Bulan ramadhan merupakan momen yang paling tepat untuk muhasabah dan intropeksi diri. Pada bulan ini, umat Islam diwajibkan untuk melakukan ibadah puasa. Puasa disyariatkan untuk melatih diri seorang hamba mengendalikan hawa nafsunya. Puasa bukan hanya diartikan sebatas menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri. Lebih jauh, puasa menjadi sarana untuk mengenal diri sebagai manusia sejati yaitu sebagai hamba Allah Swt.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt dalam bentuk yang paling sempurna. Kesempurnaan itu lah yang membuat manusia memiliki sifat yang tidak mesti dimiliki makhluk lainnya. Menurut Imam Al-ghozali dalam kitab Kimia al- Sa’adah, ada 3 sifat yang bersemayam dalam diri manusia. Pertama sifat hewan, yaitu kecenderungan untuk makan, minum, tidur dan berkelahi.Kedua sifat setan, yaitu kecenderungan untuk mengajak melakukan hal-hal yang dibenci Allah Swt. Ketiga sifat malaikat yaitu kecenderungan untuk taat kepada Allah Swt.
Puasa melatih manusia untuk mengendalikan 3 sifat tersebut. Sifat hewan dan setan yang ada pada diri manusia apabila tidak dikendalikan akan menjerumuskan manusia menjadi makhluk yang hina, bahkan lebih hina dari hewan dan setan itu sendiri. Berbeda dengan sifat malaikat, apabila manusia mampu mengeluarkan potensi sifat ini, akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia.
Berpuasa berarti menahan sifat hewan dan setan agar tidak menguasai diri manusia, dan memunculkan sifat malaikat yang senantiasa taat kepada Allah Swt. Ibadah puasa di bulan ramadhan bagi umat islam merupakan bentuk penyerahan diri kepada Allah Swt. Allah memang berkenan menyediakan puasa sebagai sarana khusus bagi manusia menyatakan kefakiran, ke-dhaif-an, dan kepatuhan kepada Allah Swt (A. Musthofa Bisri : 2016). Dengan berpuasa manusia dapat melihat diri sebagai manusia seutuhnya yang dhaif dan lemah.
Baca Juga : Puasa, Multiplisitas, dan Sesama
Puasa bukan hanya sekadar ibadah yang berorientasi vertikal (kepada Allah Swt), tetapi juga berorientasi horizontal (sesama makhluk). Di dalam puasa terdapat pesan moral dan sosial yang luhur. Melalui puasa, kita dapat mengasah kepekaan sosial dengan turut merasakan penderitaan orang-orang yang memiliki kekurangan, terutama dari segi ekonomi.
Puasa merupakan sarana untuk menghidupkan kembali jiwa kemanusiaan. Syeikh Yusuf Al Qordhowi mengungkapkan, efek sosial dari ibadah puasa adalah mampu merasakan penderitaaan orang-orang yang kekurangan. Menurut pendapat tersebut, akan sia-sia puasa seseorang bila tidak mampu membangkitkan rasa kemanusiaan untuk peduli terhadap sesama.
Puasa merupakan ibadah yang tidak memandang strata sosial. Tidak ada bedanya tata cara puasa orang kaya dan orang miskin. Keduanya sama-sama menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Meskipun demikian, puasa yang tidak mencapai akar tujuannya justru memunculkan perbedaan yang sangat mencolok. Yang membedakan diantara keduanya adalah bagaimana keduanya memulai dan mengakhiri puasanya.
Bagi orang yang berkecukupan, sangat ironis bila puasa hanya sekadar memindahkan waktu makan saja dengan tetap mempertahankan segala kemewahannya. Bahkan bisa jadi lebih mewah dibanding hari-hari biasanya. Di saat yang berkecukupan merasa bingung memilih menu berbuka dan sahur, di luar sana mungkin saja masih banyak orang-orang yang justru bingung karena tidak ada yang bisa dimakan untuk berbuka ataupun sahur. Terlebih dengan kondisi saat ini, di tengah krisis ekonomi, seyogyanya puasa dapat menjadi sarana meningkatkan kepedulian kepada yang membutuhkan.
Menumbuhkan kepedulian terhadap sesama merupakan tugas berat kita sebagai manusia di era sekarang. Saat ini, manusianya cenderung hidup individualistik dan hedonistik. Padahal Rasululloh Saw pernah bersabda “Barang siapa yang melepaskan seseorang dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Allah Swt akan melepaskannya dari kesusahan di hari kiamat (H.R. Muslim)”. Nilai-nilai sosial dalam berpuasa seyogyanya menjadikan manusia lebih peka terhadap kondisi manusia lain di sekitarnya. Menjalani ibadah puasa di tengah pandemi virus corona saat ini menjadi momen yang tepat untuk mengembalikan potensi manusia sebagai manusia yang mulia. Yaitu manusia yang senantiasa taat kepada Allah Swt dan memiliki rasa kemanusiaan untuk merasakan dan turut mengurangi penderitan orang lain. K.H. A. Musthofa Bisri (Gus Mus) telah memberikan nasehat bagi kita sebagai manusia. Tetaplah jadi manusia, mengertilah manusia, dan manusiakanlah manusia, sebab Tuhan sangat memuliakan manusia. Wallahu a’lam.