Ramadan dan Munajat Pancasila; Titik Temu Perdamaian

Ramadan dan Munajat Pancasila; Titik Temu Perdamaian

- in Narasi
1229
0

Indonesia dengan segala keragamannya kini telah di pertaruhkan akibat konflik-konflik yang membawa sentiment keagamaan dalam politik identitas yang semakin di peruncing. Hal ini berdampak pada situasi ekonomi dan politik di negeri yang sedang berproses membangun dan berbenah diri namun dihadapkan pada persoalan moralitas yang runyam dan mengundang frustasi.

Seperti yang kita jalani saat ini, peringatan Harlah Pancasila bersamaan dengan datangnya bulan Ramadan, yang bagi umat Islam di wajibkan atas mereka untuk menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Dus, bulan Ramadan harus menjadi momentum pelaksanaan ibadah tidak hanya secara individual, namun juga mengedepankan semangat ibadah yang kolektif dan berkelanjutan.

Dalam menyambut momentum ini, berbagai gerakan yang ingin mengganti ideologi justru muncul kian merebak. Kondisi kebangsaan serta kebinnekaan kita yang telah terancam oleh gerakan tersebut harus segera disikapi. Maka, ikhtiar yang berorientasi memperkokoh kembali landasan berbangsa dan bernegara menjadi kewajiban mutlak dan tidak bisa di tawar-tawar lagi.

Agama (baca: Islam) dalam hal ini harus mampu menjabarkan keterkaitannya dengan Pancasila. Keutamaan umat Islam berpuasa di bulan Ramadan adalah sama utamanya mempertahankan Pancasila sebagai dasar kita dalam berbangsa dan bernegara. Perbedaan dari keduanya hanya terletak pada relasi yang terjalin. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadan adalah ibadah yang bersifat indvidual, sedangkan kewajiban dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara adalah ibadah yang bersifat komunal. Keutamaan ibadah yang bersifat komunal ini sama halnya dengan keutamaan ibadah secara personal/individual karena menyangkut kelangsungan hidup kita sebagai rakyat Indonesia.

Hubungan Islam dan Pancasila seharusnya tidak perlu di pertentangkan. Bagi penulis, kenyataan bahwa butir-butir Pancasila dan agama Islam telah saling terkoneksi tidak bisa di bantah. Hal ini karena butir-butir Pancasila telah termaktub dalam sabda-sabda Tuhan melalui al-Qur’an al-Karim yang telah memberikan justifikasinya terhadap Pancasila itu sendiri. Sederhananya begini, jika kita (baca: umat Islam) menegakkan Pancasila, hal itu sama halnya kita menegakkan ayat-ayat suci di bumi pertiwi yang kita huni.

Lahirnya Pancasila sebagai payung pemersatu umat di Indonesia yang harus di hormati dan di jalankan oleh seluruh warganya (termasuk umat Islam) bukanlah sesuatu yang kebetulan. Para pendiri bangsa merumuskan Pancasila dengan ikhtiar yang luar biasa. Hal ini dilakukan atas landasan beberapa sabda Tuhan yang sudah sangat jelas memberikan justifikasi pada setiap butir-butir Pancasila itu sendiri. Seperti yang tertulis dalam firman Tuhan, “Katakanlah: Dialah Allah, yang Maha Esa” (QS. Al-Ikhlas:1) kesesuaian dengan sila pertama yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa . –pun dengan ayat ke: 135 QS. An-Nisa “Maka janganlah Kamu mengikuti hawa nafsu, hendaklah kamu menjadi manusia yang adil”, memiliki hubungan dengan sila kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Selanjutnya adalah sila ketiga Pancasila yang berbunyi, “Persatuan Indonesia” berkorelasi dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya, “Dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal“. Sila keempat berbunyi, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, juga memiliki korelasi dengan QS. Asy-Syuro ayat 38 yang artinya, “Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”. Sementara itu, sila terakhir Pancasila yakni sila kelima, Keadila Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, berkesinambungan denga firman Tuhan dalam QS. An-Nahl ayat 90 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”.

Titik temu nilai-nilai Islam dan butir-butir Pancasila diatas harus dipahami dan diketahui masyarakat umum, terutama umat Islam. Hal ini penting agar tidak ada lagi kesalahpahaman antara Islam dan Pancasila. Kenyataan bahwa keduanya tidak pernah saling bertentangan harus diakui, inilah nantinya yang akan membentuk masyarakat madani yang plural, mencintai keberagaman dan hidup berdampingan.

Bagi penulis sendiri, selain kewajiban menjalankan puasa di bulan Ramadan, merefleksikan butir-butir Pancasila seperti halnya memanjatkan ribuan munajat dengan sepenuh hati dalam keadaan shalat. Sederhananya begini, Pancasila itu ibarat shalat beserta keseluruhan gerakanya.

Pancasila haruslah berdiri tegak, setegak saat kita takbiratul-ihram, berteguh kepada ketauhidan, sebagaimana sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila haruslah bergerak lurus, selurus gerak ruku’ dalam membangun horizon keadilan dan solidaritas social. –pun demikian dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Pancasila harus bergerak berdiri lurus dalam satu tarikan nafas, layaknya gerakan I’tidal dalam menyatukan langkah dan gerak solidaritas politik yang mengedepankan kepentingan nasional, sebagaimana pada sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia.

Bagi penulis, ada kalanya Pancasila harus merunduk sujud menuju tempat terendah, bersimpuh dengan segala kerendahan hati dalam menata kebijaksanaan Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.-Dus demikian, Pancasila juga harus berpijak dan beralas tanah, sembari duduk luluh dan merapat dengan bumi, layaknya gerak tahiyyat yang bersabar untuk bisa tumbuh subur bersama rakyat karena tugas mulia seorang pemimpin adalah menabur keadilan sosial, sebagaimana sila kelima : Keadilan sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Maka demikianlah, karena ibadah shalat adalah keseluruhan gerak, maka ketika ada satu rangkaian gerak tidak terlaksana, hanya akan membatalkan shalat itu sendiri. Demikian pula kita dalam ber-Pancasila, bila ada sila yang terlewat, maka “batal” pula kita ber-Pancasila. Dimasa kini, sebagai generasi yang sedang dan akan terus menegakkan berdirinya Pancasila, maka sudah seyogyanya kita laksanakan nilai-nilai Pancasila seperti halnya kita melaksankan ibadah shalat.

Agama (baca: Islam) dan Pancasila bukan dua hal yang bertentangan. Keduanya memiliki titik temu yang berorientasi sama, memiliki cita-cita luhur bagi kemanusiaan dan bangsa. Maka, titik temu butir-butir Pancasila dan niai-nilai agama ini harus digunakan sebagai paradigma segarakan seluruh umat untuk menuju perdamaian yang positif (positive peace), kondisi dimana seseorang mampu mengembangkan potensinya tanpa halangan apapun. Baik itu latarbelakang, ras, suku, warna kulit, bahkan agama. Semua itu harus dijalankan sebagaimana mestinya, karena Indonesia merdeka berkat adanya keberagaman.

*Penulis adalah Ketua PMII Putri Komisariat UIN Walisongo Semarang. Pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Perbandingan Agama sekaligus Direktur Sains & Penelitian di Kelompok Studi Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Sekarang aktivis di Pondok Damai Kota Semarang.

Facebook Comments