Tragedi Rohingya: Antara Solidaritas dan Komoditas Kebencian

Tragedi Rohingya: Antara Solidaritas dan Komoditas Kebencian

- in Editorial
1998
0

Sudah semestinya kita mengutuk keras atas pelanggaran hak asasi kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Menggalang solidaritas kemanusiaan untuk membantu korban dan pengungsi sungguh sebuah keniscayaan. Namun, mengatasnamakan solidaritas untuk menjadikan krisis di Rakhine State sebagai komoditas menyebar kebencian terhadap yang lain sungguh sebuah ironi. Bersolidaritas dengan cara memproduksi kebencian juga bukan jalan yang produktif.

Beredar secara liar di media sosial berbagai informasi terkait tragedi yang dialami kelompok minoritas Rohingya. Masyarakat disuguhkan informasi yang sejatinya belum jelas kebenarannya. Ajakan solidaritas tetapi menggiring untuk membenci dengan nada sentimen keagamaan. Sangat ditakutkan ada kelompok yang menjual kesedihan Rohingya dengan mengajak solidaritas tetapi mengoyak persaudaraan di dalam negeri.

Tujuan ke arah tersebut bukan tanpa alasan dengan semakin banyaknya konten tragedi Rohingnya di dunia maya dengan bingkai yang memperkeruh suasana. Patut menjadi kewaspadaan bahwa ada kelompok tertentu yang sedang bermain di tengah kesedihan saudaranya dengan menabur kebencian berbau SARA untuk kepentingan tertentu. Tepatnya, tragedi di negeri orang dikomodifikasi untuk kepentingan di dalam negeri. Ada arus importasi konflik dari seberang untuk dijadikan komoditas kebencian di negeri sendiri.

Karena itulah, tidak sekedar butuh langkah nyata untuk melakukan solidaritas, tetapi bukan menjadikan komoditas. Karena itulah, sebelum kita teriakkan solidaritas dan langkah nyata penting untuk dipertimbangkan:

Pertama, melakukan penjernihan informasi terhadap tragedi kemanusaian tersebut. Penjernihan informasi ini menjadi penting agar terhindar dari berbagai konten yang bertebaran dengan bumbu provokasi, hasutan dan penanaman kebencian. Pahamilah kejadian tragedi kemanusiaan tersebut secara utuh bukan sekedar persoalan tunggal. Banyak faktor seperti politik, sejarah dan kewarganegaraan yang perlu dipahami.

Kedua, melokalisir persoalan untuk tidak mengenerasilisir kepada hal tidak produktif. Salah satu isu tidak produktif yang berkembang dalam krisis kemanusiaan tersebut misalnya permusuhan Budha-Muslim. Kasus ini kemudian digeneralisir untuk menjatuhkan vonis Budha memusuhi muslim. Generalisir sesat ini kerap muncul di berbagai media sosial dengan tujuan komodifikasi kebencian.

Ketiga, membatasi diri untuk tidak menebar kebencian sara. Setelah memahami utuh tragedi yang dialami oleh etnis Rohingya sebaiknya kita bisa menahan diri untuk tidak menggiring pada isu sentimen keagaman. Kekerasan yang dilakukan bukan sekedar atas nama agama. Muslim di Myanmar juga bisa hidup tenang.

Rakhine ternyata bukan wilayah dengan sebaran muslim terbanyak di Myanmar. Penduduk Muslim terbanyak berada di Yangon dengan jumlah 345.612 jiwa atau setara dengan 4,7 persen. Sedangkan, berdasarkan porsi penduduk setiap daerah, umat Muslim terbanyak berada di Mon dengan proporsi sebesar 5,8 persen dari total penduduk di wilayah tersebut atau setara dengan 119.086 jiwa. Di ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, jumlah Muslim hanya 24.030 jiwa atau setara dengan 2,1 persen dari total penduduk ibu kota (tirto.id). Data ini penting disampaikan agar tidak ada kesan sedang ada pembantaian umat Islam, karena sejatinya banyak umat Islam di Myanmar yang menikmati kondisi tenang.

Keempat, mengambil jalan solidaritas yang cerdas bukan nekad. Tragedi kemanusiaan tersebut tentu menggerakkan hati untuk bersimpati, empati dan berbagi peduli atas nama kemanusiaan. Aksi solidaritas mutlak diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan cara cerdas bukan nekad. Aksi nekad berarti tidak memperhitungkan resiko tetapi lebih menggerakkan emosi tanpa kendali rasio. Salah satu contoh ajakan ikut berperang ke daerah yang sedang tidak kondusif justru merupakan langkah tidak produktif.

Mari kita doakan dan bantu dengan langkah nyata yang cerdas saudara kita yang sedang mengalami tragedi kemanusiaan.

Facebook Comments