Kantuk yang Tak Berujung Lelap: Liminalitas Dalam Kebudayaan Jawa Tradisional

Kantuk yang Tak Berujung Lelap: Liminalitas Dalam Kebudayaan Jawa Tradisional

- in Narasi
602
0
Kantuk yang Tak Berujung Lelap: Liminalitas Dalam Kebudayaan Jawa Tradisional

Tan samar pamoring suksma

Sinuksmaya winahya ing asepi

Sinimpen telenging kalbu

Pambukaning warana

Tarlen saking liyep layaping aluyup

Pindha pesating sumpenan

Sinimpen ing rasa jati

—Serat Wedhatama

Pada awal 2000-an, saya sempat berdiskusi dengan seorang yang dikenal sebagai pakar budaya Jawa, (alm.) Prof., Dr. Damardjati Supadjar. Kala itu saya baru pertama kali menginjakkan kaki di Jogja untuk memulai kuliah di fakultas filsafat UGM. Di salah satu rumahnya yang sederhana, di mana banyak terdapat mobil antik VW terpajang sepanjang teras dan halaman, kami menghabiskan sebuah sore dengan percakapan tentang tasawuf dan filsafat Jawa.

Dengan sarung dan kaos singlet putih, Pak Damar, demikianlah saya memanggil, mulai menerangkan tilikannya tentang keseluruhan budaya Jawa klasik seperti yang tercermin dalam berbagai ekspresinya—seni suara, seni rupa, dan seni drama—yang dapat dirangkum dalam dua tema besar: sangkan-paraning dumadi dan manunggaling kawula-Gusti.

Tilikan Pak Damar tersebut memang ada benarnya, seandainya mau menyimak, seperti misalnya rangkain tembang Jawa klasik yang dikenal sebagai macapat, adalah sebuah gambaran tentang

sangkan-paraning dumadi seorang anak manusia: mijil (keluar), kinanthi (disertai/dibimbing), sinom (muda), asmarandana (api asmara), maskumambang (kebimbangan dalam hal seksualitas), dhandhanggula (mulai tumbuhnya kesadaran akan Tuhan dan kematian), gambuh (paham/mengerti), pangkur (menanggalkan keduniawian), durma (memetik buah karma), megatruh (cerainya ruh dan tubuh), pocung (dikafani). Demikian pula wayang purwa yang secara teknis dibagi menjadi tiga pathet yang menggambarkan perjalanan seorang anak manusia mulai dari suasana muda (pathet nem[anem, anom, muda]), suasana dewasa yang mulai tumbuh kesadaran dirinya (pathet sanga [kosong]), dan suasana tua yang identik dengan kematian (pathet manyura[merak/parak atau fajar, Menyelami Dering Keheningan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id]).

Baca Juga :Konstruksi Agama dan “Ijtihad” Bela Indonesia

Adapun konsep manunggaling kawula-Gusti, saya kira, adalah sebuah konsep tentang apa yang oleh Serat Wedhatama diistilahkan sebagai “roroning atunggil,” di mana dalam kajian poskolonialisme disebut sebagai liminalitas (liminality). Salah satu misal yang paling mengena tentang liminalitas ini adalah figur Semar dalam cerita wayang purwa yang telah banyak saya ulas (Menelusur Kapitayan, Agama Purba Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Pada kapitayan, hal itu mengacu pada relasi antara lahir dan batin. Atau pada gamelan Jawa yang terdiri dari ricikan lanang (instrumen keras)—demung, saron, peking, dst.—dan ricikan wadon (instrumen lembut)—gender, gender penerus, rebab, dst. Dengan demikian, konsep kemanunggalan dalam budaya Jawa bukanlah kemanunggalan di mana dua unsur melebur menjadi satu dan tak lagi dapat dibedakan. Kawula dan Gusti, meski tak dapat dipisahkan, tapi tetap dapat dibedakan. Seperti yang diperlambangkan oleh Wedhatama dengan gula dan manisnya.

Serat yang disinyalir sebagai buah tangan Mangkunagara IV tersebut mengetengahkan istilah pamor daripada manunggal. Pamor berasal dari woting tembung (kata dasar) “amor,” yang secara harfiah bermakna berkumpul. Pada suasana berkumpul, masing-masing individu tetap berbeda dan dapat dibedakan. Meski dalam kebersamaan, masing-masing individu memiliki keunikan tersendiri yang tak dapat disamakan, sehingga secara sosial—andaikata hal ini dikaitkan dengan konsep masyarakat (yang secara kerata basa menyiratkan musyawarat)—tetap dituntut untuk memiliki tanggung-jawab personal yang menandai adanya sebentuk kedewasaan.

Pada konsep ketuhanan, istilah pamor tersebut dapat terjadi ketika segala hijab (warana) antara kawula (suksma sejati) dan Gusti (suksma Kawekas) tersingkap. Suasana itu tak ubahnya suasana kantuk yang tak berujung lelap (liyep layaping aluyup). Di sinilah liminalitas itu terjadi. Atau dalam bahasa Abdul Karim al-Jilli, unsur-unsur ilahiah manusia (lahut) bersinggungan dengan unsur-unsur nasut pada Gusti. Dan di sinilah hikmah Ibn ‘Athaillah tentang kalangan salikin (taraqqi) dan majdzubin (tanazul) dapat bertemu.

Secara neurologis, liyep layaping aluyup sebagai liminalitas terjadi ketika frekuensi otak berkisar di antara angka 7-13 Hz. Suasana tuma’ninah semacam ini terdapat pada orang-orang yang tengah terayun dalam tradisi wiridan. Atau secara auditif, ketika terayun pada alunan gending-gending Jawa klasik tertentu atau secara khusus pada tradisi sholawatan gaya pedesaan di mana kata-kata sudah tak lagi penting artinya, menjelma sekedar suara, rangkaian nada-nada.

Tiada ragu berkumpulnya suksma

Merasuk ke wadah keheningan

Dipendam dalam pusat jantung

Tersingkapnya hijab

Tiada lain seperti kantuk yang tak berujung lelap

Tersusupi rasa sejati

Facebook Comments