Penguatan Literasi Hate Free Day dalam Pembelajaran Sekolah

Penguatan Literasi Hate Free Day dalam Pembelajaran Sekolah

- in Narasi
1626
0
Penguatan Literasi Hate Free Day dalam Pembelajaran Sekolah

Pembelajaran berbasis e-learning di bangku SD-SMA harus menguatkan karakter cinta damai sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Dari 17 karakter itu, selain cinta damai, pembelajaran harus berorientasi pada kompetensi semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.

Konsumsi konten ramah harus dimasukkan dalam pembelajaran berbasis e-learning. Modelnya, anak-anak menggunakan gadget (gawai) di kelas yang tak sekadar belajar materi sekolah saja. Namun menjadi wahana menguatkan hate free day (hari bebas kebencian).

Penguatan ini jangka panjangnya memberantas benih radikalisme di sekolah. Jangka pendeknya, anak-anak dan pelajar bisa bebas dari hate speech (ujaran kebencian) yang kini merajalela.

Guru, dosen, dan peneliti media pembelajaran sangat berperan membumikan dan menguatkan hate free day. Tak hanya berbentuk pembiasaan, namun harus terkonsep rapi melalui pembelajaran. Konsep penguatan ini selaras dengan tujuan pemerintah membumikan literasi abad 21 sebagai solusi menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0 ini.

Penguatan Berbasis MLM

Apa yang dilakukan guru di kelas tak sekadar konseptual, namun sudah tataran teknis dalam pembelajaran. Saat menulis dan meneliti tesis, ada temuan pembelajaran konvensial seperti metode ceramah memang sudah tak layak. Di jenjang SD, anak-anak hampir 85 persen cenderung kaku, monoton, dan bosan di dalam kelas jika metodenya kuno. Salah satu solusinya mengembangkan pembelajaran berbasis mobile learning media (MLM) sesuai prinsip literasi abad 21.

MLM sangat cocok dijadikan media dan pola pembelajaran untuk menguatkan hate free day. Teknisnya, guru bisa membuat aplikasi sederhana melalui power point atau pdf, yang didesain dengan aplikasi atau flash. Di dalamnya, diberi konten/materi pokok pelajaran sesuai rencana pembelajaran. Lalu lagu-lagu daerah, video ramah berbasis kearifan lokal, dan cakupan media online serta medsos. Kemudian dihubungkan literasi hate free day dan bahayanya bagi anak-anak.

Penguatan ini bisa dalam beberapa cakupan sesuai materi pelajaran dan relevansi materi bermuatan hate free day. Pertama, tujuan materi literasi media, anak-anak bisa mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar melek media, sumber berita, informasi, dan berita ramah, radikal dan hate speech. Dalam MLM khusus kolom ini, bisa diterapkan dengan menyambungkan gadget anak-anak untuk melihat langsung berita hate speech, hoax dan berita kredibel.

Kedua, lagu-lagu dan video kearifan lokal bisa menguatkan kompetensi nasionalisme/semangat kebangsaan, peduli lingkungan, peduli sosial, bertanggung jawab, sampai pada ketercapaian sikap bela negara. Jika ini sudah tertanam di bangku sekolah, anak-anak pasti berjiwa nasionalis, setia NKRI, pancasilais, dan menghargai perbedaan.

Ketiga, dalam MLM menyajikan karya anak berisi tulisan-tulisan puisi, cerpen, yang bisa meningkatkan perasaan halus dan damai. Penulisan ini bisa saat pembelajaran berlangsung atau saat di rumah. Tujuannya agar mereka memiliki spirit cinta damai tanpa radikalisme.

Memutus Akarnya

Pemutusan akar-akar radikal bisa dilakukan pembelajaran sekolah. Dalam pembelajaran, ada tiga komponen harus diperhatikan. Pertama, materi sekolah harus memutus akar radikalisme. Di SD, contohnya, materi tematik seperti Matematika, Bahasa Indonesia, PKn, harus dikuatkan untuk memutus akar radikalisme.

Kedua, metode, strategi, pendekatan dan model pembelajaran harus menguatkan karakter-karakter sesuai PPK di atas untuk membangun generasi nasionalis. Ketiga, media pembelajaran berbasis MLM sudah sesuai kompetensi literasi abad 21. Anak-anak bisa menikmati gadget di sekolah dengan pembelajaran berbasis e-learning menyenangkan, aktif, dan membuat anak melek literasi media.

Keempat, guru harus menjadi pioner pemutus hate speech lewat peran dan fungsinya dalam pembelajaran. Semua itu dilakukan dengan menggerakkan hate speech day menjadi iklim pembelajaran. Lewat kelas literasi berorientasi memberantas hate speech inilah menjadi langkah strategis membagun generasi santun, cinta damai dan antiradikalisme.

Guru harus aktif berkoordinasi dengan orang tua lewat mengirimkan foto/video semua aktivitas anak-anaknya di sekolah. Pola ini harus dilakukan guru agar orang tua bisa mengontrol anak-anaknya meski jarak jauh.

Tanpa model seperti ini, guru susah memutus akar radikalisme. Sebab, anak-anak memang tak bisa disuruh meninggalkan gadget. Namun, guru harus cerdas dengan memanfaatkan gadget dalam sekolah berbasis e-learning berorientasi hate speech day. Jika terlaksana, pembangunan generasi berkarakter cinta damai akan tercapai dan secara otomatis memutus akar radikalisme di sekolah.

Facebook Comments