Relasi Kecurangan Pemilu, Kekerasan dan Masyarakat

Relasi Kecurangan Pemilu, Kekerasan dan Masyarakat

- in Narasi
1691
0
Relasi Kecurangan Pemilu, Kekerasan dan Masyarakat

Baru beberapa hari lalu pesta demokrasi serentak dilakukan di beberapa daerah di negri ini. Tentunya kita jelas mengetahui bahwa ada pihak yang menang dan kalah dalam kontestasi tersebut, walaupun semuanya itu masih melalui penghitungan cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei. Persoalannya adalah sulit untuk melihat gelaran pemilu, termasuk yang kali ini digelar pun lepas dari tindak kecurangan. Dalam rilis yang dikeluarkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah diketahui bahwa terjadi 13 kasus pelanggaran pengawasan. Temuan ini diperoleh dari evaluasi yang dilakukan di 8.751 Tempat pemungutan Suara. Bentuk pelanggarannya pun beragam, mulai dari Tempat Pemungutan Suara yang kurang memfasilitasi penyandang disabilitas hingga pelanggaran yang berupa pengarahan dan intimidasi kepada pemilih.

Sialnya, pihak yang diuntungkan karena kemenangan dalam arena pemilu malah bersembunyi di balik tameng kata “oknum” bila ada dari pihaknya yang melakukan kecurangan. Sementara bagi pihak yang dinyatakan kalah, sangat potensial untuk terpantik emosinya karena merasa kaidah yang mereka pegang dalam menjalani kontestasi tersebut di-dzhalimi oleh pihak yang menang. Bila sudah demikian, gesekan yang berujung konflik pun sangat riskan untuk hadir di tengah-tengah masyarakat. Sebab baik yang menang dan yang kalah akan merasa memiliki hak atas legitimasi kekuasaan yang ada. Dalam beberapa contoh di negeri ini, kita bisa melihat bagaimana cara pandang demikian akhirnya mengantar kita untuk saling membenci satu dengan yang lain. Pada gilirannya kemanusiaan harus terciderai lagi akibat ambisi-ambisi demikian.

Memang sukar mendapatkan posisi keberpihakan terhadap kemanusiaan dalam era post-truth ini, terlebih lagi bila realitas yang dihadirkan hanya menyajikan benturan layaknya konteks di atas. Kekuatan kepentingan terlalu mendominasi rasio, sehingga setiap masyarakat hanya digiring untuk masuk arena dukung-mendukung semata. Seolah-olah semua hal hanya bermuara pada kutub yang tengah bertarung. Sikap untuk menolak mendukung atau menolak membenci yang lain, akan gampang divonis dengan tuduhan apatis terhadap perpolitikan dan nasib bangsa ke depannya. Padahal bila saja cara berfikir atas nama kemanusiaan dilemparkan kepada para kandidat dan kemudian mereka berkenan meng-internalisasikan hal tersebut ke dalam diri mereka masing-masing, tentunya mereka akan malu dengan kebijakan penciptaan konflik yang diambil demi kepentingan mereka.

Menjauhi Banalitas Kekerasan

Hingga hari ini boleh dikatakan pesta demokrasi 2018 yang baru saja berlangsung, berjalan dengan lancar dan masih mampu berjarak dengan hadirnya konflik. Hal demikian sebenarnya patut diapresiasi bukan hanya kepada langkah yang telah diambil pemerintah, namun juga kepada seluruh elemen masyarakat dengan pilihan damai yang tetap dijaga. Sudah seyogyanya negara ini beroleh hak-nya atas kedamaian baik sebelum dan sesudah kontestasi demokrasi dilangsungkan. Bahkan bila memungkinkan, biarlah hal tersebut mengakar dan terus terjaga sebagai sebuah budaya. Sebab kita tidak mungkin menganggap ritus kekerasan sebagai sebuah hal yang mafhum terjadi.

Kita memang mengetahui bahwa negara kita sempat memiliki beberapa potret memilukan dalam kaitannya dengan pemilihan umum dan kekerasan. Namun bila masyarakat terus dibiarkan memiliki pemikiran bahwa kegiatan pemilu berlekatan dengan banalitas kekerasan, maka kesesatan fikir yang pada gilirannya potensial membuat keberagaman dan Pancasila akan tercabut dari pondasi kita bernegara.

Jiwa demokrasi yang sehat tidak dapat beririsan dengan persoalan kekerasan dalam pemilu. Sebab seperti kita ketahui bersama, poin utama yang ditekankan sehingga demokrasi lahir adalah pembukaan dan penghormatan terhadap hak-hak setiap manusia untuk dapat berpartisipasi dalam ruang-ruang sosial dan politik. Sementara kekerasan dan konflik dalam pemilu hakikatnya bisa diartikan sebagai sebuah pengingkaran terhadap hak-hak tersebut. Untuk melihatnya secara sederhana, kita bisa saja berangkat dari narasi demokrasi yang sering kita dengar yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga bila dalam perjalanan arus demokrasi yang ada malah menjadi arus yang digunakan politisi pragmatis untuk menghantam lawan politiknya dengan menggunakan rakyat, maka bisa saja rakyat mengelak dan berupaya menghindari arus politik demikian. Belajar berdemokrasi bukanlah belajar untuk memberangus hak-hak orang lain, terlebih lagi sampai menganggap tindakan-tindakan berupa kekerasan sebagai hal yang biasa.

Bercanda Demi Guyub

Bila para politisi saja mudah berfikir pragmatis terhadap langkahnya, atau bahkan dengan cepatnya berdalih terhadap kesalahan yang diperbuat sebagai tindakan oknum, mengapa kita di akar rumput tidak lantas berfikir dengan koridor yang hampir serupa tapi tetap tak sama. Setidaknya dalam konteks kemanusiaan dan memperkuat jalinan silaturahmi di level akar rumput, kita mungkin saja melihat para demagog tersebut sebagai pelawak yang menghadirkan drama sekaligus tontonan konyol dalam realitas. Hal demikian sangatlah mungkin terjadi, apalagi dengan kecanggihan teknologi saat ini dan bertaburnya ide-ide kreatif anak bangsa, khususnya dalam pembuatan meme atau mungkin seperti kartun kritis layaknya yang pernah dibuat oleh kartunis alm.GM Sudarta.

Kita bisa memilih untuk larut dalam polarisasi politik yang potensial berujung konflik, atau memilih untuk menguatkan simpul di level masyarakat dengan hal-hal sederhana yang bisa dilakukan. Setidaknya keberpihakan kita untuk menikmati informasi yang bernuansa gesekan bisa kita abaikan dan lebih menjatuhkan pilihan pada informasi atau pun candaan yang bersifat menertawakan para demagog politik.

Facebook Comments