Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1998 melakukan ikrar ‘Sumpah Pemuda’. Sumpah Pemuda merupakan konsep bersatunya pemuda dalam mewujudkan kemerdekaan. Mulai dari organisasi pemuda Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, Pemuda Kaum Betawi, Jong Celebes dan organisasi pemuda lainnya melebur jadi satu. Tujuan dari ‘Sumpah Pemuda’ yaitu tegaknya NKRI. Kalau kini ada yang mengusik keutuhan NKRI apa pemuda patut diam saja? Kalau cuma diam apakah tidak malu pada komitmen pemuda 91 tahun yang lalu?
Saat ini bermunculan sikap intoleran yang melukai ruh ‘Sumpah Pemuda’. Pemuda saat ini terbentur oleh kemajuan zaman yang mempengaruhi pudarnya ideologi kebangsaanya. Banyak kasus yang sepertinya remeh, tapi kalau dibiarkan akan menjadi masalah besar. Kasus pengibaran bendera HTI di SMKN 2 Sragen 6 Oktober 2019 merupakan tanda radikalisme sudah menjalar anak muda. Insiden di SMKN 2 Sragen viral karena foto diupload di medsos.
HTI merupakan organisasi terlarang yang sudah dibubarkan di Indonesia. Para siswa di SMKN 2 Sragen masak tidak tahu kalau itu bendera HTI? Andaikan benar siswa tidak tahu, apakah guru tidak tahu kalau bendera yang dikibarkan itu bendera HTI? Tentu ini menjadi teka-teki di lingkungan SMKN 2 Sragen. Pihak Kepolisian harus cerdas mengungkap insiden ini. Pengibaran bendera HTI tidak bisa dibuat lelucon, sebab radikalisme sangat berbahaya.
Sekolah yang menjadi tempat penyelenggara pendidikan untuk mencetak generasi muda yang berwawasan kebangsaan dan cinta tanah air. Sekolah sebagai taman pendidikan harus steril dari virus intoleran dan radikalisme. Pengibaran bendera HTI di SMKN 2 Sragen dilakukan ketika kegiatan Rohis (Rohani Islam). Rohis di sekolah itu diampu oleh guru agama. Jadi kalau guru agama mentolelir pengibaran bendera HTI, maka ada kemungkinan gurunya terpapar paham HTI.
Baca Juga :Pendidikan Pesantren Mencegah Pembajakan Agama
Di MAN 1 Sukabumi juga pernah terjadi seperti di SMKN 2 Sragen. Foto pengibaran bendera HTI di MAN 1 Sukabumi diuplod sebagai promosi ekskul, ekstrakulikuler apa yang membolehkan pengibaran bendera HTI? Ekskul ini tergabung dalam Keluarga Harapan Remaja Masjid Al Iklas yang bernama ekskul ‘Kharisma’. Kharisma sendiri ekskul di MAN 1 Sukabumi yang dibawah kegiatan klinik Qur’an. Pengibaran bendera HTI tepatnya terjadi pada Jum’at 19 Juli 2019.
Elak Kepala Sekolah MAN 1 Sukabumi bahwa bendera itu bukan bendera HTI, beliau menyebutnya itu bendera panji Rasulullah. Tapi apa publik percaya begitu saja sama elak Kepala Sekolah MAN 1 Sukabumi? Sebagai sikap kehati-hatian publik harus kritis dalam menyikapi insiden ini. Insiden seperti ini menunjukkan fakta bahwa sekolah mulai dibajak oleh ideologi HTI. Insiden di SMKN 2 Sragen dan di MAN 1 Sukabumi itu contoh yang terlihat. Tentunya masih banyak sekolah yang mulai dibajak oleh HTI melalui ekskul yang bernuansa agama.
Kalau generasi muda sejak dari sekolah sudah terpapar paham intoleran, maka bangsa ini menjadi darurat virus radikalisme. Apa jadinya kalau siswa yang terpapar radikalisme ini masuk TNI, Polri, lanjut kuliah, kerja dan di masyarakat? Kader-kader yang terpapar virus ideologi radikal maka dimanapun berada akan terus menyebar virusnya. Kondisi seperti ini menjadi perhatian serius pada pemuda-pemudi bangsa Indonesia. Pemerintah juga harus mulai menyisir sekolah-sekolah untuk mendeteksi penyebaran ideologi radikalisme. Tentu ini menjadi PR Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan!.
Pemerintah melalui Kemendikbud wajib melakukan pembinaan pada SMKN 2 Sragen dan MAN 1 Sukabumi serta sekolah lain yang terpapar virus radikalisme. Pelaku-pelaku yang terbukti di ssekolah menyebarkan paham ini perlu ditindak dan dilakukan pembinaan. Kemendikbud dalam menangani kasus radikalisme di sekolah bisa bermitra dengan Kemenag (Kementerian Agama). Kenapa Kemenag punya andil dalam kasus radikalisme? Sebab Presiden juga menekankan pada Kepala Kemenag Pak Jenderal Fachrul Razi untuk membersihkan radikalisme di Indonesia. Dan kenyataannya paham radikalisme disebarkan memang lewat agama.
Prof. Nadirsyah Hosen merupakan salah satu anak Indonesia yang menjadi dosen di Hukum di Monash University. Prof. Nadirsyah pada Jum’at 25 Oktober 2019 memberi kisi-kisi pada pada pemerintah terkait ‘siapa kelompok radikal islam itu?’. Prof. Nadisyah sosok pakar hukum yang sangat mendalami Islam secara kaffah. Beliau juga aktif menulis buku-buku tentang Islam misalnya buku ‘Islam Yes, Khilafah No’ yang cukup populer. Dikutip dari laman Geotimes Prof. Nadirsyah mengidentifikasi 3 kelompok radikal itu sebagai berikut:
Pertama, kaum takfiri yang menganggap kelompok selainnya sebagai kafir. Berbeda pandangan sedikit saja langsung kita dikafirkan. Ini radikal dalam keyakinan.
Kedua, kelompok jihadis yang membunuh orang lain atas nama Islam. Mereka melakukan tindakan di luar hukum tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Ini radikal dalam tindakan.
Ketiga, kelompok yang hendak menganti ideologi negara dengan menegakkan Negara Islam dan atau khilafah. Tindakan mereka merusak kesepakatan pendiri bangsa. Ini radikal dalam politik.
Prof. Nadirsyah juga menegaskan, “Karakter radikal diatas bisa merupakan kombinasi ketiganya: mengkafirkan, membunuh dan mau mengganti Pancasila. Ini yang paling berbahaya, apalagi kalau mereka merupakan jaringan transnasional”.
Jadi, para pemuda bangsa perlu menyatukan tekad melawan radikalisme. Pemuda Indonesia 91 tahun yang lalu saja mampu menyatukan cita-cita terwujudnya: Tanah Air Indonesia, Bangsa yang Bernama Indonesia dan Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Kalau pemuda kini hanya terdiam ketika bangsa ini dibajak kaum radikal, maka jiwa nasionalismenya perlu ditanyakan. Slogan yang perlu ditanamkan pada semangat pemuda Indonesia terhadap virus radikalisme yaitu; kata lawan, lawan dan terus lawan!.