Membangun Indonesia Sebagai Rumah Kedamaian

Membangun Indonesia Sebagai Rumah Kedamaian

- in Narasi
2302
0

Indonesia adalah negara dengan keragaman dalam segala aspek, mulai agama, suku, dan budayanya. Ibarat rumah, Indonesia adalah bangunan besar dengan seribu pintu yang dapat dimasuki dari pintu mana saja tanpa menafikan fungsi pintu lainnya. Siapapun, dari mana asalanya, dan apa agamanya, semuanya hidup bersama dengan tentram, damai, dan saling menghormati dalam satu bingkai kebhinekaan.

Sayangnya, rumah besar bernama Indonesia ini kini sedang dilanda prahara berupa krisis toleransi, terorisme dan radikalisme. Hal tersebut berimplikasi pada hilangnya rasa ketrentaman dan kedamaian bagi penghuni yang ada di dalamnya. Perpecahan yang berujung pada kehancuran bangsa adalah ancaman yang tampak jelas di depan mata dan harus diwaspadai.

Keragaman di Indonesia saat ini adalah fitrah yang tidak bisa dihindari. Keragaman tersebut ibarat dua sisi mata pedang bilamana dikelola dengan baik akan menjadi modal penting membangun Indonesia yang damai. Sebaliknya, keragamaan akan menimbulkan perpecahan dan keruntuhan bangsa ini.

Bung Karno pernah mengatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Apa yang disampaikan Bung Karno kini nyata dan benar adanya. Negara besar yang dikatakan bak ‘tanah surga’ ini sedang tertatih-tatih melawan bangsanya sendiri yang sedang dilanda multi kriris tiada henti.

Cinta Indonesia

Dalam ilmu fikih terdapat kaidah “Ar ridho bissyai’ ridho bima yatawalladu minhu” yang artinya “rela (baca: ridho) terhadap sesuatu berarti rela dengan apa yang timbul dari sesuatu tersebut. Jika kaidah ini ditarik dalam konteks keragaman di Indonesia, maka dapat dipahami jika seseorang memilih hidup di Indonesia, maka ia harus dengan ikhlas dan patuh menerima keragamaan yang ada di Indonesia.

Dalam surat al-Hujurat ayat 13 Allah SWT telah bersabda “Wahai sekalian manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paing mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa keragamaan adalah sesuatu yang sudah digariskan oleh Allah SWT dimana hal ini tidak dapat dihindari. Keragaman ini bukan hanya agar umat manusia dapat saling mengetahui satu sama lainnya, tetapi juga bersikap arif dan bijak sehingga dapat mencapai derajat ketakwaan di sisi Allah SWT.

Dalam konteks Indonesia, untuk merawat keberagaman yang ada di dalamnya haruslah haruslah didasarkan pada rasa cinta dengan saling mengasihi dan menyayangi satu sama lainnya. Dalam term cinta, perbedaan bukanlah sebuah halangan untuk bersatu dalam proses pengikatan diri (engagement) antar pribadi manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Maka, ketika perpecahan dan hilangnya rasa toleransi terjadi di negeri ini, hal ini dapat menjadi salah satu indikator mulai runtuhnya rasa kecintaan masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

Pada 17 Agustus 2017 nanti, kemerdekaan Indonesia telah berusia 72 tahun. Momentum ini menjadi saat yang tepat untuk kembali meruwat sekaligus merawat keberagamaan kita sebagai ‘Indonesia’. Spirit cinta tanah air (hubbul wathon) akan menjadi bekal penting dalam menangkal sekaligus mengobati segala ‘penyakit kebangsaan’ kita saat ini.

Puncak dari hubbul wathon ini adalah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila, sila ketiga, Persatuan Indonesia. Dalam sila ketiga ini mengandung makna bahwa sebagai bangsa Indonesia kita memiliki tanggung jawab untuk mencintai tanah air dengan mengedepankan rasa kesatuan, persatuan, kesalamatan, dan keutuhan bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Rasa cinta tanah air hanya dapat tumbuh pada pribadi manusia yang selesai dengan urusan pribadinya. Cak Nun dalam buku Kitab Ketentraman dari Khazanah Emha Ainun Nadjib menyebutnya sebagai hati yang selesai, yaitu hati yang selesai adalah hati yang atas bantuan akal sanggup menaklukkan keinginan.

Lebih lanjut, seorang Filsuf dari Perancis bernama Gabriel Marcel pernah mengatakan bahwa sebuah kesatuan cinta itu merupakan taraf kesatuan yang melebihi dari sekadar penjumlahan satu ditambah satu. Sebab, dalam “kita”, menurut Marcel, “aku” dan “engkau” diangkat menjadi kesatuan baru yang tidak bisa dipisahkan menjadi dua bagian lagi. Pengikatan diri semacam ini merupakan puncak kedudukan dalam rasa cinta.

“Aku” dan “engkau” berubah menjadi “kita” sebagai “Indonesia”. Keinginanku dan keinginanmu menjadi keinginan kita bersama sebagai Indonesia yang utuh, damai, dan tentra (Baldatun Thayyibatun). Jika hal ini dapat diwujudkan, maka Indonesia akan menjadi rumah kedamaian bagi generasi-generasi pemimpin masa depan.

Facebook Comments