Namun sudahkah manusia memahami perihal mencintai dengan baik? Bagaimana jika sesuatu itu tidak indah, apakah kita masih bisa mencintai? Apakah kita masih bisa mencintai walaupun itu berbeda dengan kita? Bagaimana dengan relasi cinta kita kepada yang Maha Kuasa? Apakah berlaku serupa?
Pertanyaan di atas barang kali membuat sebagian kita berpikir, kan cinta itu fitrah dan niscaya ada dalam diri setiap manusia, kenapa harus dipelajari lagi? bukankah cinta bergerak secara alamiah saja?
Bisa iya, bisa tidak. Cinta adalah naluri alami. Tetapi jangan lupa, nafsu juga naluri alami manusia. Hasilnya, cinta manusia cenderung bersyarat. Ia hanya akan mencintai “objek” yang menyenangkannya.
Sebaliknya, cinta itu bisa tiba-tiba lenyap jika “objek”-nya tidak menyenangkan hatinya. Cinta manusia sering kali terikat pada kondisi dan ekspektasi tertentu. Ketika objek cinta berubah atau tidak lagi memberikan apa yang diinginkan, rasa cinta itu bisa melemah, bahkan hilang.
Mindset seperti ini menurut Erich Fromm merupakan sebuah kesalahan. Bukan begitu cara kerjanya. Untuk mampu mencintai dengan baik, maka orang harus fokus terhadap bagaimana cara ia mencintai, bukan pada objek yang ia cintai.
Erich Fromm adalah seorang psikolog terkemuka asal Jerman abad-20. Jika syarat utama mencintai adalah harus ada objek yang dicintai, maka itu adalah kekeliruan, kata Fromm.
Pecinta sama halnya dengan pelukis. Jika kita ingin menjadi pelukis yang baik, kita jangan sibuk mencari objek yang bagus untuk dilukis, tapi hendaklah kita belajar cara melukis yang baik terlebih dahulu.
Kelak jika sudah terlatih dan menguasai teknik melukis yang baik, jangankan objek bagus, objek yang jelek sekalipun akan menjadi bagus dalam lukisan kita. sama halnya dengan pecinta yang baik, objek apapun akan bisa kita cintai, jangankan yang indah, yang tidak indah sekalipun bisa kita cintai.
Ambil contoh, kemiskinan atau kekurangan fisik merupakan suatu hal yang tidak indah secara estetika. Akan tetapi karena kita pecinta yang baik, kita bisa mencintai orang miskin, kita bisa mencintai orang dengan disabilitas, kita bisa mencintai orang-orang yang berkekurangan secara fisik.
Karakter seperti ini hanya bisa dimiliki oleh orang dengan jiwa pecinta yang baik. Selama belum terlatih, maka seseorang hanya bisa mencintai yang indah-indah, yang bagus-bagus. Ia hanya mencintai yang cantik, yang tampan nan rupawan. Itu adalah salah satu kesalahpahaman manusia dalam mencintai.
Menurut Erich Fromm, ada empat tipologi manusia modern yang “salah paham” dalam mencintai. Pertama adalah kriteria reseptif, yaitu pasif dan inginnya hanya dicintai. Orang dengan kriteria ini hanya berfokus pada satu objek yang layak untuk dia cintai, tanpa mempedulikan yang lain, agar ia bisa dicintai balik. Ia hanya mencintai sesuatu yang bisa mencintainya balik. Yang seperti demikian cenderung egois.
Kriteria kedua, yakni tipe eksploitatif. Tipe ini hanya memanfaatkan orang yang dicintainya. Ia mengeksploitasi objek yang dicintai untuk kepentingan dirinya sendiri. Tanpa peduli kondisi yang dicintainya seperti apa, yang penting kebutuhannya terpenuhi. Dalam kasus hubungan antar manusia, tipe seperti selalu berakhir dengan kemalangan salah satu pihak, karena jika kebutuhan satu pihak lain tidak terpenuhi, ia akan cenderung memaksa dan bahkan bertindak kekerasan.
Tipe ketiga yaitu penimbun. Orang dengan tipe ini memiliki ambisi kepemilikan terhadap objek yang dicintainya. Ia sering menambah imbuhan “ku” terhadap sesuatu yang ia cintai. Jika umat beragama memupuk rasa cinta semacam ini, ia akan suka mengklaim monopoli atas “kebenaran” agama dan berusaha mempertahankan klaim ini dengan berbagai cara. Yang bisa saja berujung pada pemaksaan ideologi terhadap pihak lain.
Akibatnya, ia menjadi umat beragama yang penakut, penuh dengan perasaan terancam. ia takut cinta atau objek yang sudah dia klaim miliknya itu hilang. Maka, ia akan mempertahankan objek yang ia cintai dengan mati-matian.
Tipe keempat, yang paling banyak ditemukan, adalah tipe pasar. Cinta diperlakukan secara transaksional. Orientasinya adalah untung rugi, sama seperti rumus pasar. Kita keluar berapa dan dapat berapa. Misalnya, orang yang berpendidikan tinggi menolak untuk dijodohkan dengan lulusan sekolah menengah atas.
Ia berpikir bahwa biaya pendidikan yang dihabiskan tidak sebanding dengan jodoh yang ia dapatkan, misalnya. Ia akan lebih memilih yang lebih “bagus”, karena pada prinsipnya ia seperti berdagang, mencari yang menguntungkan. Atau minimal tidak merugi.
Jika mengacu pada hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, tipe terakhir ini sepertinya yang paling banyak ditemui di masyarakat. Manusia modern sering kali mengkalkulasi pahala yang ia dapatkan dengan perbuatan-perbuatan ibadah yang mereka lakukan.
Mereka mungkin rajin dalam beribadah, namun mereka kalkulasi hasil-hasil ibadah itu. Dampaknya, ketika misalnya mereka ditimpa musibah, mereka sering menyalahkan Tuhan, seolah-olah ibadah dan pahala yang banyak itu sudah mampu membuat mereka bebas dari kehendak Tuhan.
Zen Buddhisme mengatakan bahwa untuk menjadi pecinta yang baik, manusia perlu merefleksikan aforisme di bawah ini,
“hati-hatilah dengan kata-katamu karena kata-kata akan menjelma menjadi perilaku. Hati-hatilah dengan perilakumu, karena perilaku akan menjadi kebiasaan. Hati-hatilah dengan kebiasaan, karena kebiasaan-kebiasaan akan menjadi watak”.
Dalam konsep Islam, inilah yang menjadi misi besar Nabi Muhammad, yaitu memperbaiki watak manusia yang jahiliyah menjadi watak yang mulia dan penuh cinta kasih. Urutan-urutan itu bisa kita perhatikan. Kata-kata atau lisan menjadi pondasi utama dalam membangun watak yang baik, karena banyak kasus terjadi yaitu jatuhnya martabat manusia karena lisannya sendiri.
Jika kita mulai menggunakan lisan kita dengan baik, berucap yang baik, mencintai dengan baik, tidak menyakiti sesama, perilaku-perilaku kita pun akan mengikuti bagaimana lisan kita bekerja.
Kita bisa berkaca diri setiap waktu, apakah kita merupakan salah satu dari empat tipe pecinta yang salah di atas. Apakah lisan kita menjadi sumber petaka bagi sesama. Jika kita melakukannya pada sesama makhluk, maka perbaikilah. Jika kita melakukannya terhadap Allah SWT, maka bertaubatlah.
Cinta adalah relasi paling agung antar sesama. Karena itu, mengembalikan esensi cinta ke makna sejatinya adalah tugas kita. Mari kita belajar mencintai bukan hanya sebagai naluri, tetapi sebagai tindakan yang penuh kesadaran, empati, dan pengabdian. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga menciptakan dunia yang penuh kasih.