Dalam kunjungan kerjanya ke Sumatera Utara (24/03/2017), Presiden Joko Widodo sempat mengatakan agar politik dan agama dipisahkan. Presiden meminta masyarakat dapat memisahkan agama dari politik, atau politik dari agama. “Jangan sampai dicampuradukan antara politik dan agama, dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik” begitulah pesan Jokowi. Pernyataan ini tidak sedikit menimbulkan polemik dengan munculnya pro dan kontra.
Sejatinya relasi agama dan politik di Indonesia merupakan perdebatan klasik dan sudah tuntas ketika para pendiri bangsa ini menegaskan negara ini sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila merupakan orisinalitas pemikiran anak bangsa tentang konsep bernegara sebagai jalan tengah antara dua pilihan negara sekular atau teokratik. Jelasnya, relasi agama dan politik di Indonesia menegaskan bahwa Indonesia itu ‘bukan negara agama’, tapi juga bukan “negara sekular”. Indonesia adalah negara Pancasila yang menempatkan agama pada posisi penting. Lima Prinsip Dasar Negara ini menempatkan agama di hirarki pertama dan utama.
Dalam konteks historis tersebut, agama dan politik merupakan jalinan yang tak terpisahkan. Agama merupakan sumber etik yang mengokohkan bangunan politik kenegaraan. Pemahaman ini memang sudah tidak bisa dibantah sebagai bangunan negara Pancasila. Persoalan berikutnya adalah proses pencampuradukkan agama dan politik di tengah masyarakat.
Barangkali ini sebenarnya konteks yang ingin disinggung oleh Presiden terkait pemisahan agama dan politik dalam arti pencampuradukkan antara agama dan politik. Menjawab pernyataan tersebut, sebenarnya tidak perlu bersusah payah merujuk kembali pada relasi agama dan negara yang sebenarnya sudah tuntas menjadi konsensus nasional dalam rumusan Negara Pancasila. Namun, wacana pemisahan agama dan politik sangat terkait dengan kondisi kekinian di mana masyarakat menjadi lumrah dan gampang mencampuradukkan persoalan keagamaan dan persoalan politik kekuasaan.
Pencampuradukkan agama dan politik justru menghasilkan dua hal yang tidak produktif. Pertama, politisasi agama. Agama hanya dijadikan alat komoditas politik dalam rangka kontestasi kekuasaan. Inilah yang akhir-akhir ini marak terjadi mewarnai kontestasi politik di tanah air. Kecerobohan politikus untuk menunggangi agama berjalan seiring dengan ketidakdewasaan masyarakat dalam membedakan mana ranah politik dan mana ranah agama.
Agama mudah dieksploitasi demi kontestasi kekuasaan dan ayat-ayat Tuhan diperjual-belikan untuk kepentingan sesaat. Maraknya politisasi agama menimbulkan ketidakdewasaan baik dalam berpolitik maupun dalam beragama. Masyarakat mudah terpedaya dengan istilah keagamaan yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Akhirnya muncul fenomena kedangkalan dalam beragama dan sikap pragmatisme menghalalkan segala hal dalam berpolitik.
Kedua, sakralisasi politik. Dalam model kedua ini gerakan apapun atas nama politik dilegitimasi dengan agama. Pola seperti ini misalnya terlihat dari corak pemikiran kelompok radikal terorisme. Dalam pandangan tersebut, tindakan politik yang mereka lakukan merupakan tugas suci sebagai pertarungan kosmik antara kebaikan dan kebatilan.
Baik politisasi agama maupun sakralisasi tindakan politik berawal dari pencampuradukkan antara agama dan politik yang tidak proporsional. Karena itulah, dalam Negara Pancasila seharusnya relasi agama dan politik tersebut harus didudukkan secara benar. Agama dan politik tidak bisa bisa dipisahkan tetapi tidak bisa pula dicampuradukkan secara serampangan. Agama adalah sumber etik dan moral negara, sementara negara adalah instrumen yang menjamin kebebasan beragama.