Titik Temu Agama dan Budaya dalam Konstruksi NKRI

Titik Temu Agama dan Budaya dalam Konstruksi NKRI

- in Narasi
1632
0
Titik Temu Agama dan Budaya dalam Konstruksi NKRI

Puisi Sukmawati Soekarnoputri berjudul “Ibu Indonesia” yang dibacakan dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 di Jakarta, 29 Maret 2018, memang cukup mendapatkan perhatian publik. Pasalnya, puisi yang menyebut kata “syariat Islam”, “cadar”, dan “adzan” yang dibandingkan dengan “konde”, “kidung Indonesia” dinilai oleh beberapa kalangan telah menistakan agama. Oleh karena puisi yang membandingkan agama dan budaya ini, muncul kembali anggapan bahwa agama dan budaya adalah saling bertentangan.

Perlu dipahami, apa yang melekat pada setiap warga negara Indonesia adalah campuran antara budaya daerah, Indonesia, dan agama yang dipeluknya. Oleh karena itu, sangat tidak pantas apabila kita memperhadapkan vis a vis antara tradisi lokal, semangat keindonesiaan, dan agama termasuk di dalamnya agama Islam.

Setiap ajaran agama selalu memerlukan rumah dan teritorial negara sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang. Memperdebatkan agama dan budaya lokal Indonesia adalah yang hal berbeda dan sama sekali tidak berguna. Pun, kalau kita membayangkan dunia hanya diisi dan dikuasai oleh satu bahasa, etnis, budaya, dan agama adalah mustahil. Selain itu, suatu wilayah juga akan menjadi tidak menarik dihuni.

Pada dasarnya, keterikatan setiap warga negara pada budaya lokal dan cita-cita keindonesiaan perlu dipertemukan dengan komitmen keagamaan dalam rumah epistemologis-ideologis yang bernama Pancasila. Jika sila ketuhanan diposisikan sebagai sentral, yang dimaksudkan adalah kebertuhanan kita harus menumbuhkan komitmen kemanusiaan yang bermuara kepada kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Kalaupun sila kemanusiaan yang menjadi pijakan sentral, yang diharapkan adalah perilaku kemanusiaan yang berketuhanan dan yang peduli kepada agenda keadilan dan kesejahteraan bangsa, bukan sebaliknya.

Kita mengaku berfalsafah Pancasila, tetapi suka berseteru membanding-bandingkan perbedaan yang ada dalam diri sesama warga negara. Seolah-olah kita ini berbeda dan tidak bersatu. Padahal, jelas bahwa sejak awal, para Founding Fathers NKRI telah menyepakati bahwa komitmen kebudayaan, keagamaan, dan NKRI adalah hal yang harus dipegang oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Tidak peduli berasal dari suku bangsa, agama, atau etnis apa pun, selama ia adalah warga negara Indonesia, maka jangan sampai mempertentangkan perbedaan yang kita miliki. Justru kita harus menyatukan perbedaan itu dalam upaya membangun Indonesia.

Universalitas dan Lokalitas

Terlepas dari apa pun bahasa, agama, etnis, dan budaya seseorang, terdapat nilai-nilai universal yang sama-sama ingin dijaga dan ditegakkan. Misalnya, konsep dan keinginan untuk menegakkan keadilan, kejujuran, perdamaian, dan hidup saling hormat-menghormati. Kumarudin Hidayat (2015) pernah mengatakan bahwa setiap pribadi ingin meraih well being, hidup yang baik, benar, dan bahagia. Untuk meraih itu, salah satu syarat mutlak yang mesti dipenuhi adalah mampu membangun a good relationship, hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya dan yang memiliki kepentingan dengannya. Hal ini meniscayakan sikap untuk selalu menghormati perbedaan, menerima perbedaan, dan merayakan perbedaan itu. Jadi, menghargai keragaman merupakan keniscayaan jika ingin hidup damai (Hidayat, 2015).

Haya saja, perlu diketahui bahwa sepanjang sejarah umat manusia selalu saja terjadi konflik, peperangan, kejahatan, dan semua itu kenyataan tidak terhindarkan. Ini karena manusia terlahir dengan membawa nafsu dan kecenderungan egoistik serta tega memangsa yang lain. Namun siapa pun kita, apa pun agama dan budaya kita, rasanya nalar sehat sepakat mengatakan bahwa kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kedamaian, serta keadilan merupakan realitas yang diidealkan dan selalu didambakan sepanjang sejarah.

Semua itu sejalan dengan pesan agama yang menghendaki adanya kedamaian. Karenanya, peperangan dan kejahatan dianggap melawan ajaran dasar agama dan peradaban. Mengingat semua agama diyakini datang dari Tuhan pencipta manusia, nilai-nilai dasar agama memiliki perhatian kepada agenda kemanusiaan universal, sekalipun agama lahir dan terbentuk dalam jubah budaya dan bahasa yang bersifat lokal. Oleh karena itu, pesan universalitas agama terwadahi dalam format lokalitas bahasa dan budaya (Hidayat, 2015).

Ketika jumlah penduduk yang mendiami bumi menjadi kian banyak, jumlah penduduk tidak sebanding di saat agama-agama itu lahir. Perjumpaan lintas pemeluk agama pun berlangsung secara intens dan masif. Saat itulah nilai-nilai universal agama sering sekali tertutupi dengan bungkus lokal kedaerahan. Bungkus yang semula merupakan budaya lokal yang bersifat profan lalu disakralkan. Membela budaya seakan identik dengan membela agama. Misalnya, dalam tradisi umat Islam Indonesia, Arabisme dan Islamisme seolah satu-kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Padahal berbeda sama sekali. Arab juga adalah teritori yang tak luput dari budaya.

Melihat itu, mari kuatkan komitmen kita kepada Pancasila sebagai titik temu budaya lokal Indonesia dengan agama yang kita peluk masing-masing. Ini demi menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. Kita jadikan agama dan budaya sebagai pondasi kokoh NKRI. Soekarno sebagai founding fathers NKRI juga pernah mengingatkan, “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini”. Jadi, jangan sekali-kali mempertentangkan agama dan budaya dalam konstruksi NKRI. Wallahua’lam bish-shawaab.

Facebook Comments