Post-Radikalisme dan Islam Emansipatoris

Post-Radikalisme dan Islam Emansipatoris

- in Narasi
582
1
Post-Radikalisme dan Islam Emansipatoris

Radikalisme tengah menjadi terma yang diperdebatkan belakangan ini. Polemik terjadi tidak hanya di kalangan intelektual, tokoh agama, dan politisi, namun juga di masyarakat umum. Pangkal polemik itu bermula dari perdebatan tentang definisi radikalisme, bagaimana mengidentifikasi kelompok radikal, serta bagaimana menumpas radikalisme hingga ke akarnya.

Jika dicermati, debat publik seputar radikalisme itu terkesan melompat-lompat, tidak subtansial dan jalan di tempat. Sebagian masyarakat kukuh berpendapat bahwa radikalisme adalah istilah yang berkonotasi positif. Yakni paham yang menginginkan perubahan fundamental dalam kehidupan manusia. Sebagian lainnya meyakini bahwa radikalisme telah mengalami penyimpangan makna ke arah negatif. Yakni paham yang menginginkan perombakan dasar dan bentuk negara.

Perdebatan seputar definisi itu harus diakui cenderung kontra-produktif terhadap upaya pemberantasan radikalisme berbasis agama yang beberapa tahun ini marak. Maka, alih-alih terjebak pada debat kusir ihwal definisi radikalisme, lebih baik kita mengidentifikasi apa itu karakteristik kelompok yang bisa dikategorikan sebagai kaum radikal. Intinya, apa pun nama atau istilah yang kita sematkan, radikalisme selalu merujuk pada tiga ciri.

Pertama, pandangan yang meyakini bahwa kelompok lain di luar Islam sebagai kelompok kafir sesat. Pola pikir ini mengejawantah ke dalam fenomena takfirisme yang belakangan ini populer di sebagian kelompok muslim. Karakter pertama ini bisa dibilang sebagai radikalisme dalam tataran pikiran atau ideologi.

Kedua, pandangan yang meyakini bahwa ideologi Pancasila dan konsep NKRI bertentangan dengan ajaran Islam sehingga perlu diganti dengan konsep negara khilafah lengkap dengan pemberlakuan hukum Islam. Ciri ini tampak jelas mengemuka dari berbagai organisasi Islam transnasional yang selalu mengampanyekan khilafahisme. Radikalisme dalam tataran ini bisa disebut sebagai radikal dalam perspektif politis.

Baca Juga :Falsafah Keselarasan dan Pencegahan Radikalisme

Ketiga, pandangan dan perilaku yang menghalalkan tindakan kekerasan demi membela agama Islam dan menegakkan khilafah Islamiyyah. Pandangan yang demikian ini bisa disebut sebagai radikal dalam perilaku dan merupakan puncak dari paham radikal.

Apa pun istilah yang dipakai, individu atau kelompok yang memiliki tiga karakteristik di atas jelas berbahaya dan menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara. Dan sudah menjadi tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk memberantas hingga ke akarnya. Tentu, dengan mengidentifikasi level radikalitas seseorang atau kelompok, maka kita bisa memilih metodologi dan pendekatan yang tepat.

Gejala radikalisme agama dalam fase pikiran atau ideologis, seperti diperlihatkan oleh kaum takfiri bisa diselesaikan melalui pendekatan sosial-budaya, alias tidak perlu penegakan hukum apalagi menggunakan cara-cara kekerasan bernuansa militeristik. Caranya ialah dengan melawan narasi takfirisme dengan membangun narasi keagamaan baru yang lebih moderat, toleran dan pluralis. Pada titik inilah, kaum moderat-progresif perlu turun ke medan perang wacana untuk melawan wacana takfirisme yang tentu bertentangan dengan semangat kebinekaan sebagaimana dikandung Pancasila.

Sementara untuk menghadapi kaum radikal-politis, pemerintah dan masyarakat sipil perlu bekerjasama untuk mengoptimalkan konsolidasi demokrasi. Kemunculan kaum radikal-politis seperti kita tahu dilatari salah satunya oleh kekecewaan terhadap sistem demokrasi. Kegagalan demokrasi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan membuat sebagian muslim berpaling ke ideologi khilafah. Terlebih para pengasong ide khilafah selalu mengklaim bahwa solusi bagi segala persoalan yang disisakan oleh sistem demokrasi adalah dengan menegakkan negara Islam. Optimalisasi konsolidasi demokrasi yang berdampak langsung pada terciptanya keadilan dan kesejahteraan akan mematahkan keyakinan para pengusung khilafah bahwa negara Islam adalah solusi semua persoalan bangsa dan negara.

Sedangkan dalam konteks menghadapi kaum radikal-teroris yang menghalalkan cara kekerasan demi meraih tujuan, tidak ada jalan lain kecuali dengan memakai pendekatan penegakan hukum, bahkan jika perlu mengerahkan kekuatan aparat keamanan (polisi dan militer). Teroris adalah kelompok kriminal bersenjata, dan sebagiannya terlatih serta menguasai dasar-dasar ilmu teknik peperangan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang lebih tegas demi mencegah kerusakan yang lebih parah yang kerap mereka timbulkan.

Mewujudkan Keadilan, Kesetaraan dan Kemanusiaan

Perang melawan radikalisme dan terorisme dalam tubuh Islam tidak berhenti ketika anasir gerakan radikal itu sirna dari tubuh Islam. Lebih dari itu, perjuangan melawan radikalisme bisa dikatakan berhasil manakala umat Islam mampu menampakkan wajah Islam yang emansipatoris. Islam emansipatoris secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik keberislaman yang tidak hanya berhenti pada sekadar wacana tekstual-keilmuan namun merambah pada aspek perubahan sosial. Emansipatorisme Islam bisa pula diartikan sebagai sebuah upaya menjembatani teks keislaman yang statis ke dalam praksis gerakan pembebasan manusia yang dinamis-progresif.

Setidaknya ada tiga isu pokok yang menjadi agenda besar Islam emansipatoris. Pertama, isu keadilan. Di dalam Islam, keadilan merupakan unsur paling penting kedua setelah tauhid. Keadilan bisa dibilang merupakan ruh ajaran Islam. Dalam konteks ushul fiqih, keadilan merupakan salah satu tujuan syariat (maqashid al syariah). Fakta sejarah menunjukkan bahwa semua ajaran Islam pada dasarnya bermuara pada satu tujuan yakni menciptakan tata kehidupan sosial yang adil.

Kedua, kesetaraan yang kondisi ketika umat manusia memiliki kedudukan setara tanpa ada pembedaan hak dan kewajiban. Dalam Islam, kesetaraan merupakan visi paradigmatik yang menopang konsep ketauhidan. Pengakuan terhadap keesaan Allah hanya mungkin dilakukan jika manusia bisa diposisikan setara tanpa ada penindasan antar-manusia. Inilah ciri khas Islam yang membuatnya berbeda dengan agama-agama dalam rumpun Ibrahim. Jika Kristen identik dengan ajaran kasih sayang, Yahudi lekat dengan kekuatan hukum legal-formalnya, maka Islam berada di garda depan pembawa risalah kesetaraan (al musawah).

Ketiga, kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan dalam Islam hendak mengangkat harkat dan martabat manusia tanpa memandang perbedaan agama, ras dan suku. Sejak awal kemunculannya, Islam sudah menunjukkan komitmen untuk membangun masyarakat yang bebas dari ketidakadilan dan penindasan. Kedatangan Islam disambut oleh kelompok masyarakat bawah di Arab lantaran ajarannya yang berpihak pada kaum lemah. Agenda kemanusiaan inilah yang terus menerus diperjuangkan oleh Islam sejak pertama kali muncul hingga saat ini.

Gagasan Islam emansipatoris ini penting dimunculkan, terutama berkaitan dengan maraknya radikalisme di dunia Islam. Tanpa terwujudnya ketiga visi emansipatorisme Islam, yakni keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan, dapat dipastikan radikalisme akan terus tumbuh subur. Jika dunia Islam masing dihantui oleh ketidakadilan, penindasan dan pembedaan manusia berdasar golongan dan status sosialnya, maka ideologi radikal akan terus berkembang, meskipun pemerintah melakukan pembersihan pada jaringan teroris secara besar-besaran.

Tugas kita bersama hari ini ialah menjembatani kesenjangan antara fakta tekstual dengan realitas sosial. Kita dihadapkan pada tantangan berat untuk menerjemahkan ajaran Islam ke dalam satu gerakan praksis sosial yang bertujuan membebaskan dan memberdayakan manusia. Inilah titik tolak terpenting untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai post-radikalisme. Yakni menciptakan struktur sosial yang berkeadilan pasca matinya paham radikalisme.

Facebook Comments