“Kelak para penerus trah Diponegoro, tidak saja akan meneruskan perjuangannya, namun akan tiba satu masa, ketika Belanda hanya akan menghadapi dua pilihan, berhadapan secara hitam putih dengan nusantara. Dan ketika itu buat Belanda hanya ada dua pilihan. Menang atau kalah. Tidak ada jalan tengah”, Ujar Pangeran Hendrik, seorang Pangeran Muda Belanda berusia 16 tahun ketika mendatangi Pangeran Diponegoro di tempat pengasingannya.
Kiranya benar apa yang telah diungkapkan oleh Hendrik tersebut. Terbukti, pasca berakhirnya pemberontakan Diponegoro tahun 1830, pemberontakan terhadap penjajah dari kalangan umat Islam, terkhusus dari kalangan santri terus berlanjut. Hingga akhirnya, muncullah fatwa yang kita kenal sebagai resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menegaskan bahwa melawan penjajahan termasuk jihad fi sabilillah. Yang hari ini, setiap tahunnya kita peringati sebagai Hari Santri Nasional.
Harus diakui, resolusi jihad merupakan momentum bersejarah, puncak perlawanan dari sejarah panjang jihad yang tidak pernah berhenti dinyalakan para ulama dan santri. Disini, semakin jelas bahwa pesantren sebagai pusat pendidikan Islam kala itu menjadi tempat persemaian semangat anti-nasionalisme, cinta tanah air dan jihad fi sabilillah. Karenanya, rasa kebangsaan dan Negara Indonesia tidak dapat melepaskan sisi religiusitas dalam menjalankan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatannya (Bizawie, 2016: 29).
Santri juga Nasionalis
Sebagai bagian dari kalangan Islam, santri dan ulama seringkali dicap sebagai kalangan yang anti-nasionalis oleh orang-orang mengalami Islam-phoobia. Santri dan ulama dicap sebagai pro khilafah (baca: negara Islam). Mereka juga dicap sebagai pelaku tindakan radikalisme dan terorisme karena seringkali pelaku tindak teror adalah dari kalangan muslim taat beribadah. Padahal, sejarah panjang membuktikan bahwa kalangan santri termasuk kalangan yang gethol mempertahankan NKRI dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan.
Maka, tak heran kalau anggapan tersebut sepenuhnya keliru. Santri dan ulama sebagai pemegang amanah syiar Islam juga memiliki karakter khas sebagai seorang yang nasiolis. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari percakapan Presiden Sokarno dan KH. Abdul Wahab Chasbullah. Pernah suatu ketika Presiden Soekarno bertanya kepada KH. Abdul Wahab Chasbullah, “Pak Kiai, apakah nasionalisme itu ajaran Islam?”. Kiai Wahab menjawab tegas, “Nasionalisme ditambah bismillah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis.” (Saifudin Zuhri, 1981).
Ketegasan pandangan tersebut menjadi bukti bahwa mayoritas kalangan pesantren juga memiliki pandangan yang serupa dalam hubungan Islam dan Negara. Bahwa pesantren yang selama ini dicurigai sebagai sarang teroris, sebenarnya menjadi pusat pembentukan karakter nasionalis di kalangan santri. Tidak hanya itu, bahkan menurut ulama pesantren (dalam hal ini Kiai Wahab), nasionalisme menjadi sebuah bukti bahwa seorang muslim memiliki religiusitas yang tinggi. Maka, ketika ada kalangan muslim apalagi santri yang menolak nasionalisme, sejujurnya ia juga mengingkari salah satu ajaran Islam, yakni tentang persatuan dan kesatuan.
Perkuat Urat Nadi
Dari sini, tidak berlebihan apabila penulis menyebut santri sebagai urat nadi NKRI. Sebab, dari masa ke masa, kalangan santri telah terbukti selalu ambil bagian dari upaya mempertahankan NKRI dari segala bentuk penindasan dan upaya pecah-belah. Dalam hal ini, maka tidak berlebihan apabila pada momentum peringatan Hari Santri Nasional ini, mari kita perkuat jati diri santri sebagai urat nadi NKRI.
Meminjam istilah Ali Syari’ati, santri sebagai kalangan muslim yang tercerahkan (rausyan fikr) dengan ilmu-ilmu agama harus menjadi benteng dalam menjaga keutuhan NKRI. Bukan justru menjadi pihak yang ikut menyulut pertikaian dan terlibat dalam upaya pecah-belah NKRI. Lagipula, bukankah jelas bahwa Islam mengajarkan persatuan. Dan, tanpa persatuan dan kesatuan, mana mungkin negara Indonesia dapat menjadi adil, makmur, dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
Maka itu, pendidikan pesantren sebagai pusat pembentukan karakter muslim-nasionalis yang peduli terhadap kepentingan bangsanya, harus lebih mengintensifkan diri dalam pembangunan karakter muslim-nasionalis. Apalagi di era informasi mudah didapat, baik informasi itu benar fakta ataupun keliru (hoax) yang mudah didapat di kalangan santri yang masih belajar. Sebab, kalau hal tersebut tidak dilakukan, meskipun santri hidup di kalangan pesantren, bisa saja santri terjebak dengan pengaruh-pengaruh radikal yang marak beredar di Internet. Wallahu a’lam bish-shawaab.