Tiap tanggal 19 Desember, kita memperingati Hari Bela Negara. Peringatan ini tentunya bertujuan untuk memupuk semangat nasionalisme dan patriotisme komponen masyarakat bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Berbicara terkait dengan bela negara tentu tidak lepas dari misi perdamaian. Bela negara bertujuan untuk memupuk semangat nasionalisme dan patriotisme elemen masyarakat bangsa Indonesia yang berlandaskan pada ideologi Pancasila. Sehingga dengan hal tersebut akan tumbuh jiwa rela berkorban untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan, salah satunya dengan mewujudkan perdamaian.
Masih melekat dalam benak kita, beberapa waktu lalu kita juga dihebohkan polemik terkait bela negara yang diinisiasi oleh Kementrian Pertahanan. Pasalnya, peluncuran program tersebut dinilai tidak dalam situasi yang tepat. Di saat negara sedang menghadapi goncangan perekonomian. Tetapi, justru pemerintah malah menggulirkan program yang berpotensi menghabiskan anggaran besar. Meski pemerintah berkilah bahwa, bela negara tidaklah sama dengan wajib militer, tetapi banyak kalangan berasumsi negatif, di mana keduanya identik sebagai bentuk pelatihan militer untuk pertahanan negara di saat negara mendapat ancaman .
Berbicara mengenai program bela negara yang merujuk ke wajib militer, sejatinya bukanlah program baru di kancah Internasional. Beberapa negara seperti Israel, Iran, dan juga Singapura telah memiliki program serupa untuk cadangan pasukan di saat perang. Namun dewasa ini, program tersebut mulai ditinggalkan karena dinilai melanggar HAM. Memang membela negara merupakan kewajiban dan hak setiap warga negara. Sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945 Pasal 30 dan Pasal 27. Tetapi di zaman modern ini, permasalahan negara tidak melulu hanya terkait militer saja, melainkan jauh lebih kompleks. Dan tentunya harus ditangani sesuai dengan kondisinya agar tidak menambah runyam masalah.
Pencetusan program bela negara bisa diapresiasi positif jika memiliki misi yang mulia yaitu memperkuat pertahanan tanah air dan perdamaian. Pertahanan negara di sini jangan dimaknai secara sempit terkait militerisasi saja. Melainkan dimaknai secara komprehensif dan integralistik. Bela negara tak hanya berwujud angkat senjata saja melalui militer. Tetapi, lebih daripada itu dengan mengerahkan seluruh daya, cipta, dan karsa bangsa ini dalam rangka memajukan negara melalui pembangunan di segala bidang, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya maupun bidang-bidang lain dalam rangka kesejahteraan rakyat. Dan yang tak kalah penting ialah mewujudkan perdamaian mulai dari tingkat rukun warga, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional bahkan dunia.
Mengingat di era informasi ini, ada potensi serangan yang lebih berbahaya dan bersifat nirwujud. Derasnya Teknologi Komunikasi dan Informasi (TIK) yang yang tumpah ruah kalau kita tak mampu memfilternya, maka secara tak langsung mampu menggeser paradigma dan budaya bangsa ini, bahkan menukik sampai dengan mengobrak-abrik idiologi kita. Sehingga kalau kita tidak waspada dan hati-hati, akan dapat mengikis semangat juang bangsa ini dalam pembangunan. Demikian juga ujaran kebencian, umpatan, politik adu domba, dan berbagai hal tindakan anti-Pancasila mulai menjalar di dunia maya. Kalau kita tidak memiliki jiwa bela negara yang kuat bisa jadi bangsa ini mudah diprovokasi.
Lunturnya rasa nasionalisme ini dapat kita antisipasi lewat pendidikan. Mengingat pendidikan merupakan senjata ampuh dalam menyelesaikan berbagai problematika bangsa. Kita bisa belajar dengan Jepang yang mampu bangkit dari keterpurukan usai hancurnya Hirosima dan Nagasaki karena kalah militernya dengan tentara sekutu. Tetapi, Jepang dengan bertumpu pada pendidikan dalam sepuluh tahun mampu melejit menjadi negara maju. Sehingga bela negara harus direflesikan ke berbagai bidang kehidupan, terutama pendidikan. Lagipula jalan perdamaian lewat militer sudah dianggap kuno. Sebab jika fokus pada pelatihan fisik dan lupa pada pelatihan mentalnya maka negara ini justru bisa hancur karena bangsanya sendiri. Sesuatu hal yang tidak kita harapkan tentunya.
Terkait ketahanan militer, alternatif solusinya, pemerintah cukup membina dan mengontrol militer yang saat ini ada (Kepolisian dan TNI AD/AU) agar citra negatif di mata publik musnah serta menjadikan mereka pasukan profesional, berintegritas, dan berkepribadian. Sehingga tidak ada lagi diketemukan sesama elemen militer terlibat baku hantam, KKN, dan pemalakan liar. Kalau pemerintah fokus membela kepentingan rakyat, nicaya dengan sendirinya rakyat juga akan membela negara apabila negara dalam keadaan darurat militer. Rakyat tentu akan memiliki kesadaran bela negara tanpa harus dipaksakan.
Permasalahan mendesak negara seperti stabilitas perekonomian, ketahanan pangan, dan kualitas pendidikannya patut dipikirkan juga. Hal ini tentu telah terangkum dalam cita-cita pembangunan bangsa. Revolusi mental juga dirasa penting untuk digalakkan di setiap aparatur negara. Itu artinya, pembangunan tak hanya bidang material saja, melaikan juga spiritual. Demikian pun harus memahami esensi makna terdalam dari bela negara. Bela negara sudah sepatutnya dimiliki oleh setiap warga negara. Bukan saja mengenai angkat senjata, melainkan juga memerangi segala bentuk tindakan yang dapat merusak perdamaian di dunia maya. Kalau semua itu terlaksana dengan baik, niscaya bangsa ini menjadi bangsa yang aman, damai, tentram, dan sejahtera.