Tiktoker Fikri Murtadha resmi ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama atas konten Tik Tok-nya yang dianggap melecehkan agama Kristen. Dalam unggahannya itu, Fikri menyinggung soal kepercayaan umat Kristen Protestan dan Katolik dengan sejumlah kata-kata yang melecehkan dan merendahkan kepercayaan yang dianut oleh dua pemeluk agama tersebut.
“Karena Tuhan yang kalian sembah itu, yang digantung, bagi umat Katolik dia digantung, kalau Protestan dia tidak digantung. Bagi kalian yang masih menyembah itu, tolong pulang nanti setelah kalian tobat. Tolong pulangkan nanti tiang itu nanti ke PLN. Biar ada untuk gantung travo sama kabel. Berubah lah gereja kalian itu jadi masjid,” kata Fikri pada videonya itu.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap oleh pihak kepolisian pada Sabtu (22/10/2023), TikToker Fikri sebenarnya telah melakukan klarifikasi atas kontennya yang kontroversial dan dianggap melecehkan agama Kristen Protestan/Katolik tersebut. Dalam klarifikasinya, Fikri mengatakan bahwa apa yang dikatakannya awalnya hanyalah candaan. Namun, akhirnya ia menyadari bahwa yang ia katakan ternyata berlebihan.
“Itu sebenarnya cuma jokes gitu aja, tapi berlebihan dan tidak tahu batasan. Dan saya telah melanggar hukum, norma, dan taat beragama. Saya minta maaf. Saya tidak ada maksud untuk menyerang pihak sebelah. Saya juga memiliki kawan nonmuslim banyak. Namun banyak kawan saya itu bakal kecewa dan saya terima itu karena saya salah,” kata Fikri dalam klarifikasinya.
Jangan Hanya Asal Viral, Utamakan Etika dalam Bermedia Sosial
Di era media sosial, godaan untuk viral memang sering kali tak terbendung. Sering kali, demi viralitas, seorang menjadi kehilangan akal warasnya sehingga tak segan-segan membuat konten-konten di luar nalar. Seperti menghina dan melecehkan harkat dan martabat orang lain.
Akibatnya, konten-konten sampah yang tidak mendidik berseliweran di media sosial kita. Dan, akibatnya juga, tak sedikit para pembuatnya yang diamankan pihak kepolisian karena konten-konten yang diunggahnya merugikan pihak lain. Persis seperti yang terjadi pada Tiktoker Fikri.
Karena itu, dari kasus Tiktoker Fikri itu kita harus menyadari bahwa viralitas bukanlah tujuan akhir yang seharusnya dicari dalam bermedia sosial. Mengejar viralitas tentu tidak menjadi masalah asalkan masih dalam batas kepantasan. Tidak merugikan orang lain dan tidak pula melanggar etika.
Etika dalam bermedia sosial mencakup berbagai aspek, mulai dari isi konten hingga bagaimana kita menyebarkan konten. Misal, seperti menghormati kepercayaan orang lain, tidak mengadu domba dan tidak pula menjelek-jelekkan orang lain dengan kata-kata dan sebutan yang tidak pantas.
Terlebih yang berkaitan dengan kepercayaan atau keyakinan orang lain. Kepercayaan atau keyakinan adalah hal yang paling sublim dalam diri manusia. Seseorang mungkin masih bisa menerima ketika dirinya yang dihina dan dilecehkan. Namun, dalam banyak kasus, seseorang tidak bisa tinggal diam bila keyakinan dan kepercayaan teologis yang dianutnya dihina dan dilecehkan.
Bahkan, seperti yang sudah kita ketahui, pelecehan dan penistaan terhadap sebuah keyakinan bukan hanya menciptakan konflik antar-individu, tetapi juga berpotensi menciptakan kegaduhan besar yang melibatkan banyak pihak. Bahkan, beberapa di antaranya sampai terjadi konflik berdarah.
Tentu kita tidak ingin semua itu terjadi. Oleh karenanya, mari utamakan etika dalam bermedia sosial. Jangan hanya karena viralitas, lalu kemudian kita membuat konten-konten merugikan orang lain dan berpotensi menimbulkan konflik sektarianisme yang berbahaya bagi kerukunan bangsa dan negara. Buatlah konten-konten kreatif sebanyak mungkin yang kita bisa.
Dengan catatan, tidak melecehkan dan merugikan pihak lain dan serta tidak bermuatan isu SARA. Dengan begitu, maka konten-konten yang kita buat akan jauh dari kesan negatif dan serta tidak akan menimbulkan kegaduhan.