Sunan Bonang, Syair Tombo Ati dan Warisan Toleransi

Sunan Bonang, Syair Tombo Ati dan Warisan Toleransi

- in Narasi
640
1
Sunan Bonang, Syair Tombo Ati dan Warisan Toleransi

Percaya atau tidak, beberapa tahun terakhir kerap kali agama digunakan sebagai salah satu dalih untuk menganggap kebenaran suatu kelompok dan menganggap golongan lain salah. Sebenarnya doktrin yang seperti inilah yang mencederai kerukunan dalam beragama. Tidak masalah mencintai apa yang kita anut, tetapi menjadi salah apabila disuruh untuk membenci orang yang berbeda. Pandangan semacam inilah yang seharusnya diluruskan kembali, bahwa hadirnya sebuah agama sebenarnya bukan untuk memecah belah, mengajak bermusuhan, dan saling menyalahkan.

Agama adalah sebuah solusi agar kita bisa bersama-sama, berkelompok untuk saling menjaga persaudaraan, serta setiap agama yang pasti selalu mengajarkan kemanusiaan. Maka, agama itu bukan sumber kebencian. Apabila ada kebencian yang mengatasnamakan agama, sepenuhnya itu bukan dari ajaran agama tersebut, melainkan dari diri manusia yang tidak bisa mengendalikan egonya.

Ada sebuah Syair Jawa yang sangat fenomenal dari zaman Sunan sampai sekarang, yaitu Syair tombo ati yang diciptakan oleh Sunan Bonang dalam berdakwah, yang berbunyi. Tombo ati iku ono limo perkoro (obat hati itu ada lima perkara). Kaping pisang moco Quran lan maknane (pertama baca Quran dengan maknanya). Kaping pindo sholat wengi lakonono (kedua, shalat malam dirikanlah). Kaping telu wong kang sholeh kumpulono (ketiga, berkumpullah dengan orang sholeh). Kaping papat kudu weteng ingkang luwe (keempat, perbanyak berpuasa). Kaping limo zikir wengi lingkang suwe (kelima, dzikir malam perbanyaklah). Salah sawijine sopo iso ngelakoni mugi-mugi gusti Allah nyembadahi (salah satunya saiapa bisa menjalankan, semoga Allah mencukupi).

Ada makna yang mendalam apabila kita merenungkan makna syair tersebut. Tidak ada unsur dan nuansa kekerasan yang terkandung dalam syair tersebut. Dalam hal ini, bisa dikatakan Sunan Bonang mengajarkan bagaimana agama itu memberi ketenangan, kesenangan, serta menjadi solusi bagi setiap orang. Bahkan dalam syair yang ketiga ia mengungkapkan betapa pentingnya berkumpul dengan orang yang berilmu. Karena dengan begitu kita juga akan merasakan ketenangan serta kesenangan. Sebab, mereka yang beragama secara baik dan mengedepankan sikap kemanusiaannya, pasti akan merasakan ketenangan ketika berada di mana pun. Sebab, sikap kasih sayangnya tersebut sudah menjalar kepada manusia-manusia yang ada di sekelilingnya.

Baca Juga :Post-Radikalisme dan Islam Emansipatoris

Sejalan dengan itu, ketika kita berkunjung ke Tuban, kita juga akan menemukan sebuah keindahan toleransi dalam masyarakat Tuban, seperti misalnya sejumlah tempat ibadah di sekitar alun-alun Tuban. Dari bangunan masjid, kelenteng, pura, dan gereja yang membentuk seperti kompleks tersebut telah dibangun sejak zaman Sunan Bonang. Simbol dari semua itu adalah adanya Prasasti Kalpataru. Pada prasasti setinggi 180 cm tersebut terukir empat ibadah untuk agama yang berbeda-beda yakni masjid yang mewakili agama Islam, Candi yang mewakili agama Hindu, Kelenteng yang mewakili Tridharma (Budha, Tao, dan Konghucu), serta wihara yang mewakili agama Budha.

Melalui prasasti inilah seharusnya kita yang hidup sekarang memahami, betapa toleran nenek moyang kita. Bahwa adanya ajaran dan kepercayaan yang berbeda-beda tidak membuat mereka berpecah-belah. Melalui prasasti Kalpataru yang ditinggalkan Sunan Bonang, menunjukkan kearifan lokal yang sangat bermanfaat untuk mengedepankan hidup berkemanusiaan. Di mana pada saat itu berbagai agama samawi dan kepercayaan lokal bisa hidup berdampingan secara harmonis.

Sunan Bonang merangkul orang-orang selain muslim, tinggal di tempat yang sama dan hidup dalam toleransi, rukun, serta damai. Dan sudah seharusnya ajaran ini dikembangkan kembali di masyarakat digital sekarang ini. Karena toleransi yang diajarkan beliau masih sangat relevan untuk disuarakan saat ini. Kita memang berbeda-beda, tapi tetap satu Indonesia. Untuk itu selalu lakukan kebaikan kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun, agar kita tidak punya waktu lagi untuk melakukan keburukan. Cintailah manusia, maka kita pun akan mendapatkan cinta pula dari manusia.

Facebook Comments