Krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine State Myanmar telah menjadi perhatian dunia. Media terus memberitakan perkembangan konflik yang melibatkan pihak keamanan Myanmar dan warga Rohingya tersebut. BBC Indonesia mencatat ada sekitar 87.000 warga Rohingya yang harus mengungsi ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan. Diskriminasi yang dialami etnis Rohingnya, yang kebetulan umat Muslim ini tentu mendapatkan keprihatinan mendalam dari umat Musim dalam negeri. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, banyak masyarakat di Tanah Air yang segera mengecam kekerasan yang menimpa saudara Muslim mereka di Myanmar.
Di media sosial, kita melihat beberapa waktu belakangan maraknya unggahan-unggahan yang menunjukkan sikap mengecam dan keprihatinan terkait hal tersebut. Di samping melalui dunia maya, muncul pula pelbagai aksis solidaritas untuk warga Rohingya di pelbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta, kantor Kedubes Myanmar menjadi sasaran unjuk rasa. Kita tentu melihat semua itu sebagai sesuatu yang wajar. Tindakan kekerasan dan perampasan hak-hak kemanusiaan tak dibenarkan terjadi di belahan bumi mana pun. Sikap mengecam atas kekerasan di Rohingya, yang ditunjukkan banyak umat Muslim di Indonesia, di samping sabagai wujud kepedulian pada sesama saudara muslim, juga menjadi wujud solidaritas kemanusiaan yang sudah seharusnya ditunjukkan bangsa mana pun, tanpa memandang suku atau agama.
Persoalan muncul ketika sikap solidaritas yang murni dari umat Muslim di Indonesia terhadap sesama muslim, sekaligus empati kemanusiaan tersebut mulai mendapat pengaruh dan provokasi dari pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk ditunggangi pelbagai kepentingan. Provokasi tersebut terlihat dari munculnya berita-berita palsu (hoax) yang menggiring masyarakat untuk melakukan generalisir terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Rohingya, yang kemudian memantik sentimen dan kebencian yang berujung pada sikap dan aksi yang diinginkan dari provokator, yang bukan tidak mungkin bisa memunculkan kegaduhan sosial.
Generalisir
Konflik di Rohingya dilandasari persoalan yang kompleks, namun diberitakan sedemikian rupa sehingga menciptakan generalisir sempit dan memunculkan kebencian terhadap pelbagai pihak. Redi Panuju, dalam tulisan berjudul Jurnalisme Konflik Rohingya (Kompas, 6/9/2017) mengklasifikasikan kecenderungan pemberitaan di media massa terkait konflik Rohingya saat ini mengerucut pada tiga pihak yang dianggap sebagai biang keladi. Pertama, junta militer Myanmar, yang belum sepenuhnya menerima Suu Kyi sebagai pemimpin. Kedua, Biksu Wirathu, pemimpin kelompok kontroversial 969 yang penyataann-pernyataannya kerap menyebarkan kebencian teradap umat Islam di Myanmar. Ketiga, sosok Suu Kyi yang menjadi ironi, sebab tragedi kemanusiaan justru terjadi di bawah kekuasaannya. Padahal, sebelumnya ia adalah pejuang perdamaian, pernah mendapat Hadiah Nobel Perdamaian atas perjuangannya memajukan demorasi dan HAM meski di bawah penindasan junta militer Myanmar saat itu.
Tiga fakta tersebut, lanjut Redi Panaju, bisa diseret ke dalam beberapa generalisasi sempit. Misalnya, muncul anggapan bahwa semua militer itu kejam, semua biksu benci terhadap umat Islam, sampai pemimpin perempuan itu lemah. Bukan tidak mungkin, ketika sudah diolah menjadi berita provokatif, generalisir-generalisir tersebut akan memunculkan pelbagai sentimen kebencian saling-silang; antara sipil versus militer, biksu versus Islam, dan lain-lain. Pencerahan dari kaca mata jurnalistik tersebut mestinya cukup membuat kita sadar agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi dan mencerna informasi seputar konflik Rohingya. Jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka yang termakan provokasi sehingga dengan mudah memunculkan klaim-klaim sembrono hanya karena menggeneralisir hal-hal yang sebenarnya kompleks.
Pihak-pihak tak bertanggungjawab akan selalu mencari celah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan jalan menggiring opini publik, termasuk mengemas isu-isu kemanusiaan dengan isu-isu sentimen agama, untuk kemudian mendapatkan keuntungan. Kecenderungan tersebut bahkan sudah terlihat, terutama jika kita melihat tren pembicaraan warganet di media sosial tentang konflik Rohingya saat ini. Pakar IT Ismail Fahmi, beberapa waktu lalu merilis hasil penelitian terhadap percakapan di Twitter di Indonesia. Penelitian dengan fitur Opinion Analysis tersebut mengelompokkan isu berdasarkan kategori.
Hasilnya, 33% status publik mengaitkan isu Rohingya ini dengan pemerintah, 25% dengan Jokowi, 19% dengan Umat Budha, 18% dengan Aung San Suu Kyi, dan 6% dengan jenderal Min Aung. Dari hasil tersebut, Ismail menyimpulkan bahwa publik melihat isu ini lebih banyak berkaitan dengan pemerintah dan Jokowi, dibandingkan tentang Aung San dan Jenderal Min. Artinya, tekanan ke dalam negeri malahan lebih besar ketimbang tekanan kepada pemerintah Myanmar.
Ismail juga melihat, tekanan terhadap Umat Budha di Indonesia juga cukup tinggi dan bisa berpotensi menyebabkan disintegrasi dalam tubuh bangsa Indonesia gara-gara isu Rohingya. Terkait hal ini, belakangan kita bahkan mendengar kabar tentang rencana seruan solidaritas terhadap etnis Rohingya dengan melakukan aksi mengepung Candi Borobudur. Ini sebuah rencana sembrono dan menggambarkan betapa virus generalisir telah menjangkiti sebagian masyarakat.
Candi Borobudur, kita tahu, memang candi terbesar peninggalan Budha yang merepresentasikan umat Budha. Namun, mengecam kekerasan terhadap muslim di Rohingnya dengan mengepung Borobudur jelas cara berpikir yang keliru. Seakan-akan, mereka berpikir bahwa apa yang ditunjukkan Biksu Wirathu dengan melontarkan pernyataan kebencian terhadap umat Islam di Myanmar mewakili seluruh umat Budha. Padahal, kita telah sepakat tak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Di samping itu, pelbagai perwakilan Umat Budha Indonesia juga turut mengecam terjadinya pembantaian Muslim di Rohingya. Biksu Dutavira Mahasthavira, misalnya, menyatakan bahwa kebiksuan seseorang akan gugur jika terlibat dalam urusan pembunuhan dan pengusiran. Biksu Ditavira bahkan mengatakan para biksu di Indonesia menangis dan menyesalkan terjadinya kekerasan di negara yang mayoritas Buddhis seperti Myanmar (Liputan6.com, 4/9/2017)
Menyikapi secara bijak
Melihat pelbagai kecenderungan tersebut, mestinya bisa semakin menyadarikan kita agar lebih menyikapi konflik Rohinya secara lebih bijak. Sebagai umat Muslim, kita memang harus menggalang kepedulian untuk saudara kita di Rohingya. Namun, kita harus menyalurkan kepedulian tersebut dengan jalan yang bijak. Misalnya, dengan berpartisipasi dalam penggalangan dana kemanusiaan untuk ke Royingya, atau pelbagai jenis bantuan lain. Jangan sampai empati kita dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggungjawab dan diarahkan untuk memantik kebencian terhadap pihak mana pun.
Pemerintah Indonesia juga sudah bergerak, mengambil peran strategis dalam upaya penyelesaikan konflik di Rohingya. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi telah terbang ke Myanmar untuk menemui State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia, melalui Menlu, menyampaikan pelbagai usulan untuk menciptakan perdamaian di Rakhine State. Langkah tersebut bahkan mendapat apresiasi dari dunia Internasional. Kita sama-sama berharap, langkah-langkah tersebut bisa terlaksana dan menunjukkan hasil, sehingga konflik dan kekerasan di Rakhine State segera berakhir dan etnis Rohingya bisa kembali hidup dengan normal, aman, dan damai.