Balita tidak berdosa berusia 2,5 tahun, bernama Intan Olivia Marbun meninggal dunia sebagai salah satu dari 5 korban aksi biadab pelemparan bom molotov di depan Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Pelaku yang mengenakan kaos bertuliskan “jihad, way of life” seolah-olah ingin menampilkan aksinya sebagai bagian jihad yang ia salahpami. Kejadian ini tidak hanya melukai korban, tetapi juga melukai umat Islam dan masyarakat Indonesia.
Saya ingin meninggalkan analisa yang berat semisal teori konspirasi bahwa aksi ini adalah setting aparat, operasi intelijen, pengalihan isu atau fitnah terhadap umat Islam. Hanya akal jernih yang bisa memahami betapa rusaknya pemahaman pelaku ketika memahami aksi kekerasan dengan dalih agama. Ajaran agama yang mana yang mengabsahkan kekerasan dan kekejaman terhadap anak kecil, rumah ibadah dan mereka yang tidak berdosa?
Dalam keterangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Tito Karnavian, pelaku bom merupakan pelaku lama yang diduga terlibat dalam kasus bom di Serpong dan bom buku. Pelaku adalah mantan narapidana kasus teroris bom Puspitek Tangerang dan bom buku di Jakarta Setelah yang saat ini bergabung dengan JAT (Jamaah Anshorut Tauhid). Kepolisian menghimbau seluruh masyarakat Indonesia tetap tenang dan tidak mudah terhasut.
Terorisme adalah instrument untuk meraih tujuan politik yang lebih besar. Sebagai sebuah panggung aksi kekerasan terorisme merupakan bentuk simbolik dari pesan yang ingin disampaikan. Kengerian, ketakutan, dan kepanikan missal adalah impian pelaku untuk mengacaukan suasana. Di tengahnya baru pulihnya rasa curiga berdimensi agama baru-baru ini, aksi terorisme yang mengambil lokasi di rumah ibadat seakan menggiring masyarakat untuk saling menaruh curiga.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara melalui Wakil Ketua MUI, Zainut Tauhid yang menengarai aksi pelemparan bom molotov ini sebagai bentuk teror yang menginginkan terjadinya kekacauan, distabilitas nasional dan disintegrasi bangsa Indonesia. Kelompok ini ingin menciptakan kondisi bahwa negara Indonesia tidak aman, mencekam dan menakutkan. Lebih tegas, MUI mengutuk aksi tersebut sebagai tindakan yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila. Tindakan tersebut dapat mengusik kerukunan hidup umat beragama dan mengancam kebhinnekaan dalam NKRI.
Dalam situasi seperti ini bangsa Indonesia tidak boleh terpancing untuk saling menuduh dan menuding atas nama agama. Terorisme tidak mengenal agama dan tidak pernah dibenarkan oleh agama manapun. Terorisme adalah musuh agama, musuh negara dan musuh seluruh masyarakat.
Walaupun kelompok teror ini selalu membawa agama sebagai pembenaran, sejatinya tidak ada kaitan antara terorisme dengan salah satu agama. Inilah salah satu contoh nyata bagaimana kelompok teroris adalah kelompok yang paling melecehkan ajaran agama. Mereka melecehkan makna jihad yang mulia dengan makna kekerasan terhadap mereka yang tidak bersalah, bahkan anak kecil pun menjadi korbannya.
Sebagai umat Islam, tindakan kekerasan yang memakai ajaran jihad sebagai pembenaran patut dikutuk. Teror di Samarinda adalah tindakan yang dilandasi dendam, ideologi kekerasan, kedangkalan pemahaman agama dan halusinasi meraih bidadari. Tidak ada bidadari bagi mereka yang melukai bidadari kecil di tempat ibadah. Perbuatan ini sungguh sangat melecehkan ajaran agama.
Semoga segenap masyarakat Indonesia tetap tenang dan tidak mudah terprovokasi hasutan dan ajakan melakukan tindakan yang melanggar hukum. Semoga umat beragama tetap dalam koridor kerukunan dan harmoni kebangsaan.