Puasa “Jempol” dalam Deradikalisasi

Puasa “Jempol” dalam Deradikalisasi

- in Narasi
1581
0
Puasa “Jempol” dalam Deradikalisasi

Di Indonesia, ada 143 juta pengguna medsos yang sangat berpotensi terkena virus radikalisme dan terorisme. Hal ini disampaikan oleh Donny Budi Utoyo, Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed FMB9) (Bangkit Media: 2018). Sejak pertama kali terjadi bom di gereja, menurut Donny, ada 1.285 akun medsos yang diblokir dalam waktu 3-4 hari. Proses pemblokiran tersebut membutuhkan proses yang panjang dan intensif.

Dalam penelitian, dilakukan di 6 kabupaten/kota di 5 provinsi di Indonesia, yaitu Padang (Sumbar), Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Sukabumi (Jabar), Surakarta (Jateng), Denpasar (Bali), dan Tomohon (Sulut). Pengambilan data dilakukan pada Oktober hingga Desember 2017. Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan ekstrakurikuler terbukti menjadi pintu kelompok radikal untuk menyasar siswa. Hal itu disebabkan kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan pihak selain sekolah.

Sedangkan, penelitian Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2017 mencatat sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme. Berdasarkan penelitian tersebut, juga diketahui peningkatan paham konservatif keagamaan. Pasalnya, dari penelitian diperoleh data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad demi tegaknya negara Islam.

Dalam menyikapi maraknya radikalisme ini, setidaknya diperlukan semua elemen dalam menyikapi hal demikian. Tanpa adanya kerja sama antara lembaga pemerintah serta masyarakat, tidak akan efektif dalam mencegah radikalisme, sebab radikalisme sekarang ini sudah masuk semua lini kehidupan masyarakat.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah pendekatan kontra ideologi dan kontra radikalisasi ditujukan kepada masyarakat agar tidak terpengaruh kepada kelompok-kelompok radikal yang cenderung berkembang dan merongrong negara. Langkah ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan kewaspadaan masyarakat terhadap terorisme. Hal ini dilakukan untuk menangkal berbagai macam propaganda yang dapat tersiar dimasyarakat, mulai dari media cetak, online hingga jaringan social.

Indonesia juga sudah mengambil sikap dengan bekerjasama dengan PBB dalam menangani terorisme. Indonesia juga telah menggarisbawahi tentang pentngnya hukum internasional dalam penanggulangan terorisme internasional dalam hal ini. Tidak hanya itu, Indonesia telah meratifikasi delapan konvensi internasional terkait penaggulangan terorisme yang memperkuat kerangka hukum nasional.

Kemudian masyarakat juga ikut peran aktif dalam “puasa jempol” dalam menyikapi menyebarluasnya pemahaman radikal. Puasa mengajak umat Muslim untuk menghancurkan berhala hawa nafsu yang dapat merusak ketauhidan serta penindasan terhadap lingkungan sekitarnya. Ramadhan menyuruh umat muslim untuk memperhatikan, simpati dan empati terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, seseorang yang menjalankan puasa, maka harus memperhatikan ucapan, makanan dan tindakannya.

Jangan jadikan perut kuburan orang-orang miskin. Jangan biarkan dahaga meraup keuntungan dengan cara menyengsarakan rakyat. Kekang keinginan menindas orang lain. Puasa mengingatkan untuk berhati-hati dengan apa yang makan dan dari mana asal uang yang belanjakan itu.

Ada sebuah cerita menarik dalam sebuah hadis. Kisahnya demikian; pada bulan Ramadhan ada seorang wanita sedang mencaci-maki pembatunya dan Rasulullah mendengarnya. Kemudian Beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil perempuan itu. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Makanlah makanan ini”.

Perempuan itu menjawab, “Saya sedang berpuasa, ya Rasulullah.” Rasul yang mulia itu bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesungguhnya puasa sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelapran.”

Ketika Rasulullah mengatakan, “Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.” Dia menujukkan bahwa orang-orang yang hanya menahan lapar dan dahaga tetapi tidak sangggup mewujudkan pesan moral ibadah yang dilaksanakannya, tidak lebih sekadar orang-orang yang lapar dan haus. Apakah mau merasakan lapar dan haus tanpa mendapat apa-apa dari lapar dan haus tersebut?

Dengan konteks era-modern ini, setidaknya kita juga tidak hanya puasa sebatas puasa makan atau ucapan, melainkan kita harus “puasa jempol”. Maksudnya, kita tidak mudah menyebarkan informasi yang membuat orang menjadi takut, atau membingungkan. Dengan tindakan semacam ini, maka kita juga ikut andil dalam mencegah menyebarluasnya pemahaman radikal.

Selain itu, puasa tidak hanya ritual menahan diri dari rasa lapar dan haus, melainkan puasa menjadi perubahan dalam diri setiap individu yang menjalankannya. Tanpa ada perubahan tersebut, puasa akan menjadi ritual yang tidak memiliki makna secara kontekstual. Selamat menunaikan ibadah puasa.

Facebook Comments