Memasuki pergantian tahun dari 2024 ke 2025, bangsa Indonesia dihadapkan pada refleksi mendalam tentang tantangan dan peluang yang telah dan akan dihadapi. Tahun 2024 menjadi saksi dari berbagai dinamika global dan domestik yang menguji kohesi sosial masyarakat Indonesia.
Salah satu isu utama adalah ancaman importasi konflik luar negeri yang bersumber dari ideologi radikal. Peristiwa geopolitik seperti kejatuhan Bashar Al-Assad di Suriah oleh kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) menjadi katalis penyebaran narasi ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Di Indonesia, propaganda “jihad di bumi Syam” kembali dihembuskan oleh kelompok radikal, memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ideologi kebencian. Namun, di balik tantangan itu, ada peluang besar untuk memperkuat jalinan kerukunan antar warga negara, didukung oleh sejumlah peristiwa positif sepanjang tahun 2024.
Pancasila sebagai ideologi negara tetap menjadi fondasi utama dalam menjaga persatuan dan harmoni di tengah keberagaman. Lima sila yang terkandung dalam Pancasila tidak hanya memberikan panduan moral bagi masyarakat, tetapi juga menjadi dasar hukum dan politik dalam mengelola keberagaman.
Nilai-nilai Pancasila, seperti kemanusiaan, keadilan, dan persatuan, menjadi tameng yang ampuh untuk menolak ideologi transnasional yang bertentangan dengan semangat kebangsaan. Sebagai contoh, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan dasar yang jelas bahwa segala bentuk kekerasan, termasuk yang dilakukan atas nama agama, tidak dapat diterima. Begitu pula sila Persatuan Indonesia menegaskan pentingnya menjaga integrasi bangsa di tengah ancaman sektarianisme yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Moderasi beragama adalah pilar penting lainnya yang harus terus diperkuat. Konsep ini menekankan keseimbangan antara kebebasan beragama dan tanggung jawab sosial untuk menjaga harmoni. Moderasi sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama dalam menciptakan ruang yang inklusif dan toleran bagi semua umat beragama.
Sepanjang 2024, Indonesia mencatat sejumlah perkembangan positif dalam moderasi beragama. Salah satunya adalah semakin terkikisnya politik identitas pada Pemilu 2024. Pemilu kali ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai meninggalkan pendekatan sektarian dalam memilih pemimpin, beralih ke isu-isu yang lebih substansial seperti kebijakan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini menjadi sinyal positif bahwa demokrasi di Indonesia semakin matang.
Selain itu, upaya deradikalisasi juga menunjukkan hasil yang signifikan, dengan kembalinya Jamaah Islamiyah kepada NKRI. Langkah ini menjadi bukti bahwa pendekatan persuasif berbasis dialog dan rehabilitasi dapat menjadi strategi efektif dalam menangkal ideologi ekstrem. Di tahun 2024, mencatat momen bersejarah berupa kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, yang disambut dengan hangat oleh masyarakat dari berbagai agama. Peristiwa ini tidak hanya memperkuat hubungan antaragama, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah model harmoni dalam keberagaman. Perayaan Hari Natal yang berlangsung damai di seluruh wilayah Indonesia menegaskan kembali komitmen masyarakat untuk menjaga kerukunan.
Namun, tantangan tetap ada. Media sosial terus menjadi alat utama bagi kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda mereka. Untuk menghadapi ini, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam memperkuat literasi digital dan mempromosikan narasi-narasi positif. Pemerintah dapat menggandeng perusahaan teknologi untuk mengembangkan algoritma yang lebih canggih dalam mendeteksi dan menghapus konten ekstremis. Di sisi lain, masyarakat harus dididik untuk menjadi pengguna internet yang kritis dan tidak mudah termakan hoaks. Kampanye seperti “Think Before You Share” dapat menjadi langkah awal untuk meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya informasi palsu.
Tantangan lainnya adalah bagaimana memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila terus ditanamkan di berbagai lapisan masyarakat. Kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi sering kali menjadi akar masalah yang membuat individu atau kelompok rentan terhadap ideologi radikal. Oleh karena itu, pemberdayaan ekonomi dapat menjadi pendekatan efektif untuk menangkal ekstremisme. Program pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas dapat dikembangkan, seperti pelatihan keterampilan, pemberian modal usaha, atau proyek kerja sama lintas agama yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat.
Contohnya, program “Pesantrenpreneur” dapat diterapkan untuk mengajarkan keterampilan kewirausahaan kepada santri di pesantren. Selain meningkatkan kesejahteraan, program ini juga dapat memperkuat nilai-nilai moderasi dan kebangsaan melalui aktivitas ekonomi yang inklusif. Di tingkat masyarakat luas, pemerintah dapat mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dikelola oleh komunitas lintas agama sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi berbasis harmoni.
Pergantian tahun 2024 ke 2025 adalah momentum untuk menguatkan langkah menuju harmoni yang kaffah. Refleksi atas peristiwa-peristiwa sepanjang tahun lalu memberikan banyak pelajaran berharga. Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno, “Pancasila adalah jiwa bangsa yang hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan dinamika zaman.” Nilai-nilainya tetap relevan di tengah arus globalisasi yang membawa tantangan baru. Dengan Pancasila sebagai landasan dan moderasi beragama sebagai pendekatan praktis, Indonesia dapat terus menjadi model keberagaman yang harmonis di tengah dunia yang penuh gejolak.