Terminologi “khilafah islamiyyah” menjadi salah satu bahan perdebatan yang tidak ada habisnya. Tidak terhitung berapa banyak forum ilmiah digelar untuk membincangkan tema tersebut, juga berapa banyak publikasi ilmiah yang membahas isu yang terbilang kontroversial itu. Barangkali tidak ada tema yang mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat Islam dewasa ini ketimbang isu tentang khilafah islamiyyah.
Dalam konteks Indonesia, gaung perbincangan tentang khilafah islamiyyah sebenarnya sudah menggema sejak awal berdirinya republik ini. Namun, gagasan pendirian khilafah islamiyyah itu kian nyaring dan santer terdengar dalam beberapa waktu belakangan ini ketika gerakan-gerakan keislaman trans-nasional mulai masuk ke Indonesia dan menyebarkan gagasannya. Agenda khilafah islamiyyah yang diusung oleh gerakan Islam trans-nasional secara spesifik ialah pendirian sebuah imperium Islam yang mencakup seluruh wilayah di dunia dengan menjadikan sistem dan hukum Islam sebagai dasarnya.
Di Indonesia, gagasan khilafah islamiyyah nyata-nyata berbenturan dengan bentuk dan dasar negara Indonesia. Seperti kita ketahui, Indonesia merupakan negara bangsa (nation state) berbentuk republik yang berasaskan pada ideologi Pancasila dan berlandaskan pada konstitusi Undang-undang Dasar 1945. Meski demikian, para pengusung gerakan khilafah islamiyyah tetap getol mengampanyekan agenda tersebut, salah satunya dengan mendelegitimasi NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Salah satu stategi propaganda yang paling sering dilakukan ialah dengan membangun asumsi bahwa NKRI, Pancasila dan UUD 1945 tidak sesuai dengan ajaran Islam. Juga bahwa demorkasi adalah sistem Barat dan produk kafir yang menjadi sumber segala persoalan bangsa.
Dalam banyak hal, propaganda itu nisbi berhasil mempengaruhi pandangan sebagaian masyarakat Indonesia dari semua kelompok dan lapisan masyarakat. Terbukti dari hasil sejumlah survei, banyak kalangan berpandangan bahwa NKRI, UUD 1945 dan Pancasila tidak lagi relevan diterapkan di Indonesia. Sebagian masyarakat lainnya bahkan secara terbuka mendukung pendirian khilafah islamiyyah untuk menggantikan NKRI. Kecenderungan yang demikian ini tentu memantik kegelisahan kita bersama dan lantas memaksa kita untuk membuka kembali perdebatan seputar bagaimana relasi agama dan negara dalam Islam terutama al Quran serta bagaimana sebenarnya konsepsi Islam mengenai politik dan tata negara.
Mengurai Relasi Islam dan Politik
Kontroversi terkait khilafah islamiyyah merupakan buah dari perbedaan penafsiran di kalangan umat Islam tentang relasi antara Islam dan politik. Mohammed Arkoun, pakar tafsir Islam menyebut ada dua pendekatan dalam melihat relasi antara Islam dan politik. Pertama, pendekatan yang lebih mengedepankan pembacaan secara historis-konvensinal. Kedua, pendekatan yang lebih menitikberatkan pada pemikiran dan perenungan kembali ihwal berbagai problematika dan kesulitan yang pernah muncul berkaitan dengan Islam dan politik yang dimulai sejak pengalaman misi kenabian Muhammad di Mekkah dan pengalaman politiknya di Madinah.
Baca Juga :Khalifah, Hipermoralitas dan Masa Depan Peradaban Manusia
Pendekatan yang pertama, yakni pembacaan historis konvensional akan mewajibkan semua umat muslim untuk tunduk dan taat pada segala perintah Allah tanpa kecuali. Secara normatif-historis, al Quran menuturkan bahwa manusia pertama di muka bumi, yakni Nabi Adam as diturunkan di muka bumi sebagai khalifah yang melebihi kedudukan setan bahkan malaikat sekali pun. Inilah daulah pertama dalam sejarah peradaban manusia yang terrekam oleh al Quran. Daulah ilahiah ini terus berlanjut hingga nabi-nabi berikutnya terutama nabi Nuh, Musa, Ibrahim, Dawud, Sulaiman, Isa hingga Muhammad. Jadi, dalam pembacaan historis konvensional ini mayoritas muslim mempercayai bahwa semua Nabi yang diutus Allah ke bumi telah membangun daulah ilahiah yang berdasarkan pada syariat Islam.
Sedangkan pendekatan kedua yang lebih menitikberatkan pada riwayat kenabian dan praktik politik Nabi Muhammad di Makkah dan Madinah cenderung mengajau umat Islam untuk melihat politik Islam sebagai sebuah dinamika sosial ketimbang doktrin keilahian. Semasa di Madinah, corak sistem sosial dan politik yang dibangun oleh Nabi Muhammad merupakan hasil dari perpaduan ajaran Islam alias perintah Allah dengan hasil ijtihadnya dalam melihat dinamika sosial masyarakat Madinah kala itu. Ini artinya, corak politik Islam yang diusung oleh Nabi Muhammad tidak selalu sepenuhnya diambil dari ajaran Islam melainkan juga hasil konsensus bersama yang melibatkan sejumlah kelompok agama dan suku di Madinah.
Sepeninggal Rasulullah, dunia Islam pun mengalami dinamika sosial-politik yang luar biasa. Nyaris tidak ada satu sistem politik yang tunggal dan bisa bertahan lama. Kekhalifahan Islam sepeninggal Rasulullah bisa dikatakan sebagai hasil dari proses negosiasi politik, pertukaran kepentingan sekaligus manifestasi dari sistem monarki yang sebenarnya tidak diajarkan oleh Rasulullah. Tidak hanya itu, kekhalifahan Islam sepeninggal Rasulullah hingga berakhirnya pemerintahan Islam Turki-Usmani pun nyatanya tidak pernah lepas dari persoalan politik, ekonomi dan sosial. Konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan yang diwarnai oleh pertikaian bahkan peperangan nyaris selalu terjadi pada setiap periode kekhalifahan.
Mengembangkan Demokrasi Islam
Berdasar pada pembacaan kritis atas sejarah kekhalifahan Islam di masa lalu itulah, kita bisa menarik kesimpulan bahwa agenda menegakkan khilafah islamiyyah di zaman modern ini adalah sebuah hal yang tidak hanya irelevan, namun juga utopis. Dunia Islam hari ini telah berkembang jauh melampuai apa yang terjadi di masa Abad Pertengahan. Umat muslim hari ini tersebar di seluruh penjuru dunia mulai dari Timur Tengah, Asia, Afrika bahkan merambah di kawasan Amerika dan Eropa yang jelas-jelas memiliki latar belakang sejarah, agama dan budaya yang berbeda dengan masyarakat Islam. Tidak hanya itu, sebagian besar negara muslim hari ini pun lebih banyak memilih menjadi negara bangsa yang berdasar pada konstitusi buatan manusia ketimbang menjadi negara agama yang berdasar pada hukum Islam.
Agenda pendirian khilafah islamiyyah dalam banyak hal tentu bertentangan dengan agenda negara bangsa yang dilandasi filosofi kesetaraan dan perdamaian. Menjadikan hukum Islam sebagai dasar negara tidak diragukan akan mengancam hak-hak kaum minoritas yang juga memiliki hak untuk hidup setara dengan kaum muslim. Apa yang dibutuhkan komunitas muslim di seluruh dunia hari ini bukanlah khilafah islamiyyah, melainkan sebuah sistem sosial-politik yang menjamin semua entitas dapat hidup berdampingan tanpa adanya diskriminasi atas hak dan kebebasannya.
Lebih spesifik lagi, umat muslim di seluruh dunia hari ini lebih membutuhkan terciptanya demokratisasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar muslim sebagai manusia. Sejarah membuktikan bahwa komunitas muslim jauh lebih sejahtera, aman dan bermartabat justru ketika berada di bawah rezim demokratis ketimbang hidup di bawah naungan negara Islam. Oleh karena itu, tantangan terbesar sekaligus terberat bagi umat muslim hari ini ialah melahirkan satu sintesis baru yang mampu melampaui sistem demokrasi liberal ala Barat yang cenderung destruktif dan kecenderungan islamisme yang kita tahu diskriminatif.
Mengembangkan sistem demokrasi yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam tentang keadilan dan kesetaraan kiranya menjadi jawaban atas krisis sosial-politik yang dialami oleh umat muslim di sejumlah negara hari ini, tidak terkecuali di Indonesia. Demokrasi ala Islam dicirikan dengan konsep syura alias musyawarah yang memungkinkan semua kelompok duduk bersama dalam mengambil keputusan tanpa ada yang berkedudukan sebagai mayoritas dan minoritas. Jalan untuk mengembangkan demokrasi berbasis Islam ini justru sangat terbuka lebar ketimbang agenda pendirian khilafah islamiyyah yang harus kita akui cenderung utopis.