Tantangan Islam Wasathy di Media Sosial

Tantangan Islam Wasathy di Media Sosial

- in Narasi
1417
1
Tantangan Islam Wasathy di Media Sosial

Menghadirkan Islam moderat (Islam wasathy) sebagaimana yang diajarkan dan diteladankan oleh Nabi Muhammad tidak mudah dilakukan di media sosial. Tantangannya berlapis-lapis, mulai dari content, soal teknis-operasional media sosial sampai pada persoalan keharusan mengikuti “hukum” yang berlaku dalam dunia media sosial.

Benar bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berhasil menjadikan Islam wasathy sebagai langgam keberislaman masyarakat muslim pada umumnya di Indonesia. Tengok saja sejumlah tradisi keagamaan yang tetap awet sampai saat ini di kampung-kampung. Bukan saja mengakui kebinekaan tradisi lokal, Islam menyapa masyarakat Indonesia dengan menggunakan bungkus kebudayaan dan tradisi masyarakat lokal.

Islam yang ada di Timur Tengah sana tidak serta merta dicopy-paste di ruangan yang bernama Indonesia. Ia melainkan dikontekstualisasikan yang dalam Bahasa Gus Dur disebut dipribumikan. Hal-hal pokok dalam Islam tetap dipertahankan, sementara unsur-unsur kebudayan Timur Tengah dilucuti untuk kemudian diberi seragam Nusantara. Atas dasar inilah, corak keberislaman masyarakat Indonesia tidak sama persis dengan yang ada di Timur Tengah sana. Inilah yang disebut oleh Nahdlatul Ulama sebagai Islam Nusantara.

Bagi Muhammadiyah, semangat dan nilai-nilai Islam dijadikan pondasi untuk membangun peradaban, sehingga terwujud “islam berkemajuan”. Tafsir terhadap kebudayaan memang berbeda dengan Nahdlatul Ulama, namun Muhammadiyah berhasil membungkus nilai-nilai penting dalam Islam untuk membangun masyarakat Indonesia. Karena itulah, fokus gerakan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berbeda.

Tergopoh-gopoh

Keberhasilan dua organisasi Islam terbesar menanamkan Islam Wasathy di lingkungan masyarakat tidak dapat diduplikasi dalam media sosial. Jika kita menelusuri bagaimana dua ormas ini mewarnai langgam keberislaman di media sosial tampak sempoyongan dan tergopoh-gopoh.

Baca Juga : Generasi Muslim Instan yang Militan

Masyarakat dunia maya yang karakteristiknya “susah ditebak, dan liar” tidak mudah dipulangkan ke rumah besar : Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Coba telusuri website-website keislaman, apakah website yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bertengger di jajaran atas ataukah tenggelam di halaman ke sekian. Begitu juga rujukan-rujukan ustadz masyarakat dunia maya. Yang popular di satu kabupaten belum tentu dapat ditemukan jejak digitalnya di media sosial.

Untung saja, Nahdlatul Ulama dapat bergerak cepat dan cerdas. Sejumlah website yang dikembangkan secara resmi (official) oleh nahdlatul Ulama seperti nuonline (nu.or.id), 164channel, maupun yang dikelola oleh anak-anak muda NU seperti islami.co, alif.id, iqra.id, dan sebagainya semakin hari semakin terus menanjak rangkingnya.

Untung saja ada Nahdlatul Ulama yang memiliki mekanisme sangat baik dalam memproduksi ustadz-ustadz yang tidak hanya memiliki kedalaman ilmu pengetahuan tetapi juga memiliki kemampuan orasi publik yang mumpuni. Tersebutlah misalnya, KH. Said Aqiel Siroj, KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dan sederet kiai-kiai lainnya, yang mampu menusuk ke media sosial. Pendek kata, Indonesia beruntung memiliki Nahdlatul Ulama yang terus berkontribusi terhadap bangsa dan negara.

Alam Rimba Media Sosial

Namun demikian, kebesaran jama’ah NU yang mencapai lebih dari 90 juta itu tidak secara otomatis dapat dikonversi menjadi kekuatan besar di media sosial. Penyebabnya tentu berjibun, beberapa di antaranya adalah:

Pertama, tidak semua kiai dan ustadz-ustadz dari kalangan NU “berkenan” untuk berjibaku di media sosial. Kesibukan mengurus pesantren, ekonomi masyarakat, pelayanan langsung kepada umat menghabiskan energi mereka untuk turun langsung ke alam rimba media sosial. Akibatnya, mereka enggan membentuk tim media, sementara di kutub sebelahnya memiliki tim handal untuk mengelola media.

Kedua, bermain media sosial perlu memahami hukum dan ketentuan media sosial. Jika dakwah offline seorang kiai terbiasa memulai dengan pengantar yang panjang dan bahkan berjam-jam, tentu tidak demikian di media sosial. Retensi penonton di media sosial sangat terbatas. Karena itu, baik dalam bentuk video ataupun tulisan, sebaiknya tidak lebih dari 10 menit.

Ketiga, sebagaimana tipikal Islam Wasathy, tipikal ustadz dan kiainya pun wasathy, moderat. Ceramah dan tulisan pun bersifat wasathy, tidak menyerang, tidak provokatif, tetapi menenangkan. Sementara, di media sosial, nada provokatif dengan diksi yang clickbait lebih mudah berterima ketimbang yang datar-datar saja.

Keempat, durasi retensi jamaah di dunia offline dan online berbeda. Jika dalam offline seorang kiai atau ustadz dapat berceramah selama berjam-jam, maka tidka demikian hukum yang berlaku di media online, karena retensi penonton online ini pendek.

Perlu Keseimbangan

Keempat tantatangan di atas tentunya perlu segera dicarikan jalan keluar agar dakwah Islam wasathy di media sosial mendapatkan porsi yang cukup baik. Muhammadiyah, misalnya, tidak boleh menganggap cukup dengan hanya menggarap pendidikan dan rumah sakit dengan mengabaikan dakwah di media sosial. Jika ini terjadi, lembaga-lembaga pendidikan dan rumah sakit yang dimiliki oleh Muhammadiyah akan diisi oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan Muhammadiyah.

Begitu juga dengan Nahdlatul Ulama. Kemampuan penetrasi ke media sosial perlu semakin dikencangkan agar semakin media sosial kita tidak berisi polusi kebencian dan ideologi yang bertentangan dengan negara. Singkatnya, perlu ada keseimbangan dalam bertarung secara offline maupun online, di dunia nyata dan dunia maya. Ini tentunya merupakan jihad besar. Manfaatnya tentu akan kembali kepada seluruh bangsa Indonesia, yaitu tatanan keberagamaan yang moderat, terbuka, berbasis pada lokalitas (pribumisasi) dan berprespektif kemajuan.

Facebook Comments