Resolusi 2023: Waspada Empat Taktik Penyebaran Ideologi Radikal Terorisme

Resolusi 2023: Waspada Empat Taktik Penyebaran Ideologi Radikal Terorisme

- in Narasi
322
0
Resolusi 2023: Waspada Empat Taktik Penyebaran Ideologi Radikal Terorisme

Salah satu virus yang berpotensi terus menggerogoti bangsa ini adalah ideologi radikal yang ciri utanya gerakannya ingin mengubah ideologi, sistem dan menebar perpecahan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, refleksi akhir tahun adalah merawat PBNU (Pancasila. Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.

Untuk menjaga dan merawat PBNU tersebut, yang harus menjadi perhatian bersama adalah tentang taktik penyebaran radikalisme dan terorisme oleh kelompok radikal. Diakui maupun tidak, taktik tersebut acapkali tidak kita sadari sehingga masyarakat seringkali terkecoh dengan upaya infiltrasi kelompok radikal tersebut.

Berdasarkan rentetan peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2022, ada hal menarik yang tidak boleh luput dari perhatian bangsa Indonesia, yakni tentang penyebaran ideologi radikal di lembaga keagamaan.

Beberapa Penyebab

Dari sini muncul pertanyaan: mengapa kelompok radikal terorisme gencar mengincar lalu menyusup ke lembaga keaagamaan ?

Pertama, posisi strategis Lembaga keagamaan dalam pandangan masyarakat Muslim Indonesia.

Sejauh ini, lembaga keagamaan seperti pondok pesantren dan sejenisnya, keberadaannya sangat strategis. Lembaga keagamaan tidak hanya tempat menimba ilmu agama, namun juga untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik melalui jalur pendidikan.

Bahkan pesantren juga menjadi rujukan sebagian besar masyarakat terhadap sikap tentang suatu hal. Misalnya fatwa atas suatu hal atau peristiwa. Acapkali masyarakat Indonesia merujuk fatwa MUI dan pimpinan ponpes dalam menyikapi suatu hal yang sekiranya menjadi perhatian bersama. Posisi inilah yang menyebabkan kelompok radikal terorisme menyusup ke ponpes.

Dengan masuk ke lembaga keagamaan, maka rencana jahat mereka akan lebih mudah, terutama dalam mempengaruhi ideologi umat. Begitu rapih dan piciknya oknum radikal. Namun itulah yang harus diwaspadai sejak dini.

Kedua, posisi pimpinan

Lembaga keagamaan dalam sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pengasuh pondok pesantren, dalam pandangan masyarakat Indonesia memiliki posisi yang mulia. Tidak hanya menjadi panutan, tetapi juga menjadi penuntun.

Tak ayal jika menjadi pengasuh ponpes misalnya akan diundang di mana-mana oleh masyarakat untuk menyampaikan ceramah keagamaan. Dan aktivitasnya itu akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas.

Kondisi itulah yang hendak diraih kelompok radikal. Sehingga, ketika oknum radikal sudah menyusup ke lembaga keagamaan, maka ia akan lebih diterima dan didengarkan masyarakat ketimbang memakai ‘baju’ yang sebenarnya.

Setidaknya dua alasan itulah yang menyebabkan kelompok radikal terorisme getol menyusup lembaga keagamaan. Beruntung, aparat hukum sudah mengendus sejak awal sehingga kerugian yang lebih besar tidak menimpa umat.

Mewaspadai Strategi Infiltrasi Gerakan Kelompok Radikal Terorisme

Pengalaman penangkapan terhadap tiga terduga teroris yang menjadi anggota Jamaah Islamiyah (JI) oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) beberapa waktu lalu mencerminkan bahwa kelompok radikal sudah menyusup di mana-mana.

Oleh karena itu, perlu kiranya masyarakat Indonesia secara luas mengetahui bagaimana strategi/taktik kaum radikal terorisme untuk memperluas medan garapan mereka, termasuk upaya masuk ke ranah vital seperti lembaga sosial keulamaan dan pemerintahan.

Rachmat Bahmim (2018) menyebut beberapa strategi kelompok radikal teroris dalam menyebarkan ideologinya dan memperluas medan garapannya ke lembaga pemerintahan dan sosial keagamaan sebagai berikut ini.

Pertama, aliansi politik.Politik menjadi garapan utama kelompok radikal dalam merealisasikan tujuan utamanya. Sebab, dengan terjun dan masuk ke ranah politik, bisa mempengaruhi banyak orang dan bahkan turut menentukan kebijakan.

Karena itu, kelompok radikal menyusup atau bahkan beraliansi dengan partai politik tertentu untuk mendapatkan dukunungan masyarakat dan pula menjalin hubungan dekat dengan penguasa.

Kedua, cari dukungan dari tokoh atau ormas Islam moderat. Kelompok radikal seakan paham betul bahwa mereka tidak diterima di mana-mana. Oleh karena itu, mereka akan mendompleng ormas atau tokoh tertentu.

Selain itu, dikarenakan jumlahnya sedikit dan tidak mempunyai otoritas penuh terhadap suatu lembaga yang diakui secara nasional, maka mereka mencari dukungan dari tokoh atau ormas moderat.

Di sinilah, keberadaan lembaga keagamaan menjadi incaran para oknum radikalis untuk menyusup dan menginfiltrasi ke pondok pesantren. Selain untuk menyebarkan paham radikal, mereka juga hendak mencari dukungan dari tokoh atau pimpinan lembaga keagamaan itu.

Ketiga, infiltrasi MUI. Radikal terorisme selalu berangkat dari teks atau ajaran agama sebagai justifikasi gerakannya. Oleh karena itu, kelompok radikal memandang memerlukan dukungan lembaga ulama yang memiliki otoritas tertinggi di Indonesia.

Oleh karena itulah, mereka menginfiltrasi ke tubuh MUI. Taktik yang dipakai adalah masuk menjadi pengurus ke MUI dan mendesakkan agenda radikal mereka atas nama MUI.

Keempat, aksi jalanan. Rasanya sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa beberapa aksi turun jalan yang melibatkan banyak massa, di situ selalu disusupi oleh agenda kelompok radikal. Kelompok radikal sadar bahwa untuk menghasilkan sebuah produk hukum yang pro agenda perjuangan mereka, diperlukan aksi-aksi jalanan agar bisa menekan aparat hukum dan pemerintah.

Facebook Comments