Toleransi Ala Nabi dan Para Pewaris

Toleransi Ala Nabi dan Para Pewaris

- in Narasi
1323
0

Salah satu dari dua persoalan besar bangsa adalah semakin merebaknya virus intoleransi di dalam negeri. Di dalam agama Islam, terdapat kelompok radikalis yang acap kali berbuat onar terhadap kelompok lain. Bukan hanya harta benda yang mereka recoki, bahkan menumpahkan darah pun dianggap halal. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan ajaran kasih sayang yang ada di dalam setiap agama, termasuk Islam. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Sayangilah manusia sebagaimana engkau menyayangi terhadap dirimu sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Barang siapa tidak mengasihi, maka ia tidak dikasihi.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Tidak hanya itu, di dalam Alqur’an, Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Q.S. Maryam [19] : 96). “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Q.S. al-Rahmân [55]:60). Selain merujuk pada dasar agama (baca: Alqur’an dan hadits), ajaran hablu minannas juga dipetik dari sirah (kisah) Nabi Muhammad SAW, sahabat, hingga para pendakwah di setiap daerah.

Pasca Khadijah dan Abu Thalib wafat, kehidupan umat Islam mendapat tekanan dari kaum Quraisy. Nabi Muhammad Saw dan para sahabat berkunjung ke Tsaqif (Thaif), menemui tiga bangsawan sekaligus pemimpin suku, yakni Abdu Yalel bin Umar, Khubaib bin Umar, dan Mas’ud bin Umar. Kepada ketiganya, Nabi Muhammad Saw meminta perlindungan atas kaumnya dari gangguan suku Quraisy di Makkah. Hanya saja, pemimpin suku Tsaqif menolak, bahkan mengusir dengan melempar batu hingga darah segar mengalir dari kakinya.

Melihat peristiwa yang menimpa Nabi Muhammad Saw, malaikat Jibril memohon izin agar diperkenankan untuk menghancurkan kaum Tsaqif. Nabi Muhammad Saw pun menjawab dengan perkataan, “Jangan! Jangan! Aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.” Bahkan, beliau berdoa, “Ya Allah, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR Baihaqi).

Setelah itu, Nabi Muhammad Saw berhijrah (pindah) ke Madinah. Di kota ini, beliau mendapat sambutan dari warga setempat dengan penuh suka-cita. Bahkan, ia diangkat menjadi pemimpin. Selama memimpin, ia selalu menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

Ketika varietas penduduk kian meningkat, Nabi Muhammad Saw membuat perjanjian di antara suku-suku yang ada di sana guna menghasilkan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia, Piagam Madinah (The Charter of Madinah). Salah satu pasal yang terdapat di dalam piagam ini berbunyi, “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang.”

Setelah 8 tahun di Madinah, Nabi Muhammad Saw pun berhasil menaklukkan kota Makkah (Fathu Makkah). Kenyataan ini membuat Abu Sufyan sebagai pemimpin kaum Quraisy dan pengikutnya merasakan khawatir dan takut yang luar biasa. Mereka berpikir bahwa Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya akan melakukan balas dendam terhadap tindak semena-mena yang telah mereka lakukan. Ketakutan ini mereda ketika Nabi Muhammad Saw berseru, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, ia akan aman. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, ia akan aman. Dan, barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, ia akan aman.”

Sikap toleran juga dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Pada Februari 638, Umar dan kaum muslimin mengambil alih kekuasaan Jerussalem dari penguasa Byzantium. Atas peristiwa ini, penguasa Jerussalem, Patriarch Sophronius, menyerahkan “kunci kota” kepada Umar.

Ketika menginspeksi gereja tua Holy Sepulchre, Patriach Sophronius menawarkan gereja untuk shalat kepada Umar. Umar pun menolak dan berkata, “Jika saya shalat di dalam gereja ini, orang Islam sesudah saya akan menganggap bahwa ini milik mereka, hanya karena saya pernah shalat di sini.” Setelah itu, Umar melemparkan batu ke luar Gereja Holy Sepulchre, dan ia memilih shalat di sana. Tempat shalat ini nantinya (tahun 1193) dibangun tempat ibadah oleh Shalahuddin al-Ayyubi dengan sebutan masjid Umar. Bangunan masjid ini terletak di depan gereja Holy Sepulchre.

Umar juga menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil alih sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Bahkan, Umar juga membuat piagam perdamaian bernama Al-‘Had Al-Umariyyah yang mirip dengan Piagam Madinah-nya Nabi Muhammad Saw.

Sebagai ganti perlindungan, pengikut Sophroius juga menyatakan jaminan. Di dalam pernyataan tersebut, Sophronius mengusulkan bahwa orang Yahudi dilarang masuk Jerussalem. Namun, Umar meminta agar usulan tersebut dihapus dan disetujui oleh Sophronius. Bahkan, Umar juga mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalem dan mendirikan Synagogue. Umar juga mengajak Sophronius untuk gotong-royong membersihkan Synagog yang penuh dengan sampah.

Di Nusantara, Wali Songo merupakan tokoh penyebar agama Islam yang jasa-jasanya tak dapat diabaikan. Keberhasilan dakwah mereka juga berdasarkan nilai toleransi yang tinggi. Meskipun seluruh wali berasal dari Arab, kecuali Sunan Kalijaga, namun mereka menghormati tradisi setempat. Bahkan, akulturasi budaya menjadi salah satu metode dakwah yang dianggap berhasil.

Kisah-kisah para pendahulu yang menjunjung tinggi nilai toleransi semacam ini akan menjadikan para penerus juang akan tergerak hati untuk menirunya. Maka, meski tetap pada pendirian pada lakum diinukum waliyadin (untukmu agamamu dan untukku agamaku), fa insyallah nilai-nilai toleransi dalam ber-muamalah (hubungan sosial) akan semakin terjaga. Dengan begitu, keharmonisan di dalam perbedaan segera akan menghampiri kita. Wallahu a’lam.

Facebook Comments