Tak Ada yang Paling Humanis Ketika Natal selain Gus Dur

Tak Ada yang Paling Humanis Ketika Natal selain Gus Dur

- in Tokoh
18
0
Tak Ada yang Paling Humanis Ketika Natal selain Gus Dur

Minggu lalu, kita memperingati hari berpulangnya Abdurrahman Wahid ke haribaan Yang Maha Kuasa. 15 tahun sudah Gus Dur meninggalkan kita semua. Nilai-nilai yang diwariskan Gus Dur telah melekat pada diri bangsa Indonesia.

Salah satunya terasa ketika menjelang akhir tahun begini. Menjelang Natal, saya menjadi teringat bagaimana persepsi Gus Dur tentang Natal dan perlakuannya kepada umat Kristen saat perayaan Natal.

Akhir tahun 1996, tepat 28 tahun yang lalu, beberapa saat sebelum Natal 1996 itu, seorang anggota Ansor Jawa Timur bertanya kepada Gus Dur soal hukum mengawal gereja bagi seorang Muslim. Merespon pertanyaan itu, jawaban Gus Dur kira-kira begini,

“Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab gereja itu ada di Indonesia, Tanah Air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apapun di bumi Indonesia.”

Pertanyaan itu kurang lebih muncul akibat perintah Gus Dur kepada Banser untuk menjaga gereja di malam Natal 1996.

Instruksi Gus Dur tersebut dilatarbelakangi oleh peristiwa kerusuhan massa yang berakhir dengan pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur. Sebagai basis nahdliyyin di Jawa Timur, Gus Dur merasa bertanggung jawab atas tragedi anarkisme yang terjadi di Situbondo.

Perasaan itu, meskipun tidak secara implisit terucap, termanifestasikan dalam instruksi Gus Dur untuk mengamankan malam Natal di berbagai gereja. Tiga tahun berselang, pasca dilantik menjadi Presiden, Gus Dur menghadiri sendiri malam perayaan Natal tingkat nasional yang digelar di Balai Sidang Senayan pada 27 Desember 1999.

Sebagai tamu istimewa, Gus Dur menyampaikan orasi di hadapan 10 ribu peserta dan disiarkan secara langsung oleh seluruh televisi. Masih teringat ketika Gus Dur membuka pidatonya dengan ucapan “Assalamu’alaikum”.

Ia sengaja melakukannya karena pada dasarnya arti “Assalamu’alaikum” adalah kedamaian atas seluruh hadirin. Gus Dur mengatakan itu tanpa keraguan. Ia juga merasa berbahagia bisa menghadiri perayaan Natal nasional tersebut. Panitia pelaksana acara, T.B. Silalahi, yang juga mantan menteri di era Orde Baru, mengungkapkan bahwa pidato Gus Dur terhadap umat Kristen tersebut tidak ternilai harganya.

“Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia. Sejak kecil itu saya rasakan, walaupun saya tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai. Tetapi tidak pernah sedetik pun saya merasa berbeda dengan yang lain,” kata Gus Dur.

Menariknya, Gus Dur tidak melulu berbicara secara letterlek soal pentingnya toleransi, sikap moderat, dan sebagainya. Pernyataan Gus Dur tersebut jelas menyiratkan pesan pluralitas yang kuat, nasihat untuk bersatu bukan memecah belah, dan bertoleransi. Gus Dur adalah orang yang “walk the talk”, seorang figur yang menyebarkan pesan kebaikan lewat katauladanan.

Masih seputar Natal, Gus Dur pernah menulis persoalan perdebatan ucapan Natal dalam artikelnya “Harlah, Natal, dan Maulid” yang tayang di Suara Pembaruan. Artikel tersebut ditulis saat ia berada di Yerussalem pada 20 Desember 2003.

Bahkan, ketika Gus Dur tidak di Indonesia sekalipun, segala pikirannya tetap dicurahkan untuk “ngemong” Indonesia dari jauh. Dalam tulisannya, Gus Dur menegaskan soal pentingnya membedakan antara Natal dan Maulid. Natal tidak hanya dipahami hari kelahiran fisik, namun juga peristiwa teologis. Karena makna teologis itulah Natal berbeda dengan Maulid walau sama-sama merujuk kelahiran fisik, dalam konteks ini kelahiran Yesus dan Muhammad.

“Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus tersebut tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu masing-masing berbeda dari yang lain,” tulis Gus Dur.

Menurut Gus Dur, jika umat Muslim ikut merayakan Natal, maka hal itu adalah dalam rangka menghormati kelahiran seorang utusan Allah yang juga diakui dalam al-Qur’an, yaitu Isa al-Masih. Natal disebut dalam al-Qur’an dengan frase ‘yauma wulida’.

Dalam artikelnya, Gus Dur menguraikan bahwa yauma wulida (hari kelahiran) secara historis dijelaskan oleh para mufasir sebagai hari kelahiran Isa. …. Bahwa kemudian Isa “dijadikan” Anak Tuhan oleh umat Kristen adalah hal yang lain lagi.

“Natal memang diakui oleh kitab suci Al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. ” Terang Gus Dur.

Gus Dur adalah sosok milik semua agama di Indonesia. Ketika menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, ia melakukan banyak gebrakan untuk memulihkan kebhinekaan Indonesia. Dua di antaranya adalah mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui secara resmi oleh negara dan menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.

Pun dengan kasus Natal. Semua Presiden Indonesia pernah mengucapkan Selamat Natal. Namun, tidak ada yang paling humanis dalam mengucapkan Selamat Natal selain Presiden Abdurrahman Wahid.

Facebook Comments