Ribuan nyawa telah dipertaruhkan. Ratusan juta harta benda dihancurkan. Rusaknya alam dibiarkan. Mereka melakukan semua itu atas nama agama. Lihat berapa juta nyawa, harta dan alam yang luluh akibat perang atas nama agama. Kita saat ini masih melihat darah mengalir, tangis menggelegar dan air mata menetes di mana-mana. Itu semua dilakukan atas nama agama.
Mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama, bukan berarti mencintai agamanya dengan sungguh-sungguh. Melainkan mereka hanya melihat agama sebagai interaksi dirinya kepada Tuhan, tetapi melalaikan agama untuk pendomanan interaksi kepada sesama. Faktor yang paling mencolok terjadi adalah beragama menjadi individualis, ketika beragama terlalu sibuk dengan teks, tetapi melupakan interaksi kepada manusia.
Di tengah memanasnya konflik yang tidak kunjung berujung tersebut, kaum santri di bumi nusantara telah manampilkan Islam dengan tanpa peperangan, metode pribumisasi Islam yang mereka lakukan di bumi nusantara telah membawa warna baru dalam budaya yang telah berkembang sebelumnya. Islam yang halus dan ramah diterima dengan lapang oleh masyarakat nusantara dan bertahan sampai sekarang dalam bentuk dan esensi yang sama, yaitu sebagai rahmatan lil alamiin (agama yang membawa perdamaian bagi semua umat).
Kehadiran santri secara pasti sulit dijelaskan, salah satu yang mengungkap tentang jumlah pesantren dan santri adalah Manfred Ziemek, ia salah seorang peneliti pendidikan Islam di Indonesia asal Jerman, mengutip temuan UNESCO bahwa pada 1954 tercatat ada 53.077 pesantren di seluruh Indonesia. Data ini menurut Ziemek belum akurat, karena pada 1971 Bank Dunia memperoleh data bahwa jumlah pesantren di seluruh Indonesia ada 11.000 buah.
Setelah dicek oleh Ziemek, ternyata UNESCO memasukkan pendidikan Islam di surau, langgar, dan masjid ke dalam hitungan jumlah pesantren. Data paling anyar dikemukakan Kepala Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, Abdul Jamil yang mengatakan, jumlah pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 25.000 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,65 juta jiwa.
Terlepas dari perdebatan panjang dan berliku tentang jumlah santri dan asal-usul kemunculan pesantren, secara tidak langsung santri adalah menjadi duta perdamaian. Di mana para santri memberikan pemahaman agama secara damai dan humanis. Hal ini memperlihatkan bahwa Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas. Tidak hanya itu, santri juga mencerminkan bahwa beragama harus dilandasi dengan cinta. Bahkan santri memberikan pemahaman beragama Islam bukan berarti menjadi kearab-araban.
Seperti dijelaskan sebelumnya, menghindari beragama secara egois, seseorang harus berinteraksi dengan orang lain yang berbeda. Dalam pesantren, para santri dididik secara langsung mengenai keragaman. Mereka akan dipertemukan dalam satu wadah pondok yang di dalamnya banyak macam suku, budaya maupun etnik. Pertemuan ini merupakan awal dari terciptanya rasa untuk saling mengerti, memahami dan peduli. Dari tiga sifat tersebut, merupakan inti dari terwujudnya perdamaian.
Tidak hanya itu, untuk mengasah rasa kemanusiaan, para santri tidak hanya diajarkan bagaimana perjumpaan, tetapi ilmu untuk memahami agama dari akarnya. Seperti Nahwu, Sorrof, Balaghoh, Tauhid, Tasawwuf dan bahasa Arab. Semuanya guna mengukuhkan akidah sebagai seorang muslim, juga membantu para santri dalam memahami khazanah Islam klasik, kitab kuning (kutub at-turats) dan penguatan kapasitas intelektual mereka.
Dengan perbekalan demikian, para santri bisa menjadi pribadi yang terbuka (open minded) akan perbedaan. Dengan bekal ilmu yang dimiliki, para santri mampu membentengi diri dari tindakan intoleran dan tidak terjerumus masuk ke dalam kelompok-kelompok radikal. Karena kecenderungan kelompok radikal adalah melihat tafsir keagamaan hanya dari satu sisi dan seringkali merugikan bahkan mencederai kelompok lain.
Tanpa ada pembekalan yang baik dalam pemahaman agama, maka beragama akan menghilangkan rasa kemanusiaan. Ketika ini terjadi, maka si pengikut akan menggunakan ayat-ayat suci untuk melegalkan segala tindakan, termasuk dalam pembunuh dan kekerasan lainnya. Maka kita tidak heran bila kita melihat kekerasan atas nama agama, orang-orang beragama melakukan tindakan kekerasan dan agama diperalat untuk mewujudkan keinginan secara pribadi tanpa melihat rasa kemanusiaan secara universal.
Kehadiran para santri ini yang kemudian membentuk sebuah komunitas negara tanpa konflik walaupun berdampingan dengan paham berbeda dan kepercayaan lain. Hal ini senada dengan amanah konstitusi Indonesia, yaitu “bineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Islam damai dan penuh kasih sayang inilah yang digalakkan oleh komunitas kaum sarungan untuk mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).