Saya masih percaya, bahwa dibalik generasi-generasi yang progresif ada orang tua yang mendidik dengan baik. Kalaupun tidak sanggup mendidik dengan baik, orang tuanya memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk berkembang mengaktualisasikan diri dan memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan tidak sesempit tembok ruangan kelas, melainkan bisa dari banyak hal.
Salah satu orang tua yang menginspirasi dalam mendidik anak-anaknya adalah KH. Wahid Hasyim dan Hj. Nyai Solehah. Darinya lahirlah generasi-generasi progresif dan menjadi agen perdamaian. Ada kisah yang patut disoroti yaitu upaya Nyai Solehah dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh besar.
Tepatnya ketika Kiai Wahid Hasyim meninggal pada tahun 1953, Nyai Solehah giat dalam mendidik anak-anaknya walaupun tanpa meninggalkan aktivitasnya sebagai pengusaha, aktif di organisasi dan sebagai tokoh publik perempuan. Ia bukan hanya sebatas perempuan yang hanya mengerjakan pekerjaan domestik, seperti yang dicirikan oleh kebanyakan perempuan pada waktu itu.
Sebagaimana dituliskan oleh Nidhomatum MR, Nyai Sholihah ikut dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ia merupakan salah satu perempuan yang menyusup sampai ke garis depan, sebagai kurir yang selain membawa makanan dan obat-obatan juga bertugas membawa pesan-pesan rahasia bagi para pejuang yang berada di garis depan, di daerah Mojokerto, Krian (Sidoarjo) dan Jombang.
Menuliskan perjuangan perempuan sepertihalnya Nyai Solehah sangatlah panjang. Pada tulisan ini, penulis hanya menyoroti bagaimana ia mendidik anak-anaknya sehingga melahirkan sosok progresif sebagaimana kita kenal KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur.
Baca juga :Wanita Salehah Itu; Menangkal Radikalisme, Menyebar Kedamaian
Nyai Solehah meyakini salah satu jalan agar anak-anaknya berkembang dengan baik adalah dengan memberikan pendidikan sebaik-baiknya. Bahkan, sedari kecil ia sudah membiasakan anak-anaknya agar gemar membaca buku. Koleksi buku yang ada di rumah, milik ayahnya sangatlah banyak. Greg Barton dalam tulisannya mengisahkan bahwa Gus Dur sedari kecil sudah dibiasakan membaca buku dari perpustakaan ayahnya.
Dengan pendidikan yang baik, anak-anaknya diharapkan menjadi orang yang berilmu dan memiliki kebanggaan. Nyai Solehah memastikan bahwa anak-anaknya memperoleh pendidikan yang layak. Bahkan ia tidak mau menyerahkan urusan pendidikan anaknya kepada orang lai. Dia memilih tinggal di Jakarta sembari bekerja, menggeluti dunia usaha, agar mewujudkan impiannya dalam mendidik anak-anaknya.
Pun ketika Nyai Solehah terpilih menjadi anggota DPRD DKI Jakarta mewakili NU pada tahun 1956, ia tetap menyempatkan diri untuk berada di rumah pada saat anak-anaknya pulang dari sekolah. Ia menyempatkan juga makan malam bersama anak-anaknya, walaupun aktivitasnya semakin padat.
Dalam mendidik anaknya, ia membebaskan anak-anaknya untuk memilih ke mana mereka mau melanjutkan pendidikan. Walaupun budaya keluarganya adalah pesantren, ia tidak memaksakan anak-anaknya untuk masuk pesantren. Dengan catatan, ketika anak-anaknya masuk sekolah umum, Nyai Solehah mendatangkan guru agama yang memiliki keilmuan pesantren untuk mendidik nya.
Mendidik Agen Perdamaian
Salah satu putra dari Nyai Solehah dan Kiai Wahid Hasyim adalah Gus Dur. Saya meyakini, bahwa keterbukaan orang tuanya dalam mendidik dalam keluarga, membawa dampak terhadap anak-anaknya. Terbukti, Gus Dur sedari kecil ia sudah banyak membaca buku. Bahkan ketika ia pada masa sekolah menengah pertama (SMP), Gus Dur sudah membaca buku-buku wacana kiri, filsafat dan lain sebagainya.
Dalam segi pendidikan misalnya, Gus Dur mengenyam pendidikan umum ketika SMP, walaupun ia juga tetap mengaji pada KH. Ali Maksum pondok pesantren di Krapyak. Kebebasan yang diberikan untuk menentukan pendidikan yang diinginkan anaknya, memberikan ruang terhadap anaknya untuk mengembangkan potensinya. Belajar dari Nyai Solehah, ia mendidik anak-anaknya khususnya Gus Dur dengan wawasan yang luas.
Darinya kita bisa belajar, bagaimana cara mendidik agar melahirkan generasi yang menjadi agen perdamaian ataupun menjadi generasi yang progresif. Terbukti, salah satu anaknya menjadi tokoh nasional bahkan internasional. Karya-karyanya banyak dinikmati oleh generasi saat ini, baik berupa tulisan, kebijakan ataupun hal lainnya.
Bahkan Gus Dur dikenal agen perdamaian atau bapak pluralisme. Gus Dur walaupun dari tokoh Islam khususnya NU, ia tidak hanya memperjuangkan hak-hak kelompoknya. Gus Dur memperjuangkan mereka yang tidak mendapatkan keadilan, tidak memandang siapa dan dari mana. Ia meyakini bahwa semua masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama, tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa dan lain sebagainya.