Tafsir Nasionalisme; Rasa, Cinta dan Jiwa (Nusantara)

Tafsir Nasionalisme; Rasa, Cinta dan Jiwa (Nusantara)

- in Narasi
554
1
Tafsir Nasionalisme; Rasa, Cinta dan Jiwa (Nusantara)

Banyak di antara kita yang beragama tanpa (rasa). Menjalani kehidupan sosial tanpa (cinta). Bahkan terombang-ambing oleh jiwa-jiwa yang terkontaminasi oleh pemahaman berorientasi kepada kebencian dan kejahatan. Banyaknya kasus bom bunuh diri dengan seperangkat keyakinan tentang “jihad pembela agama”. Begitu banyak “osteoporotic” sosial yang melegalkan pembantaian antar saudara. Terasa sulit jiwa-jiwa kita untuk tidak menggerakkan jari-jemari, lisan dan tindakan kita untuk tidak menyebarkan fitnah. Enggan menghilangkan ungkapkan yang menyakitkan perasaan serta tindakan yang tidak mengenal kemanusiaan.

Tiga struktur interpretasi dari semangat nasionalisme adalah pembentukan simbolisme yang mengembalikan ruh kesadaran. Kekuatan yang menciptakan kebaikan bersama. Kekuatan yang membentuk pribadi-pribadi yang saling memanusiakan manusia lain. Serta semangat persatuan kebangsaan yang menjaga dan melindungi sosial keharmonisan, politik perdamaian, pendidikan yang menjamin terhadap kemajuan, pertahanan dan perlindungan secara geografis. Semuanya tidak akan terbentuk tanpa semangat rasa, membumikan cinta dan menebarkan jiwa-jiwa yang membangun persatuan dan kebersamaan di rumah nusantara ini.

Realisasi tiga Struktur wawasan Nusantara

Beragama di bumi nusantara sangat penting akan seperangkat rasa. Secara umum ini memiliki penjabaran tentang pertimbangan dalam dinamika sosial ketika struktur doktrin teologi itu diaplikasikan. Begitu juga semangat hati yang harus selalu kita prioritaskan dalam menyelami jembatan spiritual tersebut. Agar indra intelektual dan emosional juga menjadi penggerak yang mampu memberikan kepekaan terhadap banyak hal. Artinya, kesadaran yang perlu kita tanam adalah kesadaran “jika disakiti itu tidak enak, lalu mengapa kita sering menyakiti saudara sendiri dengan mengatasnamakan agama”.

Baca Juga :Laut yang Menyatukan Kita

Persepsi ini bukan hanya sebuah wacana, akan tetapi harus merambat kepada konsep kita dalam ber-sosial. Bahwa pada hakikatnya, membumikan cinta dalam sosial kehidupan berbangsa dan bernegara adalah konsep dalam menyikapi. Cara memiliki prinsip yang orientasinya kepada keselarasan terhadap tujuan-tujuan secara nasional yaitu perdamaian dan keharmonisan. Perdamaian dan kebersamaan akan terbentuk oleh semangat cinta. Karena ruh cinta akan membangun suasana saling menerima, saling menghargai, ketulusan dalam setiap banyak hal di tengah perbedaan yang harus kita jalani tanpa ada sekat-sekat pemaksaan untuk mengikuti satu golongan. Akan tetapi membangun prinsip kebangsaan untuk saling menerima.

Semuanya akan membentuk kepada keteguhan jiwa. Bagaimana jiwa-jiwa kita akan terbentuk ke dalam suasana yang menyadari bahwa kita lahir, dan kita akan hidup begitu juga kita akan mati di bumi nusantara. Maka jiwa kita akan terus mengabdi untuk selalu menggerakkan akal, pikiran, hati dan tindakan kepada jalan-jalan yang ke arah satu misi yaitu Indonesia.

Tiga simbolisme yang mengisi ideologi kebangsaan

Sehingga, tiga dimensi yang telah dijabarkan tersebut akan “membentuk karakter kebangsaan”. Pancasila akan selalu diterima dengan kebijaksanaan. Karena yang menolak dan orang yang membangun persepsi tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa justru bertentangan dengan agama, kebudayaan, tradisi dan bahkan bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip teologi itu sangat (tidak bisa mengendalikan tiga dimensi tersebut). Karena rasa dalam beragama kita tidak berfungsi secara penuh. Kita lebih mengedepankan konsep hawa nafsu dalam beragama. Sehingga semuanya akan mengalami kerusakan secara struktur nilai yang ada dalam agama tersebut.

Agama harus direalisasikan ke dalam sistem kenegaraan tersebut agar mereduksi kepada lapisan sosial masyarakat yang ada di dalamnya. Karena semangat rasa, cinta dan jiwa yang ada dalam diri pribadi tersebut akan membuka wacana idealisme yang mampu membangun persepsi kemaha-luasan agama yang berasal dari-Nya. Pembentukan ini akan menghasilkan dua sudut pandang yaitu “konstruksi personal” dan “refleksi sosial”.

Ideologi Pancasila terbentuk dengan semangat ruh nilai-nilai yang ada dalam agama dengan sudut pandang refleksi sosial. Sehingga memberikan wacana ideologis bahwa kita harus saling menghargai, saling menghormati dan bahkan saling melindungi tanpa ada diskriminasi atau pertikaian dalam tiap-tiap agama tersebut. Begitu juga dengan konstruksi personal yang dimulai dari pengalaman spiritual dan akan memberikan ruh secara batiniah dalam memberikan pandangan yang jernih akan sebuah rasa, semangat cinta, serta bangunan-bangunan jiwa yang penuh dengan kebijaksanaan. Maka di situlah letak fungsi agama dan semangat ideologi kebangsaan kita saling berkesinambungan. Ideologi Pancasila tegak dengan seperangkat akar agama tersebut.

Maka di situlah sebuah fungsi rasa yang harus kita bangun dalam agama tersebut. Membangun sudut pandang tentang konsep hidup secara spiritual dan konsep hidup secara sosial. Sehingga akan menciptakan semangat cinta di dalamnya dalam menjalani sosial masyarakat kita dalam berbangsa dan bernegara. Begitu juga jiwa-jiwa kita akan lapang dan penuh dengan kesadaran yang akan menggerakkan akal, pikiran, hati dan tindakan kita kepada kebijaksanaan. Tiga struktur inilah pada hakikatnya akan membentuk wawasan kebangsaan kita benar-benar diaplikasikan dalam tiap-tiap lapisan masyarakat di bumi nusantara ini.

Facebook Comments