Budi ayu manggih rahayu
Dur angkara manggih sangsara
–Serat Kridhagrahita.
Pada akhir bulan Ramadhan, menjelang lebaran, lazimnya orang-orang akan berbondong-bondong membeli pakaian baru. Kegiatan dan kebiasaan ini, di kalangan masyarakat Jawa, karib disebut dengan istilah “nyandhang.” Berbeda dengan istilah “shopping” pada masyarakat kontemporer, pada dasarnya nyandhang sama sekali tak berkaitan dengan konsumerisme dan konsumtivisme.
Pada dua gejala masyarakat kontemporer itu, konsumerisme dan konsumtivisme, hasrat seolah memang menjadi motor dari keberadaannya. Namun pada kebiasaan nyandhangmenjelang lebaran terdapat perkembangan penafsiran atas bulan Ramadan, yang identik dengan masa penggemblengan diri, dan Idul Fitri, yang identik dengan harapan pada diri yang baru seusai sebulan penuh ditata ataupun dibentuk lewat mekanisme agama yang sudah berbalut budaya.
Maka lumrah ketika menjelang lebaran, khususnya pada masyarakat pedesaan Jawa, tak sekedar diri, seumpamanya dengan mencukur rambut, namun juga rumah dan lingkungan sekitarnya yang mendapatkan “pembaruan.” Tak hanya karena alasan bahwa lebaran adalah sebuah peristiwa yang sejenak menjeda rutinitas kehidupan dimana berbondong-bondong orang akan saling bertemu, bertukar kabar dan bermaaf-maafan, yang menuntut elok dan nyamannya suasana.
Namun, mulai dari mencukur rambut, memperbaiki plafon ruang tamu, dan mengecet pagar-pagar rumah, semua ini adalah seperti halnya nyandhang yang menandai bahwa orang telah dilahirkan kembali. Karena tak bersifat orang per orang, dan karena konon puasa dibebankan pada orang-orang yang beriman, maka rumah dan lingkungan pun diidealkan untuk juga baru. Adakah ini semua adalah sebuah kearifan bahwa ketika batin manusia sudah tergarap, maka akan dengan sendirinya tergarap pula lahiriahnya?
Al-Ghazali tampaknya seiring dengan kearifan ini. Dalam Ihya’, khususnya pada bab ‘Ajaibul Qulub, sufi yang wafat pada 1111 M ini memang pernah memperumpamakan bahwa kalbu adalah yang memegang pusat komando dari tubuh dan anggota-anggotanya. Namun, kearifan di balik tradisi nyandhang menjelang lebaran, seperti mencukur rambut seumpamanya, memperbaiki rumah dan lingkungan sekitarnya, seolah melangkah lebih jauh lagi dari perumpamaan al-Ghazali. Di sini ternyata kalbu manusia sebagai representasi jagat cilik (mikrokosmos) akan mencerminkan jagat gedhe (makrokosmos) dan sebaliknya.
Dengan demikian, sebagaimana lakon wayang Semar Mbangun Kayangan, untuk memperbaiki keadaan rupanya tak perlu muluk-muluk untuk mengobarkan revolusi sosial, misalnya. Namun dalam hal ini terdapat pengandaian bahwa ketika masing-masing diri manusia sudah tertata, maka akan tertata pula dunia yang mengitarinya. Bukankah konon ketika batin seseorang tengah gembira, maka dunia yang busuk sekali pun akan terasa elok? Inilah yang dalam pepatah disebut sebagai “Memayu hayuning bawana.”
Memang, pengandaian seperti itu terkesan menyederhanakan masalah. Apalagi di tangan orang-orang yang radikal. Namun pada dasarnya bukanlah hal ini yang menarik perhatian saya. Kearifan di balik tradisi nyandhang ternyata berkaitan pula dengan apa yang kini dikenal sebagai moderasi beragama.
Telah lama sebenarnya analogi sandhangan, yang kerap disebut pula sebagai ageman, dipakai dalam kesusastraan dan sufisme di Jawa. Pada Serat Wedhatama orang belajar tentang agama yang dimaknai pula sebagai sandhanganatau ageman.
Mingkar-mingkuring angkara
Akarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap neng tanah Jawa
Agama ageming aji
Dalam se-pupuh sinom itu, Mangkunagara IVberupaya memayu hayuning bawana dengan menyisihkan hal-hal yang dipandang negatif (angkara), dimana dalam konteks sosial-politik Serat Wedhatama mengacu pada para pengikut “Sayid” yang disebutnya sebagai “si pengung” atau si goblok. “Sayid” dan “si pengung” adalah apa yang kini dikenal sebagai kalangan radikal.
Menurut Serat Wedhatama kerusakan tanah Jawa disebabkan oleh dilupakan dan dienyahkannya apa yang disebutnya sebagai “ngelmu luhung” yang mewariskan kearifan bahwa agama pada dasarnya adalah sekedar busana yang membungkus hal yang berharga (aji). Dan kalangan radikal itu justru mementingkan busananya daripada isinya. Maka yang terjadi, sesuai dengan konteks sosial-politik Serat Wedhatama, adalah mengecambahnya angkara-murka: perendahan-perendahan pada liyan, yang dalam hal ini mengacu pada orang Jawa sendiri dengan segala kejawaannya.
Bagi Serat Wedhatama, pada dasarnya tak peduli orang memakai busana apa atau yang bagaimana, yang terpenting adalah apa atau bagaimana yang dibusanai yang disebut sebagai “aji.” Maka, ketika beragama, laiknya berbusana, sudah sepantasnya mesti menyesuaikan dengan proporsi tubuh, jenis kulit, cuaca, ruang, waktu, dst. Sikap dan praktik seperti inilah yang di hari ini disebut sebagai moderasi beragama, “Akhlaq yang baik mendatangkan kebaikan, angkara-murka mendatangkan sengsara.”