Fikih Jihad Kaum Santri

Fikih Jihad Kaum Santri

- in Keagamaan
1981
0

Jika jihad hanya bermakna tunggal berarti “perang”, maka sejatinya yang paling banyak berangkat ke medan laga adalah kaum santri. Tidak diragukan lagi, kaum santri merupakan komunitas yang digembleng ilmu agama siang dan malam. Kualitas keilmuan mereka jelas sudah disegani. Pun komitmen mereka terhadap pembelaan Islam dan misi dakwah tidak diragukan lagi. Tetapi kenapa jihad “perang” tidak pernah hingar-bingar di kalangan pesantren?

Terma jihad sekarang jsutru diambil secara serampangan oleh mereka yang mungkin sangat diragukan kualitas keilmuannya jika dibandingkan santri yang siang malam berjibaku dengan khazanah ke-Islam-an klasik dan modern. Akibatnya ada penyempitan makna jihad yang hanya berkisar pada pemaknaan perang. Lebih fatalnya bukan hanya penyempitan, tetapi penyesatan makna ketika bom bunuh diri, penyerangan terhadap aparat dan masyarakat, pemberontakan terhadap Negara dan lain-lain mereka klaim sebagai jihad. Sangat ironis.

Mungkin tidak benar jika pesantren tidak pernah mengumandangkan jihad perang. Kurun waktu 1943-1954-bahkan sebelum masa itu- hampir semua pesantren mempunyai laskar-laskar yang disiapkan perang untuk mengusir penjajah. Dalam sejarah kita kenal yang paling popular laskar hizbullah dan sabilillah di beberapa pesantren. Pesantren menjadi basis pelatihan dan gerakan perjuangan kemerdekaan dengan semangat jihad. Dan sejarah mencatat kata jihad menjadi fenomenal di gunakan untuk mempertahankan kemerdekaan melalui “resolusi jihad” dari dunia pesantren.

Dewasa ini ketika Indonesia meraih kemerdekaan dan ketika umat Islam bersepakat hidup rukum dalam naungan dar salam Indonesia, komunitas pesantren tidak lagi mengumbar serampangan kata jihad dengan makna perang. Apakah berarti fikih jihad tidak ada di dunia pesantren?

Inilah bedanya, komunitas pesantren dengan tempaan ilmu ke-islam-an yang tinggi berasal dari sumber asli, dibandingkan dengan komunitas yang ditempa dengan ilmu keislaman instan baik melalui sumber terjemahan, melalui doktrin tunggal guru, maupun melalui google. Fikih jihad tetap ada dalam dunia pesantren dengan makna yang sangat kontekstualis.

Perang membela Islam itu termasuk jihad fi sabilillah, tetapi tidak semua jihad bermakna perang dan tidak selamanya membela Islam dengan cara tunggal peperangan. Kalaupun wujud jihad fi sabilillah bermakna perang, jihad dengan makna ini dalam dunia pesantren dimaknai tidak berada pada posisi ibadah permanen yang sama seperti rukun Islam. Perang adalah perintah berdasarkan sebab musabab. Sebab inilah yang menjadikan hukum perang, dan ketiadaan sebab meniadakan kewajiban perang. Bahkan Islam memandang perang sesuatu yang bersifat jelek karena berdampak merusak. Perang semata untuk mempertahankan diri dari serangan lawan yang ingin meruntuhkan Islam. Karenanya, tidak diperbolehkan peperangan untuk mencarighanimah(harta rampasan), memperlihatkan kekuatan dan kesombongan,ta’asshub (fanatik) atau sebab-sebab lain yang didasari nafsu semata.

Dalam kajian pesantren jihad akan mengerucut pada makna: mengajak manusia ke jalan yang benar atau dalam bahasa yang lebih luas adalah mencurahkan segala kesungguhan di dalam menegakkan agama Allah, menyatukan kekuatan Islam di bawah panji syariat Allah. Maka jihad tidak bisa serta merta dibuktikan dengan peperangan (lihat Fath Sirah; 170, Fiqh al-Manhaji ala Madzhab Imam Syafi’I [3]: 475,). Dalam wujudnya jihad akan berbentuk jihad bil qital, dengan senjata, jihad melawan hawa nafsu, jihad bil aqly melawan kebodohan, jihad bil lisan, dengan dakwah dan makna luas lainnya dalam arti membela dan mengangungkan panji Islam.

Dalam sepktrum jihad yang luas tersebut, seluruh aktifitas di pesantren sejak bangun tengah malam melaksanakan shalat malam, aktifitas subuh, mengaji kitab ba’da subuh, berangkat ke sekolah hingga sore hari, aktifitas pengajian malam dan lainnya adalah siklus aktifitas dengan nafas jihad. Tidak ada yang lebih indah dari jihad kalangan pesantren di lingkungan yang penuh panorama spiritual Islam tersebut.

Ada dua alasan mengapa pesantren tidak pernah terpancing dengan klaim jihad dalam arti perang destruktif di negeri muslim seperti Indonesia atau terpancing dengan hasutan mengangkat senjata ke negeri nan jauh di sana. Pertama, Pesantren memiliki kekayaan perspektif keilmuan dari karya-karya besar ulama salafus sholeh yang masih dirawat dan dipelajari. Perbedaan pendapat di kalangan ulama menjadi rahmat bagi kalangan pesantren. Keragaman cara pandang inilah yang membuat komunitas pesantren memiliki kekayaan pemaknaan dalam melihat kondisi termasuk melihat ajaran jihad.

Dalam pendalaman kajian keilmuan, di pesantren ada jenjang kitab yang harus dipelajari. Pelajaran fikih, misalnya, dimulai dari fikih paling dasar hingga yang tingkatan ahli. Tingkat berikutnya mereka akan dikenalkan pada fiqh muqaronah (fikih perbandingan) antar madzhab. Bahkan tidak berhenti di produk pemikiran, dunia pesantren mengajak santri mempelajari metodologi fikih yang dikenal ushul fiqh. Dalam konteks inilah, Pesantren tidak hanya belajar Ilmu untuk kepentingan ibadah, tetapi belajar ilmu untuk pengembangan keilmuan Islam. Karena itulah, pesantren menyiapkan secara awal dengan kemampuan perangkat keilmuan seperti nahwu, shorrof, I’llal hingga balaghah.

Kedua, faktor historis yang tidak mudah dilupakan oleh masyarakat pesantren. Pesantren menjadi bagian penting dalam perjuangan kemerdekaan. Karena itulah, pesantren mempunyai peran sekaligus tanggungjawab historis untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Kesadaran ini tertanam dan diwariskan kepada seluruh santri. Karena itulah, tiada yang meragukan nasionalisme kaum santri.

Jika anda bertanya kepada kalangan santri apakah mereka siap berjihad. Mereka akan mengatakan siap menjadi garda depan membela Islam dan mempertahankan Negara ini. Identitas Islam dan Indonesia melekat dalam satu bingkai bernama pesantren. Pesantren adalah benteng khazanah keilmuan Islam dan benteng nasionalisme Islam Indonesia. Bangga menjadi Santri!

Facebook Comments