Resolusi 2020: Menjadi Manusia Berkemajuan Bebas dari Intoleransi

Resolusi 2020: Menjadi Manusia Berkemajuan Bebas dari Intoleransi

- in Narasi
406
1

Manusia berkemajuan adalah manusia yang hari ini lebih baik dari kemarin dan berusaha agar hari besok lebih baik dari pada hari ini. Dalam konteks pergantian tahun, manusia yang mempunyai cita-cita –tentu berusaha sekuat tenaga mewujudkannya –agar tahun 2020 lebih baik dari tahun 2019 adalah termasuk model manusia berkemajuan.

Mengapa tahun 2020 perlu mendapat perhatian serius? Karena tahun 2019 adalah tahun politik, di mana perhelatan demokrasi lima tahunan digelar. Tak berlebihan jika tahun 2019 adalah tahun penuh tantangan. Belajar dari pengalaman adalah guru terbaik, untuk kemudian lebih baik di tahun 2020.

Banyaknya hate speech, black campaign, provokasi, penghinaan dan narasi-narasi perpecahan yang dihembuskan, terutama di media sosial demi menumbangkan lawan dan memenangkan jagoannya, perlu segera ditinggalkan. Kita perlu membuat resolusi yang damai; bahwa tahun 2020 harus bebas dari segala penyakit intoleransi.

Dalam konteks inilah, bagaimana menjadi manusia berkemajuan di tahun 2019? Jawabannya adalah –tanpa menegasikan jawaban lain –bebas dari intoleransi. Musuh terbesar bangsa ini sekarang adalah intoleransi. Intoleransi sudah masuk ke segala lini masyarakat. Di pedesaan sekalipun, yang sering diklaim sebagai oase perdamaian, tidak pernah lepas dari tindakan intoleransi.

Hanya beda agama, kita sering berlaku diskriminatif terhadap agama lain. Hanya beda preferensi politik, kita dengan mudah memfitnah, menyebar hoax, kepada kelompok yang kita anggap lawan. Budaya saling asah dalam beragama, dan saling asuh dalam kehidupan, mulai hilang dari tengah-tengah kita.

Belum lagi maraknya penyakit masyarakat menyebar ujaran kebencian (hate speech. Mulai dari penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, sampai kepada penyebaran berita bohong (hoax). Semua penyakit ini tumbuh subur di tengah-tengah kita.

Kemajuan dan Resolusi Perdamaian

Intoleransi sudah bisa dijadikan musuh bersama di tahun 2019 ini. Menempatkan intoleransi sebagai musuh utama dan bersama tentu bukan tanpa alasan. Menurut laporan dari Koordinator Program Imparsial, selama 2019 terdapat 31 kasus intoleransi. Kasus ini meliputi pelarangan tempat ibadah, pelarangan budaya etnis, perusakan tempat ibadah, dan pelarangan bertetangga dengan agama lain. Pendek kata, kebebasan beragama mendapat lapor mereh tahun ini.

Baca Juga :Berukhuwah di Zaman Penuh Fitnah

Ini belum lagi fenomena di akar rumput. Adanya penolakan terhadap orang yang berbeda agamanya. “Terima kost muslim”, “terima kost muslimah,” dan segenap tindakan intoleran lainnya, menjadi hal yang lumrah di daerah kampus.

Data di atas bisa menjadi bahan refleksi bagi segenap anak bangsa untuk menjadi lebih baik di tahun 2020. Maka sudah sewajarnya, bagi segenap masyarakat Indonesia, terutama milenialnya, menjadikan perdamaian sebagai resolusi di tahun 2019 ini.

Maksud resolusi perdamaian di sini adalah setiap anak bangsa harus aktif dan ikut serta memerangi intoleransi dan segala bentuk ujaran kebencian. Dengan cara tidak men-share, like, berkomentar dan mendramatisir sebuah isu dan pemberitaan.

Massifnya intoleransi dan ujaran kebencian tidak lepas dari banyak share, like, dan komentar yang diberikan di media sosial. Tak jarang, ada sebagian pihak yang dengan sengaja menjadikan produksi hoax untuk agama dan kelompok tertentu sebagai ladang bisnis. Dalam hal ini, manusia yang mempunyai semangat kemajuan adalah manusia yang ikut serta menjadikan perdamaian sebagai prioritas utama di tahun 2020 ini.

Kampanye untuk membangun perdamaian dan menghindari masyarakat dari berbagai konflik sosial harus dilakukan di banyak level. Salah satu yang perlu diperhatikan sebagai sumber konflik adalah maraknya tindakan intoleransi. Jika tidak ditangani segera akan menimbulkan perpecahan di masyarakat yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan bangsa.

Musdah Mulia, selaku Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), menyebut tak jarang tindakan intoleransi itu ditunggangi oleh kelompok-kelompok radikal atau kelompok lain yang menginginkan perpecahan negeri ini.

Masih menurut Musdah Mulia, salah satu solusi agar terhindar –setidaknya meminimalisir –intoleransi adalah melalui lembaga keluarga. “Pertama itu dimulai dari level keluarga. Sebagai orang tua perlu membicarakan isu perdamaian dan isu hate speech ini di rumah tangga. Kerena di rumah tangga itu perlu ada komunikasi yang intents antara ibu, bapak, anak-anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya.”imbuhnya.

Dengan demikian, tahun baru dengan harapan baru perlu menerapkan dan menamakan sejak dini tentang perlunya bebas dari intoleransi. Biarlah data tahun sebelumnya itu sebagai bahan renungan itu setiap anak bangsa, bahwa intoleransi akan menjadikan pembangunan dan rasa keharmonisan terseok-seok.

Manusia Berkemajuan adalah manusia yang mau belajar dari masa lalu, demi kebaikan masa depan. Orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemari termasuk orang yang merugi, dan orang yang hari besok lebih buruk dari hari ini termasuk orang yang celaka., demikian Sabda Nabi. Dan salah satu orang yang tidak merugi itu adalah orang bisa bebas dari ujaran kebencian.

Facebook Comments