Ketika kasus pemaksaan pemakaian jilbab pada siswi non-muslim di SMKN 2 Padang mencuat ke permukaan, saya merasa heran. Keheranan saya bermula dari setidaknya dua hal. Pertama, bagaimana bisa seorang siswi non-muslim diwajibkan memakai jilbab oleh pihak sekolah? Kedua, bagaimana bisa hal itu terjadi di sekolah negeri, sekolah yang seharusnya menjadi percontohan tentang pengelolaan keragaman? Keheranan saya kian bertambah panjang ketika mengetahui bahwa aturan itu sudah berlaku sejak 15 tahun. Dan, keheranan saya itu mencapai puncaknya manakala mendengar penyataan mantan walikota Padang yang beralibi bahwa kewajiban memakai jilbab terhadap seluruh siswi perempuan itu bertujuan untuk mencegah gigitan nyamuk. Alibi yang sungguh absurd dan irasional.
Beruntung, viralnya kasus tersebut mendorong pemerintah segera mengambil sikap. Lalu, terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tentang Seragam Sekolah dan Atribut Agama bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Sekolah Negeri. SKB lintassektor yakni Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri ini memuat aturan bahwa pemerintah daerah maupun sekolah tidak berhak mewajibkan ataupun melarang siswa, guru maupun tenaga kependidikan untuk memakai pakaian dan atribut keaagamaan tertentu di sekolah. Artinya, pilihan seragam dan pakaian dengan atribut keagamaan sepenuhnya diserahkan pada individu yang bersangkutan.
SKB 3 Menteri ini lantas disikapi dengan beragam respons dari masyarakat. Sebagian masyarakat menilai SKB 3 Menteri tentang seragam dan pakaian beratribut keagamaan di sekolah negeri ini sebagai langkah maju terkait penghapusan intoleransi di sekolah. Namun, tidak sedikit pula yang memandang sinis kebijakan SKB 3 Menteri ini. Ada pihak yang menuding SKB 3 Menteri ini sebagai agenda sekularisasi dunia pendidikan. Bahkan, ada yang menuding SKB 3 Menteri ini sebagai pelanggaran atas hak dan kebebasan beragama warganegara. Pro-kontra atas sebuah kebijakan tentu merupakan hal wajar, apalagi dalam konteks Indonesia yang demokratis.
Namun, jika ditelaah secara seksama tudingan sekularisasi bahkan pelanggaran konstitusi itu harus diakui kurang memiliki dasar yang kuat. Tudingan sekularisasi tidak relevan mengingat aturan itu hanya berlaku dalam konteks sekolah negeri atau sekolah yang dikelola oleh pemerintah daerah. Seperti kita tahu, sekolah negeri merupakan institusi pendidikan yang dibiayai oleh negara dengan uang yang sebagiannya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh warganegara. Warganegara pembayar pajak ini tentunya tidak hanya berasal dari satu golongan agama atau suku saja, melainkan terdiri atas beragam golongan masyarakat. Sebagai institusi publik yang dibiayai oleh uang negara, sekolah negeri tentu harus merepresentasikan seluruh kepentingan masyarakat tanpa memberikan ruang bagi praktik intoleransi dan diskriminasi. Pemaksaan pemakaian pakaian atau atribut keagamaan tertentu pada siswa, guru maupun tenaga kependidikan oleh sekolah akan menodai status sekolah negeri sebagai institusi publik.
Demikian pula, tuduhan pelanggaran konstitusi terutama terkait kebebasan beragama yang dilayangkan sejumlah pihak juga cenderung salah-kaprah. Klausul kebebasan beragama sebagaimana termuat dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 bermakna bahwa setiap individu warganegara berhak memilih agama dan mengekspresikan keberagamannya di ruang publik tanpa takut akan intervensi dan intimidasi pihak mana pun. Ini artinya, setiap warganegara memiliki otonomi mutlak untuk memilih agama atau keyakinan dan mengekspresikan atau tidak mengekspresikan keyakinannya di muka umum. Dalam konteks pemakaian jilbab misalnya, kebebasan beragama memiliki konsekuensi bahwa setiap Muslimah memiliki hak penuh untuk memakai atau tidak memakai jilbab. Pilihan seorang Muslimah untuk mengenakan atau tidak mengenakan jilbab, dengan demikian merupakan pilihan yang didasari kesadaran bukan paksaan apalagi yang disertai ancaman.
Mewujudkan Ekosistem Sekolah Ramah Perbedaan
Di alam demokrasi seperti saat ini, pilihan individu atas busana atau atribut keagamaan yang dikenakannya kiranya merupakan hak mutlak yang wajib dilindungi. Pemaksaan maupun pelarangan atas pilihan seseorang terhadap pakaian atau atribut keagamaan, apalagi di ranah sekolah sudah seharusnya mulai dihapuskan. Ke depan, kita perlu membangun ekosistem dunia pendidikan yang ramah pada perbedaan, dan hal itu bisa kita mulai dari lingkup yang paling kecil, yakni sekolah. Dalam hal ini, sekolah idealnya dimaknai dalam dua perspektif, yakni sebagai ruang fisik (bangunan) dan ruang non-sisik. Sebagai ruang fisik atau bangunan, sekolah merupakan tempat bertemunya pendidik dan peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar-mengajar. Sebagai ruang fisik, sekolah hendaknya didesain dengan tujuan memenuhi kepentingan dan kebutuhan seluruh entitas yang ada di dalamnya. Termasuk menyediakan fasilitas bagi kaum minoritas, seperti kaum difabel dan lain sebagainya. Hal ini merupakan amanah konsep pendidikan inklusif yang wajib kita wujudkan.
Selain ruang fisik, sekolah juga merupakan ruang publik non-fisik yakni tempat bertemunya beragam kepentingan, identitas, latar belakang dan pemikiran yang boleh jadi saling berbeda dan berseberangan. Disinilah pentingnya desain manajemen atau pengelolaan sekolah yang memungkinkan semua pihak merasa aman, nyaman dan terfasilitasi kepentingannya tanpa ada satu pun yang merasa terabaikan atau didiskriminasi. Salah satunya ialah dengan membuat aturan atau kebijakan yang menjamin kebebasan berekspresi bagi para peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.
Ekosistem sekolah ramah perbedaan ialah bagian penting dalam membangun kesadaran bangsa ihwal pluralitas dan multikulturalitas yang memang menjadi fakta sejarah Indonesia. Jika kita berhasil mengelola perbedaan di ranah sekolah, maka upaya untuk mengelola kebhinekaan bangsa akan kian mudah. Sebaliknya, jika di level sekolah saja kita gagal menghadirkan relasi sosial yang egaliter dan inklusif, bisa dipastikan jalan kebangsaan dan kebhinekaan kita akan semakin terjal di masa depan. Jadi, mari membenahi bangsa ini dimulai dari membenahi dunia pendidikan kita, lebih spesifik lagi membenahi ruang-ruang sekolah kita agar lebih inklusif, demokratis, pluralis dan egaliter.