Kembali kita mendengar terjadinya kasus intoleransi yang menghadirkan friksi mayoritas terhadap minoritas di bumi nusantara ini. Kasus yang dimaksud, sempat menggema di wilayah Kabupaten Dhamasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Kasus tersebut adalah kasus penolakan sejumlah pihak terhadap rencana masyarakat yang beragama Katolik dan Kristen di situ untuk melakukan ibadah bersama merayakan Natal (VOA Indonesia, 2019). Bahkan penolakan yang ada bukan hanya semata untuk Natal saja, tapi juga untuk pendirian rumah ibadah dan ibadah bersama lainnya yang dilakukan di rumah-rumah warga. Persoalan ini kembali menambah catatan buruk kasus-kasus intoleransi di negeri ini. Meskipun, dikabarkan hal tersebut sudah memperoleh jalan keluar dan peribadatan pun akhirnya bisa dilakukan namun tentunya kembali menggoreskan luka bagi semangat persatuan dan toleransi yang selama ini disematkan kepada negara yang beragam ini. Bila berangkat dari kenyataan semacam itu, tentunya tidaklah berlebihan bila melihat realitas yang ada sebagai sebuah ancaman bagi ketahanan negara kita yang memiliki fondasi keberagaman sebagai pilar keutuhannya.
Dalam indeks kerukunan umat beragama yang dikeluarkan oleh Puslitbang Bimas dan Layanan keagamaan, kementerian Agama, terlihat bahwa hanya ada 16 daaerah yang dianggap melewati angka rata-rata indeks kerukunan beragama pada 2019. Dari hasil survei tersebut terdapat juga catatan penting dalam melihat beberapa daerah, khususnya yang kental dengan nuansa identitas ke-agamaan. Daerah-daerah macam Aceh dan Sumatera Barat yang kental dengan identitas ke-Islaman justru menempati posisi paling bawah dalam hal kerukunan umat beragama. Sedangkan dalam hal dimensi toleransi, dua daerah tersebut masing-masing hanya mampu mencapai angka indeks 53,0 dan 59,4, yang artinya mengukuhkan dua daerah tersebut sebagai dua terbawah.
Sehingga menganggap sepele persoalan di atas jelas merupakan sebuah keapatisan sekaligus kesalahan besar, sebab sama saja membiarkan bom waktu akan menghabisi keindahan keberagaman dengan ancaman homogenisasi yang akan tercipta. Menguatnya eksistensi identitas keagamaan yang hadir belakangan ini menjadi penguat argumen tersebut. Sebab meskipun jumlahan masyarakat yang menyadari keberagaman bangsa Indonesia dan menginginkan Pancasila menurut survei di atas masih-lah kuat, namun tetaplah ada kelompok masyarakat yang menolak keberagaman dan menginginkan Indonesia berubah menjadi negara dengan satu identitas keagamaan saja. Melalui ide-ide tertentu yang insinuatif sekaligus provokatif dan dibungkus oleh narasi agama yang sakral, membuat siapa pun potensial untuk terobsesi dan termoderasi dengan jalan berfikir pihak-pihak yang sejatinya menolak keberagaman. Tidak-lah mengherankan bila di momentum-momentum demikian.
Relasi Silaturahmi dan Toleransi
Ungkapan Silaturahmi, jelas bukan barang baru bagi masyarakat di negeri ini. Meskipun ungkapan ini memiliki akar kata dari bahasa arab, namun sepertinya pemahaman dan kelekatan masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa ungkapan tersebut sudah menjadi bagian kuat dari bangsa ini. Mungkin salah satu penyebabnya adalah intensitas yang tinggi terhadap penggunaan kata tersebut dalam banyak momentum resmi dan non-resmi. Apa pun yang melatarinya, banyak kalangan yang seolah menyepakati tanpa banyak berargumen bahwa tradisi silaturahmi merupakan bagian dari citra bangsa ini.
Baca Juga :Bercermin Melihat (dan Mengembalikan) Watak Toleran Bangsa Kita
Manifestasi atas hal tersebut mestinya mudah kita jumpai dalam banyak kesempatan, namun belakangan hal itu sudah mulai mengalami penurunan. Terlebih lagi setelah reformasi bergulir dan melahirkan banyak kelompok-kelompok kepentingan termasuk kelompok Islam yang sangat memaksakan identitas Islam di ruang publik, atau bagi Ricklefs disebut sebagai Revivalis (Ricklefs, 2012). Hadirnya wajah kelompok yang demikian membuat ruang silaturahmi yang dahulunya bisa melampaui sekat agama dan kesukuan, saat ini semakin menyempit. Akibatnya ruang toleransi yang sebelumnya memiliki tafsiran yang sangat lebar, harus terjebak dalam belenggu tafsiran yang sempit pula. Sehingga tidak heran bila kemudian persoalan mengucapkan selamat natal dan tahun baru mesti menghangat tiap tahunnya, padahal sebelum reformasi bergulir hal tidak menjadi persoalan. Tidak heran pula bila akhirnya persoalan ibadah natal seperti yang terjadi di wilayah Sumatera Barat mesti menemui kondisi yang demikian.
Belajar Silaturahmi dari Murid TK
Bila kita menyepakati bahwa ruang silaturahmi bangsa hari ini sudah tidak seerat sebelum reformasi, maka mestinya kita mulai mencari jalan guna menghadirkan kembali hal tersebut. Yang artinya kita pun mesti ikhlas belajar dari siapa pun, termasuk dari teladan kepolosan para murid taman kanak-kanak (TK) Katolik santo Bernardus dan TK Aisyiah Bustanu Athfal di Madiun (radarmadiun.co). Perjumpaan yang diawali kunjungan para siswa TK santo Bernardus ini pada Mei 2019 ke TK Aisyiah Bustanu Athfal membuktikan bahwa kebencian terhadap identitas tertentu bukanlah lahir secara naluriah melainkan karena sengaja dibentuk. Ruang silaturahmi dan interaksi di antara para siswa yang berbeda sekolah itu, serta aktivitas bersama yang mereka lakukan menunjukkan bahwa secara naluriah sejak awal perasaan menyebarkan cinta-lah yang dominan dalam diri setiap manusia. Sehingga bila memang perubahan ke arah yang lebih baik ingin diwujudkan, maka hendaknya berpihak kepada kebaikan terhadap sesama.
Aktivitas perjumpaan para murid TK santo Bernardus dan murid TK Aisyiah Bustanu Athfal mestinya bisa disarikan menjadi narasi silaturahmi dengan sesama. Narasi-narasi semacam inilah yang dibutuhkan bangsa dan mesti banyak dibangun bila ingin melihat politik identitas yang mengarusutamakan kemanusiaan. Yang pada gilirannya memberikan kemungkinan kita untuk berinterkasi dalam ruang sosial yang lebih baik. Bukan malah menguatkan semangat Intoleransi apalagi radikalisme dan terorisme.