Debat mendekati pemilihan presiden dan wakil presiden bukan hanya terjadi pada para calon, melainkan para pendukungnya. Coba kita amati setelah perdebatan pertama yang dilaksanakan pada hari Kamis 17 Januari 2019, apa yang dilakukan oleh para pendukung termasuk media massa? Para pendukung membuat bahan untuk menyerang lawannya. Pun dengan media massa, untuk memenuhi target bisnisnya, mereka membuat pemberitaan dan grafis agar banyak dibagikan orang, sehingga iklannya semakin tambah.
Perdebatan saat ini mengarah untuk menjatuhkan harkat dan martabat diri seseorang, mencari kesalahan orang lain dan mengunggulkan dirinya sendiri. Kalau kita mengamati perdebatan yang ada di media sosial, misalnya twitter, maka perdebatan tidak lagi berjalan sehat. Trending topic di Twitter tentang pemilu adalah untuk mencari kesalahan dan kekurangan lawan kemudian mengunggulkan calon pemimpin dukungannya.
Perdebatan semacam ini memang wajar dalam pertarungan politik untuk merebut kekuasaan. Demi mendapatkan kekuasaan, para pendukung melakukan hal-hal yang sebenarnya menjauhi dari moralitas yang selama ini dibangun di masyarakat, pun dengan aturan agama. Aturan-aturan yang berkembang di masyarakat menjadi kabur, dan dianggap menjadi hal yang wajar dilakukan oleh para politisi.
Mengajak bukan Mengejek
Saya sendiri menginterpretasikan bahwa kampanye hakikatnya adalah mengajak agar memilih calonnya. Memberikan alasan, bukti dan data yang kuat untuk meyakinkan masyarakat agar memilih junjungannya. Kampanye sama saja dengan berdakwah, yang artinya mengajak. Mengajak untuk memilih calonnya, bukan berarti mengejek lawannya.
Baca juga :Merayakan Perbedaan Pendapat dengan Cara Bermartabat
Debat antar calon presiden memang terkesan lembut kalau dilihat, namun terkadang memang memantik perdebatan yang lebih jauh lagi. Perdebatan yang tidak terkontrol kadang terjadi di media sosial, bahkan ini intensitasnya lebih tinggi. Perdebatan di media sosial tidak terkontrol karena memang tidak berhadapan langsung dan melupakan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Dalam Islam sendiri, walaupun konteksnya dakwah, namun ketika menemukan perdebatan, maka debat yang disarankan adalah dengan debat yang baik dan santun. Tuntunannya memberikan petunjuk yang menggairahkan kepada kebenaran, dengan menyertakan bukti. Perdebatan ini memang sering dilakukan, namun yang sering dilupakan adalah menjatuhkan lawan, bahkan mengejek salah satu lawan.
Perdebatan dengan baik dan mengajak orang dengan menunjukkan bukti yang kuat agar memilih calonnya lebih banyak diterima masyarakat, daripada berdebat dengan mengejek bahkan melakukan kekerasan. Cara ini lebih mendapatkan simpati dari masyarakat daripada melakukan kampanye, berdebat dan mengajak orang dengan memproduksi kebohongan, fitnah, menjatuhkan harkat serta martabat lawan.
Perlu diingat, masyarakat saat ini sudah dewasa dan tidak buta terhadap politik. Mereka bisa berpikir, mana yang menggunakan cara yang dilarang agama, dilarang moralitas yang berlaku di masyarakat, dan mana yang mempunyai cara yang baik. Dengan cara yang santun, masyarakat lebih menerima daripada dengan kekerasan dan kebohongan, masyarakat akan cenderung melawan.
Larangan Berdebat Berkepanjangan
Debat secara definitif diartikan sebagai pembahasan atau pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Debat akan sehat dilakukan apabila kedua belah pihak menggunakan akal sehat, memiliki argumen, tidak cepat marah. Berbeda ketika dalam perdebatan sudah ada kemarahan dalam pikiran salah satu pihak, yang ada justru bukan bertukar pikiran melainkan menghakimi lawan, bahkan menyalahkan lawannya.
Dalam kitabnya yang berjudul “Risalatul Mu’awanah wal Mudhaharah wal muwazarah” (Dar Al-Hawi, 1994, halaman, 147) yang ditulis Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ishom dalam situs Nu Online, menjelaskan larangan debat berkepanjangan. “Jangan sekali-kali melibatkan dirimu dalam perdebatan berkepanjangan, sebab hal itu akan mengorbankan kemarahan, merusak hati, menimbulkan permusuhan, dan membangkitkan kebencian. Apabila seseorang mendebatmu dengan suatu kebenaran, terimalah, sebab kebenaran selalu lebih patut diikuti. Apabila ia terus mendebatmu dengan suatu kebatilan, berpalinglah dan tinggalkan orang itu, sebab ia adalah seorang jahil, sedangkan Allah Swt. telah berfirman, “Berpalinglah dari orang-orang jahil”.
Dari kutipan tersebut jelas bahwa kita harus cerdas dan jangan berlarut-larut dalam perdebatan yang mengarah pada merusak hati, mengobarkan kemarahan. Perdebatan yang mengarah pada hal demikian akan melupakan akal sehat, yang ada akan menuai pertikaian. Dalam momentum politik ini, kita sesekali harus merenung, apakah kita melakukan kebaikan atau justru membawa keburukan dalam menggunakan media sosial, dan mendukung salah satu calon. Kita harus cerdas bermedia, jangan sampai membawa ladang dosa dan membawa keburukan tiada henti.