah momentum bagi para akademisi, intelektual dan para pakar untuk “turun gunung” dan mengampanyekan moderasi beragama dengan bahasa yang mudah, ringan dan populer. Moderasi beragama idealnya tidak lagi menjadi wacana menara gading yang terasing dari kehidupan publik, terutama kalangan muda milenial. Sebaliknya, wacana moderasi beragama harus hadir dalam perbincangan publik di media sosial dan dunia maya pada umumnya.