Ditahun 2022, Indonesia di buat bangga dengan seorang bocah umur 7 tahun bernama Caesar Hendrik Meo Tnunay atau biasa dipanggil Nono. Nono merupakan bocah asal Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berhasil meraih juara pertama di lomba matematika tingkat dunia.
Caesar Hendrik Meo Tnunay lahir pada 2 April 2015 dari keluarga sederhana. Ia merupakan anak bungsu dari pasangan Raflim Meo Tnunai dan Nuryati Seran. Ibunya merupakan seorang Guru dan ayahnya seorang Petani dan tinggal di Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang.
Nono merupakan siswa SD Inpres Buraen 2 di Kabupaten Kupang, NTT, nono mengikuti kompetisi matematika International Abacus Brain Gym (ABG) International Mathematic Competition tahun 2022 yang diikuti sekitar 7000 peserta dari berbagai negara dan ia berhasil menjadi juara pertama yang jelas saja mampu membuat orang tua bahkan negaranya bangga.
Namun, keberhasilan Nono tak langsung membuat warga Indonesia takjub akan keberhasilannya, bisa kita lihat, kesuseksannya mengharumkan nama bangsa justru tak membuat dirinya viral. Nono memang tidak membutuhkan pengakuan dirinya dan mendapatkan pemberitaan yang viral. Namun, setidaknya peran netizen yang berakal sehat mestinya dapat menyokong berita ini agar menjadi viral dan menginspirasi anak-anak yang lain.
Akal sehat netizen kita memang patut dipertanyakan. Fajar yang dijuluki Sadboy, si anak yang baru merasakan putus cintalah yang malah mampu menyita perhatian publik dengan wira-wiri menjadi bintang tamu di berbagai acara televisi. Fajar juga sejatinya adalah korban yang dieksploitasi media sebagai tontonan. Namun, rating tontonan juga didasari atas gerakan netizen yang memviralkan si Sadboy.
Jelas fenomena seperti ini sangatlah mengecewakan. Lantas apa yang membuat fajar sadboy justru mampu lebih viral dibandingkan dengan Nono anak yang telah mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional?
Budaya Viral yang Tidak Rasional
Fenomena viralnya Fajar dibandingkan Nono merupakan buah dari algoritma media sosial yang tidak sejalan dengan akal sehat. Kondisi akan semakin mendorong lahirnya budaya viral walaupun tidak rasional dan bahkan terkadang amoral.
Orang mengejar konten viral dengan mengorbankan segalanya. Bahkan ada mereka yang meninggal ketabrak truk hanya mengejar konten kontroversial yang berharap viral. Budaya viral telah menjadi suatu menjanjikan di kalangan anak muda, tetapi momok yang menakutkan.
Memang tidak bisa dipungkiri, media sosial memiliki algoritma yang dapat mendorong sesuatu yang terus diperbincangkan menjadi viral. Namun, media sosial hanyalah alat yang harus direkayasa dengan akal sehat netizen. Kekuatan manusia yang berakal harus mampu merekayasa sebuah teknologi, bukan menjadi korban kekuatan teknologi.
Fajar dan Nono adalah sebuah fenomena yang mencerminkan di mana masyarakat memiliki kecenderungan untuk mencari inspirasi. Bukan sesuatu yang rasional dan intelektual yang ingin dicari, tetapi kejadian emosional dan sensasional yang ingin ditonton.
Budaya viral memang sudah lekat di media sosial. Ia menjadi candu bagi para netizen untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Pelajaran penting yang harus kita pelajari adalah membenahi akal sehat kita untuk tidak mempopulerkan sesuatu yang hanya emosional, tetapi tidak rasional apalagi memberi inspirasi.
Bangsa Indonesia melalui netizen kelas wahid di dunia yang menyumbangkan kebisingan luar biasa di media sosial adalah sejatinya kekuatan berharga. Namun, kekuatan ini hanya menjadi pemandu sorak yang sia-sia apabila tidak mampu berpikir dengan akal sehat.
Ingat, media sosial bukan hanya etalase perbincangan semata, ia telah menjadi penggerak dari perubahan sosial di ruang nyata. Jika media sosial hanya dibanjiri dengan sesuatu yang sensasional dalam arti yang tidak produktif, hanya melahirkan generasi ke depan penuh dengan drama.