Sekolah dan Ruang Kondusif Penanaman Sejarah Islam yang Toleran di Nusantara

Sekolah dan Ruang Kondusif Penanaman Sejarah Islam yang Toleran di Nusantara

- in Narasi
774
0
Sekolah dan Ruang Kondusif Penanaman Sejarah Islam yang Toleran di Nusantara

Di dalam lingkungan Sekolah, anak-anak kadang-kala selalu dibekali hikayat atau dongeng kecil-kecilan. Sebuah cerita tentang umat Islam di masa lalu. Bertamasya dengan sejarah yang kadang-kala berfokus pada hal peperangan dan penaklukan. Anak-anak tidak sukar untuk terus berimajinasi menjadi sosok pahlawan layaknya Sayyidina Umar bin Khathab yang menebas kepala orang-orang kafir pada saat itu.

Pengenalan sejarah umat Islam kepada anak-anak yang ada di Sekolah kadang-kala berporos pada perihal “dinamika politik” dan penaklukan tanpa akar pemahaman dan sebab historis yang jelas. Khawatir, mereka akan memiliki impian dan cita-cita membunuh mereka yang non-muslim. Lalu dengan sebuah kebanggaan itu disebut sebagai jalan terpuji menjadi pahlawan dalam Islam. Tentu besar kemungkinan ini sebagai hegemony keagamaan yang bisa menyisakan luka dan kebencian.

Bagaimana jejak sejarah Islam yang membekas seolah hanya peperangan, kejayaan, kekuatan serta penaklukan yang ada di wilayah-wilayah Arab pada saat itu. Lalu, melupakan sejarah panjang masuknya Islam ke wilayah Nusantara yang sejatinya meniscayakan wajah Islam yang lebih ramah, terbuka, toleran dan membudaya.

Tentu mempelajari sejarah umat Islam sejak era Nabi Muhammad SAW hingga masa-masa kekhalifahan bukan sesuatu yang salah. Tetapi, akan berdampak fatal jika itu dijadikan pijakan “romantisme masa-lalu” lalu dijadikan (dictum) “penilaian” dan “pembenar” untuk diteruskan (kekhalifahan) ke dalam lingkup keislaman yang ada di wilayah Nusantara.

Karena Islam yang ada di wilayah Nusantara secara sosiologis, memiliki karakteristik dan situasi sosial-politik yang sangat berbeda. Dengan apa yang di alami di era Nabi hingga masa kekhalifahan pada saat itu.

Namun kebanggaan terhadap kejayaan umat Islam terdahulu (wilayah Arab) ini kadang membuat kita lupa secara geopolitik. Bagaimana Islam masuk di negerinya sendiri (Nusantara) dengan karakter yang terbuka dan toleran. Lantas diacuhkan. Karena sering-kali membanggakan kisah-kisah yang secara geografis itu berpijak pada wilayah-wilayah umat Islam pada saat itu yang sering-kali terjadi kontestasi politik. Lalu dibenarkan sebagai kisah Islam yang perlu ditegakkan dan digaungkan.

Sehingga, “sekat identitas” (perbedaan) itu semakin terbentuk dan membekas. Entah kesadaran Gurunya yang memang sejak kecil sudah tertanam akan kisah-kisah yang semacam itu. Lalu disampaikan kepada anak didiknya di sekolah. Sehingga, mereka juga mulai menilai, memahami dan meng-counter dirinya bahwa identitas primordial-nya itulah yang paling benar dan kuat. Kelak, dia juga bisa akan menjadi guru dan akan bercerita dengan kisah yang sama.

Berawal dari sinilah sikap intoleransi di dalam lingkungan sekolah akan terus berantai. Jika, lembaga pendidikan tersebut tidak segera didesain untuk ramah perbedaan. Melalui semangat akan penanaman sejarah Islam yang toleran, humanis dan ber-peradaban yang telah hidup di Nusantara.

Sangat penting untuk membuat ruang kondusif bagi anak-anak di sekolah untuk mengkantongi akan sejarah dan pengenalan bagaimana Islam masuk. Serta karakter Islam yang mengakar dan tipe-tipe penyebaran yang ada di wilayah Nusantara. Lalu memperkuat kesadaran historis bagaimana Islam bergema di Nusantara serta bagaimana pengaruh terhadap lingkungan sosialnya pada saat itu.

Jika kita telusuri lebih dalam lagi, Islam masuk dengan karakter yang sifatnya egalitarian. Wali Songo melakukan pendekatan yang sifatnya humanis, refleksi kebudayaan dan meniscayakan akan dakwah-dakwah Islam yang tidak pernah mengkafir-kafirkan dan meng-halal-halalkan. Karena wajah Islam di Nusantara selalu membangun keseimbangan kultural agar tetap utuh. Di sinilah nuansa keislaman mulai perkenalkan dengan menggabungkan kultur kebudayaan yang ada sebagai “mediasi” penyebaran Islam yang saya kira lebih ramah dan mudah diterima.

Pentingnya mengenalkan sejarah Islam di Nusantara yang sangat toleran ini bukan berarti membimbing anak-anak di Sekolah acuh terhadap sejarah Islam pertama. Baik dari masa Nabi hingga kekhalifahan dan seterusnya. Tetapi, modal sejarah yang ada di masa tersebut harus kita jadikan “pelajaran” dan “manfaat” serta “penilaian” bukan dijadikan sandaran untuk meneruskan sejarah tersebut supaya terus bergulir.

Ini tidak lain dari “romantisme masa-lalu” yang lupa akan sejarah dan karakter keislaman yang ada di wilayahnya sendiri. Karena kita ketahui, sejarah yang membekas akan selalu ada luka, dendam dan kesumat identitas yang membuat dirinya akan bertahan pada kenyataan-kenyataan di masa lalu. Kenyataan yang semacam ini jika terus diberikan kepada anak-anak di Sekolah niscaya kesadaran intoleransi-pun akan terbantahkan. Karena romantisme masa-lalu (Kisah umat Islam di Arab) yang selalu memunculkan konflik antara umat Islam dan non-muslim.

Berangkat dari sinilah kiranya sangat penting untuk membuat ruang kondusif terhadap anak-anak untuk membangun dan membentuk pola-pikir yang ramah perbedaan. Dengan penanaman sejarah Islam yang sangat-sangat toleran dan terbuka di wilayah Nusantara ini. Mereka akan merefleksikan kesadaran Islam di sekolah yang lebih ramah dan toleran terhadap mereka yang berbeda. Hal ini akan menjadi karakter kelak setelah dewasa. Sebagaimana karakter Islam Nusantara yang sangat terbuka dan toleran terhadap perbedaan.

Facebook Comments