Rekontekstualisasi Ramadhan sebagai Bulan Jihad dalam Pandangan Al-Ghazali

Rekontekstualisasi Ramadhan sebagai Bulan Jihad dalam Pandangan Al-Ghazali

- in Keagamaan
394
0
Rekontekstualisasi Ramadhan sebagai Bulan Jihad dalam Pandangan Al-Ghazali

Ramadhan disebut sebagai bulan jihad lantaran kaum muslimin banyak melakukan pertempuran jihad fi sabilillah pada bulan suci ini. Perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-2 H, bahkan bertepatan dengan tahun diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Atas karunia Allah SWT, sejumlah 313 pasukan Islam berhasil mengalahkan seribu pasukan kafir Quraisy yang bersenjatakan lengkap.

Enam tahun kemudian terjadi peristiwa yang jauh lebih besar dan mempesona. Inilah penaklukan paling indah dalam sejarah umat manusia. Penaklukan tanpa korban jiwa. Kemenangan besar tanpa tetesan darah! (bersamadakwah.net). Nabi Muhammad SAW bersama 10 ribu pasukan muslim memasuki Makkah yang telah ditinggalkan. Penduduk Makkah yang telah mengusir Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin tidak bisa berkutik. Awalnya, mereka sudah siap menerima apapun hukuman yang diberikan Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin. Mereka sadar bahwa beberapa tahun sebelumnya telah melakukan kezaliman yang besar. Namun demikian, di saat Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin memiliki kekuatan, maka sifat pemaaf yang dikedepankan. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak melakukan balas dendam namun memberikan maaf kepada penduduk Makkah.

Bermula dari sinilah, kemenangan Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin bukan hanya dalam bentuk fisik saja. Dengan adanya sifat pemaaf, menghindarkan pertumpahan darah, maka penduduk Makkah semakin simpati dengan ajaran agama yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW. Alhasil, banyak penduduk Makkah yang tertarik untuk berpindah keyakinan dari kekafiran menjadi iman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Di samping dua peristiwa jihad dahsyat di atas, masih banyak lagi peristiwa yang berkaitan dengan jihad terjadi di Bulan Ramadhan. Bahkan, di Indonesia sendiri kaum santri melakukan jihad akbar dalam menunjukkan hubbul wathon minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) puncaknya pada bulan Ramadhan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364. Dari rangkaian peristiwa ini maka wajar manakala Ramadhan juga disebut sebagai bulan jihad.

Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, puasa memiliki 3 tingkatan. Ketiganya merupakan tingkatan jihad dalam diri setiap pelakunya. Sebagaimana tertera dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali membagi tiga tingkatan puasa, yakni shaumul umum, shaumul ‎khusus, dan shaumul khususil khusus. Pertama, Shaumul umum (puasanya orang awam) adalah jihad melawan hawa nafsu dari perbuatan yang membatalkan puasa, baik makan, minum, ataupun berhubungan badan. Jihad ini dilakukan oleh kebanyakan orang sebagaimana yang telah disyariatkan dalam berpuasa.

Kedua, Shaumul ‎khusus (puasa khusus) merupakan jihad menahan diri dari berbuat dosa, baik dosa telinga, mata, mulut, tangan, kaki, ataupun anggota tubuh lainnya. Pada level puasa inilah mestinya manusia harus bersungguh-sungguh dalam menggapainya. Karena, masih banyak orang yang melakukan puasa hanya sebatas menjalankan syariat namun luput dari esensi. Seseorang melakukan puasa namun anggota tubuh masih melakukan dosa bahkan sampai membuat orang lain terzalimi.

Berapa banyak orang yang menjalankan ibadah puasa namun telinganya masih digunakan untuk mendengarkan dalam rangka memfitnah ataupun mencelakai orang lain. Berapa banyak orang yang berpuasa namun lisan dan tangannya digunakan untuk melakukan ghibah dan provokasi. Lisan digunakan untuk teriak-teriak ataupun membuat konten video ghibah dan provokasi. Senada dengan itu, tangan juga digunakan untuk membuat narasi berisikan ghibah dan provokasi. Kaki pun tak luput menjadi penopang dalam melakukan beberapa kegiatan negatif anggota tubuh lainnya.

Begitu besar dampak negatif anggota tubuh yang tidak dikekang dalam berbuat kemaksiatan sampai-sampai bisa mempengaruhi pahala puasa. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), namimah (mengadu domba/provokasi), berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu” (HR Ad-Dailami).

Bermula dari sinilah, menahan anggota tubuh dari berbuat maksiat merupakan jihad yang besar dalam berpuasa. Dengan menjalankan ini semua, maka bukan saja pahala puasa akan tetap ada diri seseorang yang melakukan ibadah puasa melainkan juga akan memberikan ketenangan pada diri dan juga orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena, dengan berjihad menahan diri dari berbagai kemaksiatan yang dilakukan anggota tubuh sama halnya dengan menjaga keselamatan diri dan orang lain.

Ketiga, shaumul khususil khusus (puasa super khusus) merupakan puasa hati untuk bisa menahan diri dari keraguan akan hal-hal keakhiratan, menahan pikiran dari masalah dunia, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah SWT. Pada level ini, orang yang berpikir selain Allah SWT menyebabkan puasanya batal. Tentu, puasa pada level ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang super khusus, semisal para nabi, shiddiqin, dan muqarrabin.

Ketika dalam mencapai level ke-3 masih sangat jauh, maka tugas kita adalah berjihad dengan sungguh-sungguh agar bisa menggapai puasa pada level ke-2. Mari puasa bisa menjadi sarana pendidikan diri agar bisa menahan seluruh anggota tubuh dari berbagai maksiat. Dengan demikian, kenyamanan hidup bersama akan dengan mudah dirasakan.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments