Sesal “Hijrah” Ke “Negeri Khilafah”

Sesal “Hijrah” Ke “Negeri Khilafah”

- in Editorial
6275
1
Sesal “Hijrah” Ke “Negeri Khilafah”

Pada pertengahan tahun 2014 hingga 2016 awal, gegap gempita berita internasional tidak henti memotret kegagahan kelompok pendiri Khilafah di negeri Irak-Suriah. Propaganda tentang kehebatannya, janji kesejahteraannya, iming-iming kemakmuran, dan sejuta mimpi hidup dalam naungan negara khilafah muncul di berbagai platform media sosial.

Kelompok yang menamakan diri Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) tampil memukau, mendobrak tatanan negara yang stabil dan mengajak para simpatisan dengan janji hijrah di negeri khilafah. Tidak hanya dari negeri mayoritas muslim, negara-negara Barat terguncang dengan janji dan iming-iming ISIS.

Pada tahun itu, banyak berita internasional yang mengagetkan kepergian para pemuda dari berbagai negara baik di Asia, Afrika, hingga Eropa yang berangkat menuju Suriah dan Irak. Bagi para pemuda itu kepergian itu bukan sekedar kepergian biasa, tetapi perjalanan suci “hijrah” menuju negeri khilafah yang dijanjikan di negeri akhir zaman. Heroisme para pemuda tergugah dengan menjadi tantara Imam Mahdi di medan perang akhir zaman.

Narasi hijrah, negeri khilafah akhir zaman, datangnya Imam Mahdi, dan jihad dan jalan Allah telah menjadi daya Tarik 5000 orang Eropa (Inggris, Jerman, Belgia, dan Perancis) berbondong-bondong datang ke negeri “khilafah”. Tidak hanya memperdaya masyarakat bawah dan tidak berpendidikan, justru propaganda ini merasuk hati dan pikiran masyarakat kalangan atas. Indonesia sendiri mencatat ada sekitar 700 orang WNI yang bergabung dengan ISIS.

Narasi Khilafah sebagai Doktrin

Negeri khilafah yang dijanjikan telah datang dan berdiri di Irak-Suriah. Demikian bunyi narasi yang memukau mata, pikiran dan hati umat. Mereka yang telah lama ingin memperjuangkan khilafah dan terbesit untuk menegakkannya di negara-negara masing menjadi bingung. Inikah negeri khilafah yang ingin diperjuangkan?

Khilafah ISIS menjadi magnet bagi mereka yang sudah memimpikan berdirinya negara dengan nuansa negara Islam. Propaganda disebarkan melalui media sosial dengan masif menjangkau pikiran manusia tanpa batas territorial. Khilafah dan Internet menjadi perpaduan yang dapat melintasi batas negara.

Janji-janji kemakmuran, kesejateraan, penegakan hukum Islam, dan kedamaian di negeri khilafah terekam begitu indah melalui dunia maya. Tidak banyak mereka yang sudah mapan tergugah secara spiritual untuk berdiam dan menghabiskan masa tua di negeri khilafah yang indah dan damai.

Solahudin Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia mengatakan orangorang yang berangkat ke negeri “khilafah” meyakini adalah Irak-Suriah yang diberikan ISIS adalah tempat yang diberkati pada akhir zaman. Janji akhir zaman akan akan berdiri Khilafah adalah doktrin sebagaiKhilafah ala minhajun Nubuwah. Pada saat itulah, orang akan diajak untuk memilih sebagai kelompok yang dipimpin Imam Mahdi atau kelompok jahat dipimpin Dajjal.

Lalu, siapa yang ingin dipimpin Djajjal? Mereka yang ketakutan mati dalam negeri yang dianggap kafir di negaranya akan memilih jalan pintas menuju surga dengan menempuh jalan hijrah ke neger “khilafah”. Siapa umat Islam yang tidak bergeming hatinya ketika disuguhi kemakmuran negeri Islam dan mengajak untuk berdiam diri di dalamnya penuh kedamaian. ISIS dengan narasi negeri “khilafah” mampu berhasil memperdaya mereka yang hanya mampu mengaji sedikit ilmu, tetapi diliputu suasana heroisme yang tinggi.

Sesal dan Sesat di Persimpangan Hijrah

Belum sempat menikmati indahnya negeri khilafah yang diidamkan, justru yang didapatkan suasana perang tiada akhir. WNI yang terpukau ke negeri “khilafah” memang beragam. Ada yang beri’tikad untuk berjihad dengan keyakinan agamanya. Ada pula yang terimingi sejumlah fasilitas dan gaji tinggi akibat keterpurukan ekonomi. Dan ada pula dari kalangan kelas menengah atas yang hanya merindukan hidup damai dan tentram dalam naungan khilafah.

Saat ini, ketika negeri “khilafah” telah runtuh, para “muhajirin” ISIS menjadi tersesat di persimpangan hijrah. Eks militant ISIS dari Eropa masih berjuang diri untuk kembali ke negerinya. Banyak negara Eropa yang menolak kepulangan mereka. Mereka yang pernah datang dengan impian hidup di negeri damai, penuh dengan nilai-nilai keagamaan dan ketentraman di bawah ‘Khilafah’ ISIS, justru menjadi tersesat tanpa negara dan status.

Keruntuhan ISIS adalah pelajaran bagi seluruh masyarakat dunia, khususnya umat Islam yang sudah damai di negerinya untuk tidak terpengaruh dengan propaganda ideologi kekerasan. Sebuah pengalaman untuk tidak terpengaruh dengan narasi khilafah di tengah kondisi negara yang sudah damai (Darussalam). Negara yang sudah menjamin keyakinan dan ibadah lebih indah dari pada negara yang mengklaim negara khilafah tetapi penuh dengan peperangan, kebencian dan perang saudara.

Kini, tersisa ribuan orang termasuk WNI yang bingung menentukan nasibnya dan penuh rasa penyesalan. Mereka dahulu meninggalkan negara yang damai dan penuh jaminan kebebasan dengan nuansa Islami yang terpancar dari seluruh pelosok negeri, hanya karena iming-iming khilafah yang menjanjikan kesejateraan dan tegaknya syariat Islam. Namun, apa yang didapatkan? Ke mana mereka akan pulang dari “hijrah”nya? Apakah akan melakukan “fathu Makkah” sebagaimana Nabi berhijrah ke Madinah kemudian balik ke negeri asalnya. Atau mereka kini sedang memohon untuk bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi?

Facebook Comments