“Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.”
Sayyidina Ali bin Ali Thalib.
Komposisi masyarakat Indonesia yang beragam adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Oleh Nur Kholis Madjid, ditegaskan bahwa keragaman atau perbedaan yang diterima tanpa perselisihan merupakan rahmat Allah yang membawa kebahagian dan perdamaian abadi. Sebaliknya, perbedaan yang diterima dengan perselisihan dan permusuhan akan membawa pada kesengsaraan.
Maka dalam konteks Indonesia yang beragam, pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib sungguh tidak hanya relevan dalam konteks keindonesiaan, melainkan harus menjadi pegangan setiap individu yang menikmati seteguk air hasil bumi pertiwi Indonesia ini. Bahwa tidak ada cara lain dan jalan lain selain menjaga persatuan dalam bingkai kebhinekaan.
Terhadap kelompok yang tidak sepakat untuk merawat keragaman Indonesia, entah dengan dalih agama, budaya dan lainnya sebagainya, perlu ditegaskan bahwa di mana engkau berada dan bertempat tinggal, perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan bersaudara antar sesama adalah sebuah keharusan.
Nabi Muhammad saw yang menjadi panutan manusia di dunia ini pernah mencontohkan betapa bijak dan geniusnya beliau dalam membangun sebuah tataran masyarakat. Ketika di Madinah, Nabi sekalipun memiliki pengaruh dan kekuasaan besar tidak menjadikannya berlaku semena-mena terhadap penduduk Madinah yang kala itu tidak seagama dan menentangnya.
Bahkan, Nabi Muhammad tidak pernah membedakan antara pribumi dan non-pribumi. Kala itu, Nabi menyebut pengikutnya yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah sebagai kaum Muhajirin. Sementara bagi penduduk Madinah yang mengikuti Nabi disebut sebagai kaum Anshar. Dan Nabi mampu mempersaudarakan mereka tanpa membeda-bedakan pribumi dan non-pribumi.
Di Indonesia, sentimen kesukuan atau kelompok, terutama dalam beberapa tahun belakangan ini, sungguh menguat. Muncul kategorisasi penduduk pribumi dan non-pribumi. Jika yang demikian ini menggelinding begitu kuat di tengah-tengah masyarakat, maka polarisasi dan intoleransi akan menjadi sesuatu yang mahal, bahkan asing.
Maka, makna persaudaraan harus benar-benar dikuatkan, jangan malah dipersempit menjadi pribumi dan non-pribumi. Memang, setiap dari penduduk Indonesia memiliki tujuan dan cita-cita berbeda dan juga agama yang berbeda-beda pula. Semua itu sah-sah saja. Akan tetapi, satu hal yang harus dipegang adalah tidak boleh saling menyerang atau menjatuhkan antar sesama anak bangsa.
Meskipun tujuan hidup dan agam berbeda, namun masyarakat Indonesia benderanya sama; lagu kebangsaan juga sama. Artinya, perbedaan adalah rahmat dan perpecahan adalah laknat.
Mewaspadai Adu Domba
Persaudaraan yang sudah terjalin harmonis sejak lama, dalam seketika bisa porak-poranda dan antar sesama anak bangsa bisa saling menyalahkan, curiga dan gesekan. Sekali lagi, semua itu mudah. Salah satu caranya adalah mengadu-domba antar sesama anak bangsa dengan isu yang sangat sensitif, SARA misalnya.
Dan langkah inilah sesusungguhnya yang sukses terjadi di daerah Timur Tengah. Tentu Indonesia tidak mau menapaki jejak negara-negara di Timur Tengah saat ini. Oleh sebab itu, segenap anak bangsa harus benar-benar berfikir jernih. Jangan mudah terprovokasi dengan penggorengan isu tertentu yang bisa memantik kemarahan dan kecurigaaan terhadap kelompok tertentu.
Misalnya dalam kasus pembantaian Etnis Rohingya di Rakhine Myanmar yang mayoritas penduduknya Muslim. Memang harus jujur diakui bahwa di dalam konflik mengerikan itu ada unsur agama di dalamnya. Akan tetapi, isu tersebut tidak sepantasnya dikaitkan dengan isu agama di dalam negeri. Artinya, Budha di Myanmar tidaklah sama persis dengan Budha di Indonesia. Sehingga sekalipun yang membantai saudara kita Muslim di Myanmar adalah orang Budha, tidaklantas kita memusuhi penganut Budha di Indonesia.
Sebab, dalam konflik Rohingya ada muatan kobflik geopolitik yang amat menyengat. Selain itu ada motif sumber daya alam.
Pancasila sebagai Jembatan Persaudaraan
Masyarakat Indonesia patut bersyukur mengingat para pendiri bangsa sudah mewarisi generasi bangsa sebuah ideologi yang final dan cocok untuk Indonesia, yakni Pancasila. Sekalipun bagi orang yang beragama Pancasila memiliki kedudukan di bawah agama, tetapi nilai-nilai Pancasila menjiwai ajaran semua agama di Indonesia.
Maka, di tengah adu domba dan retaknya tali persaudaraan, Pancasila bisa menjadi jembatan penghubung dan mengokohkan persaudaraan. Sebab, dalam butir Pancasila mengandung nilai spiritual, sosial, budaya dan lain sebagainya. Dan semua itu mengikat satu sama lainnya. Misalnya sila Persatuan Indonesia.
Rumah kita bersama adalah Indonesia. Seluruh penduduk Indonesia adalah bersaudara, saling sinergis. Inilah kekuatan kita saat ini, yang membuat negara lain iri dengan kuatnya hubungan kekeluargaan antar anak bangsa, lintas agama, budaya, suku dan golongan.