Tantangan Kebhinnekaan

Tantangan Kebhinnekaan

- in Narasi
3112
0

Menjaga dan merawat Negara Kesatuan Reublik Indonesia dalam bingkai kebhinnekaan bukanlah perkara mudah bak membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan komitmen dan pemahamaman komprehensif terhadap makna kebhinnekaan sebagai sebuah kekuatan. Itulah modal utama memertahankan harmoni dalam kebhinnekaan sampai saat ini dan untuk waktu panjang yang tidak bisa ditentukan.

Namun, diakui maupun tidak, tantangan kebhinnekaan dalam konteks kekinian sungguh kompleks. Selain ketidak-sesuaian antara harapan dan idealitas, juga banyak tantangan lainnya yang setiap saat, bahkan setiap detik dapat mengancam atas kebhinnekaan yang sudah menjadi sunnatullah ini menjadi malapetaka bagi persatuan dan perdamaian di Indonesia tercinta.

Tantangan yang paling nyata dari dulu hingga saat ini adalak munculnya konflik sosial-budaya; kesukuan, agama maupun antar golongan. Namun, satu hal yang harus dijadikan patokan adalah, bahwa dinamikan konflik sosial yang berbau agama, dan lain sebagainya itu sesungguhnya akibat ketidakbecusan dan sifat kekanak-akanan bangsa Indonesia dalam menghadapi sekaligus menyikapi sebuah anugerah kebaragaman. Artinya, harus ada upaya sistemis dan berkelanjutan untuk merawat dan memanage keragaman dalam bingkai kebhinnekaan.

Secara lebih menukik lagi, Ahmad Fuad Fanani (dalam Sima, 2017:14) membukakan mata kita semua akan tantangan kebhinnekaan itu setidak-tidaknya hadir dari dua arah. Pertama, muncul dari aspek sosio-kultural yang terwujud dalam sikap intoleran antar sesame warga negara. Harus diakui dan dipahami oleh semua bangsa Indonesia dan juga seluruh dunia bahwa secara umum, bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling toleran, jika dibandingkan dengan negara lain sekalipun negara tersebut maju. Taruh saja di China, sebagai minoritas, Muslim di China pada hari raya Idul Fitri tahun ini saja tidak diperkenankan oleh pemerintah setempat menjalankan kewajibannya sebagai Muslim. Itu di China, juga di sebagian besar Eropa.

Namun, di Indonesia, minoritas mendapatkan hak yang sama, termasuk hak atas menjalankan hari kebesaran seluruh agama yang dikaui negara. Pasti pada hari dan tanggal kebesaran agama-agama di Indonesia, pemerintah menetapkan cuti bersama.

Meskipun demikian, dalam praktik lapangan masih ditemukan aksi dan laku intoleran dari oknum orang maupun kelompok tertentu. Ada kelompok yang masih memandang dan memelihara ideology tunggal. Bahwa kebenaran semata-mata hanyalah miliknya. Sehingga terhadap kelompok yang berseberangan dianggap musuh. Menurut kelompok ini, dunia hanya terbagi menjadi dua; Kita dan Mereka. Kita adalah kelompknya (pewaris tunggal surge) dan Mereka adalah kelompok selainnya (pewaris sah penghuni surga).

Kedua, muncul dari aspek struktural. Biasanya hal ini tercermin dari produk undang-undang yang terkesan diskriminatif, khususnya minoritas. Aturan pemerintah yang diskriminatif tersebutlah memunculkan kekecewaan dan berujung pada tindakan intoleran dan lain sejenisnya.

Komponen yang Harus Dikonstruk

Berdasarkan kajian teranyar, tantangan kebhinnekaan tidak serta-merta datang dari dua arah sebagaimana diuraikan sebelumnya. Dari sekian banyak faktor yang telah diunggap, dalam hal ini, penulis hendak membahas dan menekankan satu hal, yakni merawat perbedaan.

Di sisi lain, Iqbal Ahnaf (2011) menjelaskan beberapa komponen yang harus dikostruk dan diimplementasikan oleh kita semua. Pertama, effective channels of communication. Sebuah komunikasi yang efektif adalah faktor sekaligus modal utama mewujudkan perdamaian terutama dalam masyarakat yang plural.

Kedua, effective system of arbritration. Bahwa system peradilan yang baik dan menyayomi serta mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat adalah hal lain yang wajib dipenuhi guna menjamin terciptanya kerukunan dan sejenisnya. Peradilan yang dimaksud bisa berntuk formal maupun informal.

Tegas kata, hokum yang tidak independen dan cenderung tebang pilih sangat mudah menimbulkan laku intoleran. Terkait hal ini banyak contohnya.

Ketiga, critical mass of peace enhancing leadership. Satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah tokoh-tokoh inisitif atau kepemimpinan yang dapat mencegah terjadinya konflik. Tokoh yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya tokoh negara (Presiden-red), melainkan seluruh tokoh, mulai tokoh agama, masyarakat, budaya dan lain-lainnya. Mereka harus mengdekasi umatnya agar bertindak ramah sebagaimana cirri khas nan asli orang Indonesia.

Itulah komponen-komponen yang harus dibangun secara konsiten dan benar-benar menjadi ruh dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa, dan bernegara. Satu pemhaman yang utuh yang menuntut untuk selalu ditanamkan kepada generasi Indonesia sejak dini adalah kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah malapetaka, melainkan keragaman suku, ras, agama, bahas, budaya, dan golongan adalah kekayaan dan keunikan Indonesia yang harus dijaga dan dirawat sepanjang masa, sampai anak cucu kita nanti..

Dengan paradigm dan pemahaman inilah, Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat, karena masyarakatnya harmoni dalam kebhinnekaan. Sika saling meghargai, menghormati, toleran dan saling sinergi dalam semua kebaikan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.

BNPT yang sudah menginjak usia 7 tahun adalah bagian penting dari keharmonisan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Secara konkret, BNPT hadir mengisi kekosongan dan kelengahan masyarakat terhadap isu dan stabiltas seluruh kehidupan masyarakat, khususnya di bidang pencegahan terorisme dan apa-apa yang berkaitan dengan paham radikal itu. Hemat kata, BNPT memberikan spirit untuk menciptakan Indonesia damai dan harmoni.

Facebook Comments