Sosial Media: Wadah Menambah Amal Kebaikan, Bukan untuk Menambah Dosa

Sosial Media: Wadah Menambah Amal Kebaikan, Bukan untuk Menambah Dosa

- in Narasi
1645
1
Sosial Media: Wadah Menambah Amal Kebaikan, Bukan untuk Menambah Dosa

“Di dunia maya, kita pun perlu selalu ingat firman-Nya: Dan, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.5:2).” (Gus Mus)

Pentingnya cerdas bermedia sosial di zaman yang serba paket data ini, tentu harus diutamakan. Mengingat, telah seabrek pelanggaran terjadi seperti; provokasi, hoax, hasutan, hinaan, tipuan, cemooh, ancaman, dan bahkan ujaran kebencian demi kebencian.

Mengapa suasana sosmed seakan-akan sangat kejam? Bahkan, hampir tak menemukan kesejukan, ketenteraman. Hancur berantakan lantaran tingkah yang serabutan takkaruan. Terutama di Facebook dan Twitter yang memicu banyak pertengkaran.

Menjadi tak berguna bacaan al-Qur’an dan al-Kitab lainnya, tatkala kita ikut nimbrung mencaci maki, ikut memberikan komentar-komentar pedas hanya karena berpihak kepada salah satu. Bukankah menyakiti hati saudara kita adalah sebuah dosa meski di sosial media?

Kembali lagi ke nasihat Gus Mus tadi, ketika ditelaah lebih mendalam, kita sebagai pengguna aktif dunia online, sebenarnya selalu diwanti-wanti supaya tidak terjebak kepada hal-hal yang menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Bahkan, supaya kita tetap berada di jalan yang damai, aman dan nyaman, pengasuh pondok pesantren Raudatut Thalibin, Rembang, ini juga menekankan nasihatnya dengan kalimat, “Pergunakanlah juga alat elektronik atau gadgetmu untuk menambah amal kebaikan. Minimal janganlah menggunakannya untuk mencari dosa.”

Berangkat dari dua nasihat Gus Mus tersebut, setidaknya kita bisa ikut serta menciptakan perdamaian dan menghentikan permusuhan. Atau paling tidak, jangan menyebarkan kebencian, karena kebencian selalu menghantarkan pada pertikaian yang bisa membinasakan.

Sebenarnya, menciptakan perdamaian di dunia maya bukanlah hal sulit. Karena, dengan tidak berbuat atau berkata-kata kasar saja, kita telah ikut andil mendamaikan dunia maya maupun nyata. Terlebih, kita sampai membuat kata-kata tentang indahnya perdamaian, tentu hal itu akan sangat bermanfaat dan akan membawa dampak besar terhadap perdamaian itu sendiri. Akhirnya, meski pun banyak perbedaan, orang-orang tidak lagi mempermasalahkan, karena begitulah sejatinya kehidupan.

Pola pikir dan cara pandang kita tentang pendidikan perdamaian tentu harus ditingkatkan. Caranya, yaitu dengan memahami adanya beragam macam perbedaan. Mulai dari perbedaan negara, agama, suku, budaya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Ketika sudah paham tentang adanya perbedaan, maka tinggal pola pikir kita yang harus dibenarkan. Apakah kita akan membenci adanya perbedaan, atau mencintai perbedaan yang menuntun pada keharmonisan antar manusia?

Cara pandang maupun pola pikir yang benar, tentu akan mencintai perbedaan. Tetapi pada faktanya, tak jarang manusia terpecah belah, atau bahkan sampai berujung pada peperangan lantaran adanya perbedaan. Mengapa?

Baca juga :Urgensi Kepemimpinan Santri Menjawab Tantangan Kebangsaan

Jawaban yang paling mengarah pada pertanyaan tersebut adalah, karena yang paling banyak, paling kuat, dia yang benar, dan dia yang menang. Sehingga, tak heran jika ada negara atau suatu agama menjadi terkucilkan lantaran ia lemah, sedikit, dan minoritas. Tentu, hal inilah yang menjadikan perdamaian susah untuk dilestarikan. Yang paling meresahkan lagi, ada saja kaum mayoritas yang mengatakan bahwa keyakinan kaum minoritas salah dan sesat. Tentu, ini merupakan ketidakadilan atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Sehingga, anggapan tentang yang kecil akan selalu dikalahkan oleh yang besar, akan terus bersemayam di alam pikiran manusia. Dan, sudah pasti ini akan semakin menyulitkan tentang terciptanya perdamaian di tengah perbedaan.

Oleh karenanya, supaya perbedaan bukan lagi halangan untuk berdamai, maka pendidikan perdamaian tentu harus ditanamkan sejak dini. Maka, tanamkanlah di mana saja, baik di tengah keluarga, masyarakat, dan dunia maya. Jadi, pendidikan perdamaian nantinya tidak melulu di ruang sekolah saja.

Selain itu, tanamkan juga dalam jiwa kita tentang Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab, UUD tersebut mengajari kita untuk legowo dalam menghadapi perbedaan, dan mengajari kita menerima perbedaan keyakinan. Ingatlah, bahwa mengentaskan kekerasan dan kebencian karena perbedaan pandangan sebenarnya cukup simple, karena kita tinggal menerima perbedaan. Dengan begitu, nantinya kita akan menemukan banyak teman, sahabat, dan bahkan saling menganggap keluarga meski dengan negara, agama, dan keyakinan yang berbeda. Sungguh betapa nikmatnya hidup dengan gaya seperti itu, karena ketika kita dikenal sebagai orang yang toleran, maka kita akan mudah diterima oleh siapa pun dan dari kalangan mana pun.

Terakhir, alangkah luhurnya kalau kita menyingkirkan sifat-sifat buruk, terutama kebencian terhadap agama atau keyakinan orang lain. Jadi, biarkan negara dan agama kita tetap indah lantaran kita tak menjadikan masalah sebuah perbedaan. Dan, kita perdamaian sebagai sebuah keindahan yang harus tetap dijaga keindahannya sampai kapanpun. Sehingga, perdamaian menjadi sebuah petunjuk menuju jalan keselamatan dan keharmonisan. Salam toleran!

Facebook Comments