Tegakkan Perdamaian dengan Dialog Tanpa Kebencian

Tegakkan Perdamaian dengan Dialog Tanpa Kebencian

- in Narasi
1632
0
Tegakkan Perdamaian dengan Dialog Tanpa Kebencian

Mengejutkan. Begitulah kira-kira ketika menyimak laporan Polri terkait ujaran kebencian yang ditanganinya pada tahun 2017 lalu. Betapa tidak. Selama tahun 2017, Polri sudah menangani 3.325 kasus ujaran kebencian. Angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 1.829 kasus (detiknews/29/12/2017).

Tahun 2018 dan 2019 jumlah tersebut sangat mungkin mengalami kenaikan. Penyebab utamanya adalah, tahun ini dan tahun depan merupakan tahun politik. Sebagaimana yang sudah-sudah, aspek politik selalu menawarkan drama “yang melelahkan”. Sebab, di situ ada banyak dinamika dan konflik interest.

Tahun politik juga ditandai dengan ketatnya persaingan merebutkan kasta tertinggi di republik ini. Dalam arena semacam ini, ucapan kebencian (hate speech) yang mengarah pada perseorangan maupun lawan politik adalah sesuatu yang sulit dihindari. Terlebih kecenderungan masyarakat Indonesia, yang belum begitu dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga bukan gagasan yang “dipertarungkan”, melainkan kejelekan lawan yang diungkap; nyinyir, menghasut, kriminalisasi, dan lain sejenisnya.

Harus dipahami bersama bahwa lingkungan sosial (baik online maupun offline) yang disesaki oleh narasi kebencian, hasutan, fitnah, dan provokasi, akan mudah menyulut konflik yang mengarah pada kekerasan. Dan dari sinilah, benih radikalisme dan terorisme akan tumbuh. Tentu kita tidak menghendaki Indinesia dalam keadaan chaos karena konflik terus berkecamuk.

Karena itulah, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) membuat kampanye dan gerakan bersama untuk bangsa ini, yakni “Hari Bebas Kebencian (Hate-Free Day). Gerakan ini dimaksudkan untuk mengajak sekaligus mengedukasi masyarakat luas agar berhenti menebarkan kebencian terhadap sesama anak negeri. Membebaskan bangsa ini dari ujaran kebencian adalah tujuan utama gerakan ini.

Untuk itu, mari kita awali dari diri kita sendiri. Jika diri sendiri sudah bisa, maka ajak keluarga. Jika keluarga sudah bisa diajak kampanye menebar benih damai, maka tantangan selanjutnya adalah mengajak lingkungan sekitar kita. Dengan begitu, hidup ini akan indah.

Mari Berdialog

Harus diakui pula bahwa mengajak masyarakat untuk berbuat baik (tidak mengumbar kebencian terhadap lawan politik) sangatlah sulit—jika tidak ingin dikatakan tidak bisa diajak baik. Terhadap kelompok inilah, kita harus ajak berdialog sebagai upaya serius agar dia paham akan pentingnya hidup damai tanpa ada permusuhan diantara saudara sebangsa.

Dalam kaitannya dengan ini, penulis teringat apa yang pernah dikatakan oleh Alm. KH. Hasyim Muzadi. Menurutnya, tidak banyak pilihan bagi rakyat Indonesia untuk menciptakan perdamaian abadi di muka bumi ini selain dengan cara membangun dialog antaragama, penganut kepercayaan, dan semua rakyat Indonesia. Dengan pemahaman lebih jelasnya, dialog merupakan jalan yang paling cocok dan efisien untuk menciptakan kondisi harmonis; karena akan saling mengerti dan memahami segala perbedaan yang ada.

Tentu dialog di sini tidak sama dengan debat yang asal “ceplas-ceplos”, sebagaimana realitas di media sosial. Dialog atau komentar di lama media sosial lebih mengarah pada debat kusir, yang lebih cenderung mengedepankan ego masing-masing. Tak ayal, dialog semacam itu justru malah memperkerus suasana sehingga menimbulkan kata-kata kasar.

Dialog yang dikehendaki di sini adalah berbicara secara baik-baik; penuh dengan etika dan sopan santun. Dan yang hendak dicapai dalam dialog bukanlah siapa yang paling benar pendapatnya. Sekali lagi bukan itu. Yang hendak dicapai dalam dialog di sini adalah mencari persamaan antara kedua belah pihak. Jika tidak ada, bukan berarti salah dan dimusuhi. Namun sikap yang harus diterapkan adalah rasa saling menghormati dan mengerti.

Jadi, dengan adanya dialog tanpa kebencian ini, pihak yang awalnya bertentangan pendapat dan ada yang sudah sampai tingkatan bersitegang, dapat saling mengerti bahwa perbedaan; entah pandangan politik dan lainnya, merupakan hal yang sudah biasa. Oleh sebab itu, berbeda bukan berarti bukan saudara. Tapi, sebagaimana semboyan rakyat Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika (Meskipun berbeda-beda—RAS, Suku, Agama, dll—tetapi tetap satu tujuan.

Terlebih dalam konteks demokrasi, pluralisme adalah sebuah keniscayaan yang harus dihormati, dan keharmonisan linatas budaya, agama, dan lainnya adalah kemutlakan yang harus ada. Semua itu bisa diupayakan. Dengan catatan, seluruh elemen masyarakat Indonesia bersatu padu dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Jika seluruh masyarakat Indonesia sudah mengetahui dan paham betul akan falsafah bangsa ini, maka kebencian tidak laku di negeri ini. Yang ada hanya narasi damai dan menyejukkan. Karena perdamaian adalah kunci hidup sejahtera, aman dan nyaman.

Akhir kata, penulis sungguh menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia agar tidak terjebak pada ego sektoral jangka pendek. Ujaran kebencian hanyalah luapan sementara. Jika tidak dihentikan, maka akan berakibat fatal. Tidak hanya kita saja yang akan nemanggung dampak buruknya, melainkan juga anak cucu kita nanti.

Facebook Comments