Momentum kelahiran Pancasila kali ini terasa begitu istimewa, ada dua hal setidaknya, Pertama, kelahiran Pancasila bertepatan dengan pelaksanaan Bulan Suci Ramadan dan Kedua, berdasar pada Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 bahwa tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional (HLN). Apresiasi tentunya patut diberikan kepada Presiden Joko Widodo yang telah mengambil kebijakan untuk menetapkan 1 Juni sebagai HLN guna memperingati sejarah kelahiran Pancasila yang merupakan ideologi konsensus atas masa depan bangsa Indonesia.
Ikatan kebangsaan dan dorongan untuk kembali pada jati diri Pancasila saat ini sangat relevan untuk diangkat bersama, di tengah-tengah terkoyaknya rasa toleransi dan tiadanya penghargaan atas kebhinnekaan. Pun, disamping itu, adanya aksi radikalisme yang dilakukan oleh kelompok jaringan terorisme juga menjadi alasan mengapa negara harus segera mengambil langkah taktis dan strategis guna menangkal setiap pergerakan radikal yang ingin mengganggu keamanan publik dan mengganti ideologi negara. Kohesi sosial menjadi keniscayaan dan kunci dalam mengantisipasi setiap narasi radikalisme. Kontranarasi atas persoalan tersebut tentunya tidak hanya berhenti pada tataran wacana ansich, namun juga sampai pada ranah aplikatif-implementatif yang mampu dilakukan oleh publik.
Ramadan adalah moment istimewa bagi umat Islam, pun, ketika kita melihat kembali sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, pada saat Ramadan kemerdekaan RI dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta. Dan saat ini, Ramadan bersamaan dengan kelahiran Pancasila. Pada situasi seperti ini, menjadi kesempatan yang sangat baik untuk kembali melakukan refleksi atas sentimen SARA, utamanya pada persoalan agama, etnis, dan politik. Jangan sampai rasa kebersamaan dalam bangunan kebhinnekaan kita terkoyak-koyak oleh perbedaan pandangan dan menjadikan agama sebagai barang dagangan tanpa mengetahui batasan yang semestinya dalam menempatkannya. Di sinilah perlunya menumbuhkan rasa ghiroh atas negara. Jika Buya Hamka, memberikan cara pandang yang begitu cerdas dalam bukunya “Ghiroh, Cemburu Karena Allah” yakni dalam beragama perlu dimunculkan rasa ghiroh sebagai tanda ketaatan kepada ajaran Illahiah, maka pada konteks ini sangat penting untuk menggugah perasaan ghiroh bernegara.
Ghiroh kita atas negara adalah kontranarasi atas aksi-aksi radikal yang ingin mencerabut akar ideologi Pancasila dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebhinnekaan adalah keniscayaan dalam tubuh ke-Indonesia-an kita, maka konflik sosial yang mengarah pada sentimen agama dan etnis sangat mudah sekali untuk dipantik. Jika ghiroh kenegaraan sebagai narasi ideologis atas persoalan bangsa ini tidak dipahami bersama, maka narasi radikallah yang akan mengambil alih.
Presiden Joko Widodo, telah mencanangkan Pekan Pancasila dengan tema “Saya Indonesia, Saya Pancasila” guna memperingati hari lahirnya Pancasila. Tidak terlepas dari pentingnya kegiatan ini bagi pembentukan dan peneguhan kembali semangat nasionalisme, satu hal yang paling penting adalah jangan hanya berhenti pada simbol ansich. Berdasar pada survei (jejak pendapat) yang dilakukan oleh Litbang Kompas mengenai hal apa yang menjadi perekat bangsa, menggambarkan data yang menarik, 43,5% (responden) menyatakan Pancasila, 17,2% menyatakan Kebhinnekaan, 10,4% menyatakan agama, dan 7,5% menyatakan toleransi. Data ini cukup memberikan ilustrasi bersama bahwa Pancasila lah faktor utama dalam merekatkan unsur-unsur kebangsaan. Maka sudah selayaknya jika Pancasila harus menjadi etos bersama, dan itu dapat terlihat dalam seberapa besar ghiroh kita dalam bernegara.
Seorang Muhammad Natsir, dalam pidatonya saat menjadi pembicara di Pakistan Institute For International Relation, Karachi, pada tahun 1953, “ Pakistan adalah negara modern, dengan demikian juga negara kami memeluk agama Islam, kami menyebutnya dalam kosntitusi. Bukan berarti mengeluarkan agama dari kehidupan, tetapi karena kami telah mengekspresikannya dalam Pancasila, yang menjadi ajaran spiritual, moral, dan landasan etik dlaam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Statement Muhammd Natsir sudah cukup menjelaskan bahwa keberadaan Pancasila adalah final bagi bangsa Indonesia, maka pemahaman melahirkan kembali Pancasila pada hakikatnya adalah meneguhkan nilai-nilai filosofis, sosiologis, dan kultural Pancasila sebagai ligatur kebangsaan.
Ghiroh bernegara sekali lagi adalah keniscayaan bagi setiap elemen bangsa ini, dan Ramadan adalah momentum yang tepat untuk semakin meneguhkan rasa nasionalisme kita kepada bangsa ini. Peneguhan dan komitmen kita atas Pancasila adalah bentuk perlawanan untuk mengenyahkan segala bentuk aksi radikalisme dan terorisme di mana mereka selalu menghalalkan cara dengan mengatasnamakan agama dan keadilan.