Menurut Surat Edaran (SE) Kapolri No. SE/6/X/2015 yang dikeluarkan 8 Okober 2015, hate speech atau ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berbetuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan tersebut memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskiminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Pada kenyataannya, meski sudah ada surat edaran yang bisa digunakan sebagai pedoman penanganan hate speech, fenomena saling hujat, terutama di media sosial masih terjadi.
Beberapa waktu lalu, saat melakukan kunjungan kerja di Pondok Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur, Presiden Joko Widodo bahkan sampai menyatakan keprihatinannya. Keprihatinan tersebut disebabkan kolom-kolom komentar di media sosial dalam menanggapi berita dan isu di media online yang didominasi kalimat-kalimat saling menghujat, menjelak-jelekkan, bahkan cenderung fitnah dan hasutan (kompas.com, 19/9). Keprihatinan Presiden sangat beralasan. Sebab hal tersebut jelas bertolakbelakang dengan nilai-nilai kepribadian bangsa ini.
Nilai-nilai yang menjadi karakteristik bangsa, seperti sopan santun, keramahtamahan, dan kebijaksanaan seakan sulit ditemukan jika melihat fenomena yang terjadi di media sosial. Di samping itu, fenomena saling hujat di media sosial juga sama sekali tidak mencerminkan semangat perdamaian dan toleransi yang selama ini kita bangun sebagai sebuah bangsa yang majemuk dengan karakter rakyatnya yang beragam dari berbagai aspek.
Dua Sisi
Media sosial telah membuat orang begitu mudah melontarkan kata-kata atau kalimat apa saja untuk merespon sebuah kabar atau isu di internet atau media online. Padahal, kabar tersebut belum dipastikan kebenarannya. Pengguna di media sosial mudah terpancing menanggapi beragam isu-isu yang beterbaran di dunia maya, tanpa terkecuali isu-isu agama. Setiap orang dengan ringan melontarkan pernyataan atau sikapnya, dan dengan cepat akan ditanggapi orang lain. Dari sana, seringkali perdebatan muncul dan memunculkan kalimat-kalimat bernada saling menjatuhkan.
Pada dasarnya, di satu sisi perdebatan di media sosial bernilai positif dalam konteks membangun budaya kritis di masyarakat. Asalkan kata-kata yang dituangkan beretika, tanpa saling menjatuhkan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang cenderung mudah melontarkan kata-kata kasar, makian, saling merendahkan, dan berbagai kalimat bernada kebencian atau mengarah pada hate speech. Media sosial menjelma hutan belantara yang sarat dengan permusuhan, saling sikut demi dipandang paling benar.
Sebenarnya, di media sosial kita bisa saling bertukar pemikiran dalam menyikapi beragam isu-isu politik, sosial, budaya, maupun agama dalam masyarakat. Terlebih, dengan kebhinnekaan kita, media sosial bisa mewadahi interaksi produktif dari berbagai keragaman masyarakat kita untuk kemudian menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Dari sana, kita banyak belajar, wawasan bertambah dan kita menjadi lebih kritis. Namun, di sisi lain, karena yang keluar justru kata-kata saling hujat, pada akhirnya kita hanya mendapatkan keresahan dan kegelisahan, bahkan kebencian terhadap sesama. Perbedaan pandangan, yang sebenarnya menjadi modal mengasah kedewasaan berpikir, justru diperuncing dan menjadi pemantik kebencian.
Lebih bijak
Melihat fenomena tersebut, menjadi penting bagi kita, terutama dalam menggunakan media sosial, untuk lebih berhati-hati dalam mengomentari suatu berita, isu, maupun pemikiran seseorang. Sebab, kata-kata yang kita tulis akan dilihat banyak orang dan dengan mudah memunculkan tanggapan dari pengguna media sosial yang lain. Jika tak berhati-hati, bisa jadi apa yang kita tuangkan akan menyakiti pihak lain yang berbeda pandangan dengan kita, yang selanjutnya justru akan memantik permusuhan.
Kita perlu belajar berbicara secara ramah di media sosial, baik dalam menuangkan gagasan maupun dalam menyanggah suatu pendapat yang tak kita setujui. Artinya, gagasan atau sanggahan yang kita tuangkan sebisa mungkin tidak menyakiti atau menyudutkan pihak mana pun. Pada intinya, kita perlu menjaga jari-jari kita agar tak gegabah menuangkan pemikiran saat sedang emosi. Dibutuhkan kontrol untuk menahan apa yang seketika kita rasakan ketika membaca sebuah berita atau isu yang tak sesuai pandangan kita. Emosi mesti diredam terlebih dahulu, diendapkan, sehingga kita mampu berpikir jernih sebelum menuangkannya dalam bentuk komentar di media sosial.
Di samping itu, penting juga memerhatikan pilihan kata yang kita gunakan tidak menyakiti orang lain, atau bahkan memantik pertikaian dan permusuhan. Dalih kebebasan berpendapat tak bisa kemudian menerabas batas-batas etis dalam berpendapat itu sendiri. Sebab, selain memiliki hak atau kebebasan berpendapat, di saat bersamaan kita memiliki kewajiban menghormati orang lain yang berbeda pandangan dengan kita, demi terjaganya perdamaian dan kebersamaan. Jadi, kebebasan berpendapat harus didasari kesadaran dan tanggungjawab.
Mungkin memerhatikan ungkapan-ungkapan di media sosial terkesan sebagai hal yang sepele. Namun, hal tersebut berdampak besar. Bagaimanapun, media sosial adalah gambaran watak dan karakter masyarakat. Dengan keramahan di media sosial, berarti kita telah membiasakan diri menjadi orang yang toleran, cinta perdamaian, dan sekaligus, dalam konteks kehidupan berbangsa, kita telah merawat kebhinnekaan yang menjadi semboyan bersama.