Nasionalisme dan Karakter Santri, Menjawab Persoalan Negeri

Nasionalisme dan Karakter Santri, Menjawab Persoalan Negeri

- in Narasi
1458
0

Peringatan Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober menjadi momentum bagi kita semua untuk menggali kembali makna dan nilai dari pesantren. Dalam arti, peringatan Hari Santri Nasional jangan sampai berhenti pada hal-hal yang bersifat seremonial-formal seperti upacara, kirab, dsb. Lebih dari itu, peringatan Hari Santri Nasional harus bisa dijadikan untuk berefleksi dan belajar, terutama tentang sejarah, nilai-nilai, dan spirit kaum pesantren.

Menggali nilai, makna, dan spirit dari kaum santri akan membawa kita pada banyak hal, terutama tentang tradisi keilmuan yang kuat, nasionalisme, hingga nilai-nilai gotong-royong dan persaudaraan. Nilai-nilai tersebut tergambar baik dari sejarah perjuangan para ulama, kiai, dan santri di masa penjajahan, juga dari karakter kehidupan di pesantren yang dijalani para santri dalam keseharian. Jika kita resapi dalam konteks yang lebih luas, nilai-nilai tersebut sebenarnya merupakan nilai-nilai penting yang harus terus dirawat untuk menjawab pelbagai tantangan dan permasalahan bangsa dewasa ini.

Persoalan bangsa saat ini seperti berkembangnya paham radikal, menipisnya semangat kebangsaan, hingga menguatnya gejala intoleransi dan mudahnya terjadi pertikaian di masyarakat yang terjadi belakangan, merupakan masalah-masalah penting yang harus segera mendapat perhatian dan diatasi. Di titik inilah, peringatan Hari Santri Nasional sebagai momentum eksistensi kaum santri dan penegasan spirit kebangsaan kaum pesangtren, lewat segala karakteristik dan tradisi pesantren yang dibawanya, membawa inspirasi, semangat, dan teladan bagi kita semua untuk ditransformasikan demi menjawab pelbagai persoalan tersebut.

Nasionalisme

Salah satu persoalan bangsa belakangan adalah menguatnya gejala intoleransi yang dibawa oleh gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan agama Islam. Kelompok-kelompok radikal terus memberikan pengaruhnya di masyarakat lewat pebagai cara, baik masyarakat bawah sampai kalangan terdidik. Mereka terus memengaruhi masyarakat untuk percaya bahwa pelbagai persoalan yang melanda bangsa ini disebabkan karena negara ini tidak menganut sistem khilafah. Akibatnya, sebagian orang terpengaruh dan mulai menunjukkan gejala-gejala intoleran dan mulai alergi terhadap perbedaan yang ada pada masyarakat.

Orang-orang menjadi gagap terhadap perbedaan, dan gandrung dengan simbol-simbol agama yang sekadar ada di “kulit”, tanpa merenungi lebih jauh ke substansi agama yang sebenarnya bersifat memberi rahmat dan kedamaian. Sentimen primordial terasa, sikap keberagamaan eksklusif menguat, perbedaan terus diruncingkan, sehingga ikatan kebangsaan dan nasionalisme mulai mengikis. Di titik inilah, momentum Hari Santri, lewat sejarah panjangnya tentang nasionalisme para kiai, ulama, dan santri dalam menggalang kekuatan melawan penjajah, menjadi relevan diresapi dan diteladani.

Kita mesti melihat sejarah dan belajar tentang bagaimana semangat keagamaan ditransformasikan ke dalam semangat membela bangsa, sebagaimana ditunjukkan para ulama, kiai, dan santri pada era penjajahan. Bizawie (2014) dalam bukunya Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) sebagaimana dikutip Achmad Farich (2017), menjelaskan bahwa dengan basis pesantren dan jaringan tarekat, para ulama pada masa penjajahan Belanda menyatukan masyarakat Islam pedesaan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di beberapa daerah. Di samping itu, para ulama pesantren juga terus berjuang dengan melakukan perlawanan kultural melalui penguatan keilmuan dan membangun jaringan antar ‘ulama-santri.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para ulama dan kiai terus berperan aktif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Puncaknya adalah dikeluarkannya fatwa jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari pada September 1945, bahwa berjuang membela tanah air merupakan jihad fi sabilillah. Fatwa tersebut dipertegas dalam “Resolusi Jihad NU” dalam Rapat Kyai Perwakilan Nahdlatul Ulama se Jawa-Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Tanggal tersebutlah yang kini kemudian dijadikan landasan penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Kecintaan pada Tanah Air dan semangat perjuangan para kiai, ulama, dan santri dalam melawan penjajah tersebut menjadi sangat relevan diresapi saat ini, guna kembali menguatkan semangat kebangsaan kita yang belakangan mengikis. Kiai, ulama, dan santri di zaman dahulu menunjukkan bagaimana semangat beragama dan berbangsa bisa berjalan sinergis dan saling menguatkan. Pekik takbir saat itu diteriakkan para pejuang untuk pemompa semangat dan keberanian umat dan masyarakat luas untuk bersatu membela negara dan melawan penjajah. Maka menjadi kontradiktif ketika sekarang kita mendengar pekik takbir justru digunakan untuk melakukan aksi-aksi intoleran dan menekan saudara sebangsa sendiri.

Pembawa Perdamaian

Di samping semangat kebangsaan yang bisa kita resapi dari sejarah perjuangan kaum santri, kita juga akan menemukan nilai-nilai kebersamaan, kesederhanaan, gotong-royong, rendah hati, dan empati, yang terus-menerus ditanamkan dan disemai dalam pendidikan pesantren. Nilai-nilai tersebut akan membentuk sosok-sosok yang ramah dan toleran. Nilai-nilai ini merupakan bekal penting, terutama untuk hidup di tengah-tengah masyarakat kelak. Terlebih, di masyarakat Indonesia yang majemuk, nilai-nilai seperti gotong-royong, rendah hati, dan empati merupakan simpul-simpul utama untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dalam ikatan persaudaraan dan perdamaian.

Melalui karakter ramah dan toleran, serta dilandasi keilmuan dan pemahaman agama yang luas dan mendalam yang didapat di pesantren, para santri diharapkan bisa menunjukkan perannya di masyarakat. Santri bisa menjadi benteng yang melindungi masyarakat dari pengaruh paham-paham radikalisme, serta menjadi pihak yang selalu mendamaikan ketika terjadi pertikaian di tengah masyarakat. Wallahu a’lam..

Facebook Comments