Puasa, Kesadaran Nasional dan Kolektivitas Sosial Saat Pandemi

Puasa, Kesadaran Nasional dan Kolektivitas Sosial Saat Pandemi

- in Narasi
1548
0
Puasa, Kesadaran Nasional dan Kolektivitas Sosial Saat Pandemi

Penutupan McDonald’s Sarinah pada Minggu (10/5/2020) menjadi sorotan objek pemberitaan nasional. Pasalnya, di tengah pandemi yang melanda negeri ini serta status PSBB Jakarta, masih banyak warga yang berkerumun di depan restoran cepat saji itu demi melihat detik-detik penutupan gerai.

Ini mereka lakukan demi mengenang masa lalu. Orang tua, remaja, bahkan anak ikut serta memeriahkan acara penutupan itu. Antrean pun mengulur hingga ke luar ruangan. Orang berani mengambi risiko di tengah kerumunan meski sudah ada larangan sebelumnya.

Kasus kerumunan di atas adalah masalah baru dalam perang melawan Corona. Kita tidak bisa keluar sebagai pemenang, jika kesadaran yang ada pada masyarakat masih kesadaran parsial. Parsial dalam arti, hanya sebagian masyarakat yang mematuhi protokol kesehatan, sementara yang lain mementingkan ego-nya masing-masing.

Jika masih ada anggapan, himbauan dan kebijakan pemerintah hanya berlaku pada mereka, sementara kami tidak ikut, maka itu adalah kesadaran parsial. Kesadaran parsial, tidak akan bisa melahirkan kolektivitas sosial.

Tidak heran, jika publik kecewa dan marah atas kelakuan sebagai warga Jakarta itu. Pengorbanan sebagian warga yang rela tidak mudik, ridha menahan rindu kampung halaman, mau gajinya dipotong, siap tidak menerima THR, asal pandemi ini cepat berlalu –semuanya seolah dikhianati, akibat ulah oknum yang tak bertanggung jawab.

Kesadaran Nasional

Sejarah menunjukkan, bahwa tidak ada perang yang berhasil dimenangkan jika tidak berangkat dari kesadaran bersama. Inilah yang disadari oleh para pendiri bangsa ini. Setelah melawan penjajah yang bersifat lokal dan parsial dirasa tidak efektif dan mudah dilumpuhkan oleh musuh, maka para pendahulu kita menyerukan Kesadaran Nasional.

Baca Juga : Ramadhan, Kebhinekaan, dan Kemanusiaan

Kesadaran Nasional ini menyatakan bahwa kita satu komando, satu tujuan, yakni Indonesia berdaulat. Hilangkan semua ego sektarian, mari satu barisan demi menatap masa depan.

Ibarat sapu, jika hanya satu lidi tak mungkin bisa membersihkan sampah, tetapi jika diikat dengan lidi itu diikat dengan tali yang kuat, maka sampah dengan mudah dibersihkan. Pun demikian dengan musuh, ikatan kesadaran nasional akan melahirkan kolektivitas sosial yang bisa membuat musuh takut dan hengkang dari ibu pertiwi.

Momentum 20 Mei sebagai Hari Kesadaran Nasional, harus kita kontekstulisasikan dalam perang melawan Corona. Kita tak mungkin bisa melawan Corona jika kekuatan kita masih parsial dan masih menuruti ego masing-masing.

Kesadaran Nasional adalah kunci dalam melawan pandemik. Semua lapisan masyarakat, tua-muda, laki-perempuan, tanpa memandang status dan strata sosial, kita sama berjuang bersama. Wabah ini adalah musuh kita bersama. Tidak ada kata mereka versus kami. Semuanya adalah kita.

Momentum Ramadan

Kontekstualisasi Kesadaran Nasional semakin mendapat relevenasinya sebab ia diperingati saat Ramadan. Ramadan adalah bulan berkah nan suci di satu sisi, juga bulan yang mempunyai kekuatan dan daya dobrak di sisi yang lain. Selama ini, kita lebih banyak mengelaborasi keberkahan dan kesucian Ramadan, akibatnya sisi power dari Ramadan sering tertutupi.

Sejatinya sisi inilah yang harus terus menerus diperhatikan dan dipaketkan di kehidupan bersama. Kekuatan Ramadan itu terletak pada fungsinya dalam merajut kemanusiaan dan kolektivitas sosial. Taqwa sebagai output puasa (QS. 2: 183) sejatinya bertujuan untuk menciptakan kedamaian di muka bumi.

Ketakwaan bukan saja melahirkan insan-insan mampu berdamai dengan dirinya dengan cara melepaskan diri dari belenggu dunia dan kebinatangan, melainkan juga harus berani berdamai dengan lingkungan sekitarnya dengan cara mempertajam kepekaan sosial dan ikut merasakan denyut nadi masyarakat, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, bahkan dalam level hubungan internasional.

Merajut kemanusiaan sebagai refleksi dari ketakwaan dalam hubungan berbangsa dan bernegara akan melahirkan kolektivitas sosial. Persatuan dan kesatuan tidak mungkin lahir bila tidak dibarengi dari jiwa-jiwa yang soliter dan melihat keadaan di sekitarnya. Kepekaan sosial tidak akan muncul bila tidak ada perenungan yang dalam terhadap the power of Ramadan.

Kolektivitas sosial inilah yang menjadi modal para pendiri bangsa ini dalam melakukan kerja-kerja perlawanan terhadap penjajah. Secara historis, bulan Ramadan adalah bulan yang istimewa bagi bangsa ini. Sebab, di bulan nan mulia ini, jihad kebangsaan digelorakan.

Jatuhnya Horishima dan Nagasaki membuat Gerakan Angkatan Muda menculik Sukarno di Rengasdengklok, dan tidak sabar lagi agar kemerdekaan Indonesia cepat-cepat diproklamirkan. Ramadan sebagai bulan jihad kebangsaan ditandai dengan semangat aktif dan bergelora dari para pendiri bangsa.

Para Pemuda menginginkan revolusi besar-besaran. Mereka bertekad agar Indonesia merdeka dengan kekuatan sendiri, bukan dengan bantuan apalagi pemberian dari Jepang. Alhasil, proklamasi kemerdekaan pun dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan Jumat, 9 Ramadan 1334 H. Perjuangan dari sekian tahun lamanya akhirnya membuahkan hasil.

Tanggal 17 sebagai titik awal gerak negeri ini mempunyai dasar filosofis. Yudi Latif dalam Negara Paripurna (2011) menjelaskan, bahwa Sukarno sendiri memilih angka 17 dengan pertimbangan dan pemikiran yang sangat matang.

Salah satu pertimbangan Sukarno adalah soal aspek religiositas. “Tujuh belas angka suci… Mengapa Nabi Muhammad SAW memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” demikian kata Bung Karno. Selain itu, 17 Ramadan sebagai turunnya Al-Quran, juga sangat dimuliakan dalam tradisi muslim di negeri ini. Dengan demikian, 17 rakaat kita melaksanakan salat, 17 Agustus kita merayakan kemerdekan, dan 17 Ramadan kita memperingati turunnya Al-Quran.

Menjadikan kemanusiaan dan kolektivitas sosial sebagai the power of Ramadan mempunyai fakta historis. Fakta historis ini tentu tidak berguna, jika hanya dijadikan kenangan sejarah saja. Kita tidak bisa mengatakan begitu saja, bahwa para pendahulu kita berjuang mati-matian di bulan Ramadan demi Indonesia. Tetapi, kita sendiri tidak bisa meneladaninya.

Rasa lapar, haus, dan letih harus kita transformasikan sebagai kekuatan untuk saling berbagi, berdonasi, dan menguatkan kepekaan sosial kita semua. Puasa yang hanya berhenti pada level haus dan lapar saja, sementara tidak memberikan efek sosial, maka puasa hanya sia-sia belakan.

Apalagi dalam konteks sekarang, di mana kita sedang berjuang melawan pandemi berbahaya: Covid-19. Puasa harus kita jadikan sebagai ladang untuk memupuk kemanusiaan dan meneguhkan kolektivitas sosial kita, agar kita bisa keluar sebagai pemenang. Jika para pendahulu bisa berhasil melawan penjajahan dengan mentransformasikan kekuatan puasa, maka seharusnya kita juga harus menjadikan power Ramadan untuk bisa menang keluar sebagai pemenang.

Facebook Comments