Mendesain Kampanye Moderasi Beragama yang Relevan Untuk Milenial

Mendesain Kampanye Moderasi Beragama yang Relevan Untuk Milenial

- in Narasi
915
0
Mendesain Kampanye Moderasi Beragama yang Relevan Untuk Milenial

Dua peristiwa teror yang terjadi di Makassar dan Jakarta beberapa waktu lalu melahirkan semacam kepanikan massa (mass panic). Bagaimana tidak? Teroris kini kian nekat. Tidak hanya menyerang simbol agama minoritas, namun juga obyek vital negara sekelas Markas Besar Kepolisian. Lebih dari itu, pelakunya pun didominasi oleh anak muda kelahiran tahun 1990-an atau dikenal sebagai generasi milenial. Tidak cukup sulit menyimpulkan bahwa aksi teror yang mereka lakukan didasari oleh pemahaman agama (Islam) yang sempit dan kaku.

Asumsi ini terlihat dari surat wasiat yang ditinggalkan dan afiliasi mereka pada jaringan ormas yang selama ini memang dikenal sebagai pengusung ideologi ekstremisme. Radikalisme dan terorisme berbasis agama hanya bisa ditangkal dengan menggaungkan wacana moderasi keberagamaan. Pertanyannya, ialah moderasi beragama seperti apa yang bisa menjangkau dan diterima di kalangan milenial? Pertanyaan itu akan melahirkan pertanyaan lanjutan, yakni bagaimana mendesain kampanye moderasi beragama yang relevan dan efektif menyasar kalangan milenial?

Selama ini, moderasi beragama hanya menjadi wacana terbatas (segmented discourse) yang dibincangkan di ruang-ruang akademik atau forum ilmiah yang jauh dari kehidupan kaum milenial awam. Sebaliknya, di saat yang sama wacana keberagamaan konservatif dan ekstrem justru berkembang biak melalui kanal-kanal media (mainstrem) maupun media sosial. Konten-konten keagamaan bertendensi intoleran dan konservatif begitu mudah dijumpai melalui acara-acara televisi, maupun unggahan-unggahan di media sosial.

Seperti kita tahu, narasi keberagamaan yang intoleran dan konservatif merupakan akar dari fenomena radikalisme dan terorisme berbasis agama. Dan, kita juga tahu bahwa sebagian besar kaum milenial lebih akrab dengan media sosial ketimbang dengan forum akademik-ilmiah. Ibarat perang, pencegahan radikalisme dan terorisme di kalangan anak muda milenial kiranya juga harus mempertimbangkan arena pertempurannya (battle ground).

Jika kita melihat kondisi saat ini, arena pertempuran wacana keagamaan (antara konservatisme dan moderatisme) lebih banyak terjadi di dunia maya, terutama media sosial. Maka, mau tidak mau kelompok moderat sebagai lokomotif wacana moderatisme keagamaan harus masuk ke dalam ranah maya dan mendominasi wacana (keagamaan) di dalamnya. Kita perlu mendorong para kiai, ustad, akademisi, intelektual dan aktivis yang memiliki komitmen pada moderasi beragama untuk terlibat aktif dalam kampanye moderasi beragama di dunia maya.

Bukan bermaksud merendahkan dunia akademik, namun hari ini sebuah konten pendek di medsos berpotensi mengubah persepsi publik ketimbang sebuah artikel di jurnal ilmiah bereputasi internasional. Sekali lagi, ini bukan tentang membandingkan dunia media sosial dengan dunia akademik. Namun, bagaimana menimbang efektivitas sebuah kampanye isu atau wacana. Di tengah kondisi yang demikian rumit ini, para intelektual dan akademisi tidak hanya mengemban tanggung jawab secara ilmiah.

Di saat yang sama, mereka juga berkewajiban memberikan pencerahan pada publik dengan bahasa yang mudah, ringan dan membumi. Keberhasilan agenda moderasi beragama membutuhkan sebuah aksi nyata yang menginspirasi, bukan semburan teori dan argumentasi yang sukar dimengerti. Misalnya, sebuah video pendek tentang toleransi beragama yang viral di medsos jauh akan lebih efektif mendukung narasi keberagamaan moderat ketimbang seminar tentang toleransi agama yang biasanya dihadiri oleh orang-orang yang sebenarnya sudah toleran dan moderat.

Contoh kecil ini membuktikan bahwa narasi kontra-radikalisasi beragama idealnya harus menjangkau kelompok-kelompok yang selama ini masih memiliki pandangan keagaman yang ekstrem. Ironisnya, selama ini agenda moderasi beragama cenderung masih segmented, bahkan hanya berkutat di lingkup komunitas yang sebenarnya sudah beragama secara moderat. Ini artinya, agenda moderasi beragama membutuhkan sebuah pendekatan dan kemasan yang relevan dengan kecenderungan budaya kaum milenial.

Pendekatan akademik formalistik seperti seminar, pelatihan dan sejenisnya harus diakui tidak cukup efektif membangun narasi keberagamaan moderat di kalangan milenial. Sebaliknya, konten-konten radikal di dunia maya justru berhasil meradikalisasi kaum milenial. Buktinya, banyak teroris yang mengaku menjadi radikal dan belajar melakukan aksi teror hanya melalui media sosial. Kesimpulannya, keberhasilan agenda moderasi beragama di kalangan milenial bergantung pada dua hal, yakni strategi pengemasan dan metode pendekatan.

Pertama, terkait strategi pengemasan, tugas kaum moderat ialah bagaimana menampilkan wacana moderasi beragama semenarik mungkin. Bahasa media sosial tentu berbeda dengan bahasa akademik-ilmiah. Disinilah diperlukan kemampuan untuk menarasikan pandangan keagamaan moderat dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh kalangan milenial.

Kedua, terkait metode pendekatan, harus kita akui bahwa pendekatan bercorak akademik-formalistik cenderung kurang efektif menjangkau publik luas. Pendekatan yang bercorak informal dan berbasis pada kultur yang tengah hype (populer) di kalangan milenial ialah yang kita butuhkan saat ini. Maka, jangan heran jika hari ini seorang artis hijrah yang jadi influencer di medsos lebih didengar pendapat keagamannya ketimbang kiai, ustad atau profesor studi Islam sekali pun. Kita tentu tidak bisa sepenuhnya menyalahkan publik dalam fenomena ini.

Apa yang urgen kita lakukan hari ini ialah mengubah strategi dan metode dalam membumikan wacana moderasi beragama di kalangan milenial. Kemasan wacana moderasi beragama yang lebih menarik dan mudah dipahami serta pendekatan berbasis kultur milenial kiranya akan bisa menandingi dominasi narasi keagamaan radikal-ekstrem yang lebih dulu menguasai jagad maya dan ranah media sosial kita.

Facebook Comments