Bumi tempat tinggal manusia kini mulai sakit-sakitan. Pencemaran udara dan efek rumah kaca membuat lapisan ozon berlubang. Imbasnya, suhu bumi kian panas. Es di Kutub Utara mencair dalam waktu yang lebih cepat dari perkiraan. Sejumlah daratan di dunia terancam tenggelam. Di saat yang sama, populasi dunia juga kian meningkat secara tidak terkendali. Ancaman krisis pangan dan air bersih menghantui manusia di masa depan.
Pendek kata, bumi semakin kehilangan daya dukungnya sebagai tempat tinggal. Planet ini kian tidak ramah pada manusia. Ironisnya, semua terjadi karena ulah manusia sendiri. Status “khalifah di muka bumi” yang disandang manusia dalam banyak hal telah kita abaikan. Alih-alih menjaga dan merawat bumi, kita justru menjadikannya obyek eksploitasi atas nama kepentingan ekonomi dan politik.
Jika kita menengok masa lalu, apa yang terjadi saat ini tampaknya sudah diprediksikan sebelumnya. Dalam al Quran surat al Baqarah ayat 30 termuat “perdebatan” antara Tuhan dan malaikat ihwal status manusia sebagai khalifah di muka bumi. Malaikat keberatan manusia dijadikan khalifah lantaran akan berbuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Keberatan itu pun dijawab Allah dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”.
Dalam manuskrip Jawa Kuno yang ditulis oleh Ida Hyang Paramakawi, seorang pujangga Bali tertulis, “ling ta kita nanak akabehan, riwekasan wenang ta kita praktiaksa ukir lan pasir, ukir pinaka wetuning kara, pasir, anglebur sahananing mala, ri madya kita awangun kahuripan, mahyun tan kita maring relepaking telapak tangan, hawya kamaduk aprikosa dening prajapati, yan kita tan eling tan amangguh rahayu, doh panganinum, cendak tuwuh, kegeringan lan masuduk maring padutan”.
Artinya kurang lebih, “ingatlah pesanku kepada seluruh masyarakat, di kemudian hari harus dapat menjaga kelestarian gunung dan pantai. Gunung adalah sumber kesucian dan pantai tempat menghilangkan segala macam kotoran. Di tengah wilayah inilah membangun aktivitas kehidupan. Hiduplah dari hasil tanganmu sendiri. Jangan sekali-kali hidup dari merusak alam. Kalau tidak mematuhi kamu terkena kutuk dan tidak akan menemukan keselamatan, kekurangan bahan makanan dan minuman serta terkena berbagai macam penyakit dan bencana”. Begitu banyak ajaran dan petuah agar manusia selalu menjaga alam. Namun, manusia memang makhluk yang mudah lupa dan terlena.
Mengenal Tuhan Melalui Alam dan Lingkungan
Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah segala sesuatu yang bukan Allah SWT. Alam bukan hanya benda-benda angkasa, atau bumi dan segala isinya, namun juga yang terdapat di antara keduanya. Alam mencakup semua yang maujud (tampak), baik yang telah diketahui manusia maupun yang belum. Dalam Bahasa Arab, kata ‘alam seakar dengan kata ‘alamah (alamat). ‘Alamah ialah sesuatu yang menjelaskan selain-Nya. Dengan demikian, alam semesta adalah alamat yang akan menuntun manusia kepada Tuhan.
Baca Juga :Wakil Tuhan, Bukan Wakil Iblis
Sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi dan bagian integral dari alam semesta, manusia akan mampu menemukan Tuhannya denagn berinteraksi dan berdialog dengan alam. Dalam Islam, manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan integralistik yang tidak dapat dipisahkan. Manusia adalah mikrokosmos alias jagad kecil, dan alam semesta ialah makrokosmos alias jagad besar yang saling bertautan. Menurut Armahedi Mahzar, manusia disebut mikrokosmos karena mengandung semua unsur kosmik, yakni mineral, tumbuhan, hewan, hingga sifat kemalaikatan dan keilahian melalui ruh yang ditiupkan Tuhan padanya. Oleh karena itu kedudukan manusia sangat tinggi di antara makhluk lainnya.
Cara pandang yang demikian ini, populer dengan sebutan eko-sufisme, yakni corak spiritualisme yang berangkat dari ide-ide tentang alam dan lingkungan hidup. Berbeda dari corak sufisme lainnya yang berusaha mendekati Tuhan dengan berbagai jalan, misalnya wirid, puasa, dan lain sebagainya, eko-sufisme berusaha mengenal dan mendekati Tuhan dengan jalan membangun hubungan harmonis dengan alam dan lingkungan.
Eko-sufisme sebagai sebuah gerakan spiritual mulai populer di dunia Islam selama kurang lebih satu dekader terakhir. Beberapa nama seperti Sayyed Hossein Nasr, Ziauddin Saddar, Abdullah Sayyez dan sejumlah nama lainnya dikenal sebagai penggagas dan pengusung gerakan eko-sufisme. Ajaran eko-sufisme berangkat dari keyakinan bahwa manusia didaulat sebagai khalifah di muka bumi lantaran kemampuan berpikirnya. Manusia dibekali rasio untuk memahami alam semesta dan lingkungan, bukan untuk menaklukkan lalu mengeksploitasinya melainkan untuk menjaga dan merawatnya.
Dalam perspektif eko-sufisme, menjaga dan merawat alam adalah bagian dari laku spiritual untuk mendaki tangga menuju ke kesadaran keilahian. Menjaga dan merawat alam sama derajatnya dengan berzikir dan bermunajat memuja keagungan Allah SWT. Menurut Harfiyeh Haleem, salah satu pegiat eko-sufisme, menusia menyandang peran penting sebagai wakil Tuhan secara ekologis (ecological khalifah). Alam hanyalah titipan sementara yang wajib dijaga dan harus dikembalikan pada pemiliknya, yakni Allah SWT. Di samping titipan, alam adalah ujian bagi manusia.
Maka dari itu, dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan manusia harus mengedepankan etika dan etiket. Sikap dan perilaku manusia terhadap alam harus mencerminkan sikap dan perilaku ketertundukan manusia pada Tuhan. Dalam paradigma eko-sufisme, akhlak manusia dikatakan baik jika ia bisa menjalin hubungan dengan Allah (hablum min Allah) sama baiknya dengan jalinan relasinya terhadap sesama manusia (hablum min Allah), termasuk dengan hewan, tumbuhan, dan lingkungan pada umumnya. Paradigma eko-sufisme memandang alam dan lingkungan sebagai sebuah ekosistem holistik yang perlu dijaga keseimbangannya. Inilah melting point alias titik temu antara spiritualitas dan sains.
Kebijakan Politik Ramah Lingkungan
Ketika alam dan lingkungan sudah sedemikian rusak seperti ini, gerakan eko-sufisme menawarkan gagasan restorasi ekologis. Restorasi ekologis merupakan aksi nyata dari gerakan eko-sufisme yang diharapkan mampu menjadi pijakan filosofis sekaligus menjdi visi aksiologis dalam menghapi krisis lingkungan. Restorasi ekologis dimulai dengan membangun interaksi dengan alam dan lingkungan. Matthias Gross dalam bukunya New Nature and Old Science menyebut bahwa hanya dengan berinteraksi dengan alam, manusia bisa sampai pada satu kesadaran bahwa ia adalah bagian dari alam.
Langkah selanjutnya ialah mengembalikan fungsi-fungsi ekologis alam yang selama ini dieksploitasi secara destruktif demi kepentingan manusia. Konkretnya, hutan-hutan yang gundul harus ditanami kembali, sungai yang tercemar harus dibersihkan kembali, pantai dan gunung yang penuh sampah harus disterilkan kembali. Puncak dari pencapaian restorasi ekologis ini adalah ketika manusia mampu mengaplikasikan gaya hidup ramah lingkungan dalam kehidupan kesehariannya.
Gerakan restorasi ekologis tentu akan efektif jika dilakukan secara masif. Jika dilakukan secara sporadis dan parsial, maka efeknya tidak akan terlalu signifikan. Maka, dalam konteks ini, diperlukan sebuah kebijakan politis yang mampu mendorong bahkan “memaksa” publik untuk mengadaptasi gaya hidup ramah lingkungan. Inilah pentingnya gagasan green politic alias politik hijau. Yakni gerakan politik yang berupaya menekan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang ramah lingkungan dan menjamin kelestarian alam.
Puluhan atau ratusan orang yang mengadaptasi gaya hidup ramah lingkungan tentu tidak akan memberi dampak besar pada kerusakan alam dan lingkungan yang sudah sedemikian akut. Namun, coba bayangkan jika satu negara “dipaksa” menjalani gaya hidup ramah lingkungan yang diatur dalam semacam undang-undang. Bisa dipastikan dampaknya akan sangat berpengaruh. Gerakan politik hijau pada dasarnya merupakan upaya menarik isu lingkungan ke wilayah politik agar lahir kebijakan-kebijakan pemerintah yang responsif dan adaptif pada kelestarian alam dan lingkungan hidup.